Sabila. seorang menantu yang acap kali menerima kekerasan dan penghinaan dari keluarga suaminya.
Selalu dihina miskin dan kampungan. mereka tidak tau, selama ini Sabila menutupi jati dirinya.
Hingga Sabila menjadi korban pelecehan karena adik iparnya, bahkan suaminya pun menyalahkannya karena tidak bisa menjaga diri. Hingga keluar kara talak dari mulut Hendra suami sabila.
yuk,, simak lanjutan ceritanya.
dukungan kalian adalah pemacu semangat author dalam berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31.
Kediaman Hartono
Nyonya Ningsih tampak gelisah. Dia bangun hendak mengambil air minum yang diletakkan diatas nakas.
Gelasnya kosong. Sepertinya dia lupa mengisinya tadi.
"Mau kemana Ma?" Suara bariton Tuan Hartono mengejutkannya.
"Ih, Mas! Kerjanya ngagetin aja." Nyonya Ningsih hampir melempar gelas yang ada ditangannya.
Tuan Hartono tertawa melihat raut wajah istrinya.
"Mama mau ambil minum, Papa mau ikut?"
Suaminya beranjak segera meraih gelasnya yang ternyata juga kosong.
"Ayo! Air papa juga habis, malam ini panas sekali. Mungkin akan turun hujan." Ucapnya.
"Iya, pawang hujan." Ledek Nyonya Ningsih.
Saat menuruni tangga, keadaan rumah sudah sangat sepi. Jarum jam menunjukkan angka 11 malam.
Sesampainya di dapur mereka mendengar suara orang bicara.
"Kamu sudah berani sama saya. Gak sadar ya kamu tu cuma pembantu disini." Suara yang tak asing di telinga Tuan dan nyonya Hartono.
"Saya tidak berani, Non. Tuan dan Nyonya sudah sangat baik mau mempekerjakan saya disini, tidak mungkin saya mengkhianati mereka."
Deg
Nyonya Ningsih membekap mulutnya, sedangkan Tuan Hartono mengepalkan tangannya.
Segera Tuan Hartono menarik istrinya sedikit menjauh, lebih tepatnya dekat dengan saklar lampu.
Klek
Suasana dapur menjadi terang benderang. Tuan Hartono seolah-olah baru akan memasuki dapur bersama istrinya, saat melihat pembantunya Murni mencuci tangan dan teman anaknya sedang berada di dapur.
"Loh, Murni, Sasi! Apa yang kalian lakukan disini? Kenapa belum tidur, ini sudah malam?" Kata Tuan Hartono.
"Maaf Om, Tante. Tadi aku lapar, minta Mbak Murni buatin Mie rebus." Ucap Sasi.
"Kamu gak bisa masak sendiri, Sasi! Murni juga butuh istirahat, ini sudah malam. Dia harus bangun pagi besok untuk menyiapkan sarapan." Bentak Nyonya Ningsih.
Sasi hanyalah teman anaknya, tapi tingkahnya sudah melebihi pemilik rumah.
Melihat ketegangan yang tercipta, Pak Hartono memutuskan menengahi masalah.
"Sudah, Mama katanya mau ambil air. Murni buatkan Sasi Mie rebus setelah itu pergilah beristirahat."
Singkatnya Sepasang suami istri itu kini telah berada di kamarnya. Mereka berdua asik dengan pikiran masing masing, padahal malam sudah larut. Rasa kantuk yang sebelumnya menyergap, kini pergi.
"Papa sebaiknya bisa tegas pada Salsa. Mama gak suka orang luar dengan enaknya bertingkah di rumah kita." Kata Nyonya Ningsih.
"Iya, besok Papa akan membicarakan ini. Mama gak usah khawatir." Pak Hartono menggenggam tangan istrinya.
"Pa! Tadi aku bertemu seorang wanita yang seumuran dengan salsa. Dia menolong mama saat lupa membawa dompet."
"Itulah sebabnya, mama memecat semua karyawan yang bekerja di shift pagi hari ini."
"Hmm, Iya. Mereka menjengkelkan, tidak menghargai pembeli."
"Tapi bukan itu intinya, Pa! Wanita itu mempunyai tanda yang sama dengan anak kita. Dan mama merasakan kedekatan saat bersamanya."
"Salsa juga punya tanda itu, Ma. Bahkan kita sudah melakukan tes DNA padanya."
"Tapi dari awal kita selalu meragukan salsa kan, Pa. Mama sudah meminta orang untuk menyelidiki wanita tadi, kita tinggal tunggu kabar saja." Ucap Nyonya Ningsih.
Sementara di kamar lain, Sasi tidak suka dengan kata kata yang diucapkan Nyonya Ningsih padanya.
"Awas saja kau Ningsih, akan ku rebut kembali Mas Hartono darimu. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja." Ucapnya.
...****************...
Villa Ervan
Pagi yang cerah di Villa. Sabila sudah menyiapkan sarapan, dia kembali ke kamarnya untuk mengeluarkan tas besar berisi pakaiannya. Hari ini dia akan kembali ke apartemennya.
"Non Sabila, mau kemana dengan tas itu?" Tanya Mbok Jum.
Dengan senyuman manis yang selalu bertengger di bibirnya, Sabila menjawab. "Aku akan pindah, Mbok. Hari ini aku mulai bekerja di toko roti milik temanku, dan dia memintaku untuk tinggal bersamanya." Ucapnya.
"Kenapa tidak tinggal disini saja? Jadi sunyi lagi villa ini." Mbok Jum merasa sedih karena Sabila harus pindah.
"Aku akan main kemari sesekali." Jawab Sabila.
"Ekhemm!" Ervan ternyata sudah hadir diantara mereka.
"Selamat pagi, Tuan. Mau sekalian sarapan?" Tanya Mbok Jum.
Ervan hanya mengangguk, kemudian menatap Sabila. "Kau sudah sarapan?" Tanyanya.
"Belum."
"Ayo sarapan, hari pertama mu kerja jangan sampai terlambat."
Singkatnya Ervan sudah mengantar Sabila, ke toko roti yang dimaksud. Toko nya sederhana, tapi sangat ramai bahkan se tahu Ervan, roti di toko ini sangat lezat dan menjadi favorit semua kalangan.
"Jangan lupa kabari aku."
Sabila masih terngiang dengan ucapan Ervan, saat dia hendak turun dari mobilnya.
Jena masuk ke ruangan Sabila, dia melihat sahabatnya itu tersenyum sendiri.
"Mungkin kau sudah jatuh cinta padanya." Ucap Jena yang membuat Sabila salah tingkah.
"Jena! Kenapa kau tidak ketuk pintu dulu?" Sabila memajukan bibirnya 5 cm.
"Kalau aku ketuk pintu itu terus menerus, mungkin engsel pintunya akan lepas. Kau saja yang asik melamun."
"Hmm. Apa ada hal yang ingin kau sampaikan?" Tanya Sabila.
"Katanya mau buat roti varian rasa baru. Jadi aku kesini ingin menanyakan, rasa apa yang akan jadi gebrakan baru toko roti kita."
"Akh iya, aku lupa. Aku masih belum menentukan, setelah mendapat jawabannya aku pasti akan mengabarimu."
"Aku ingin keluar sebentar, Jena. Tolong handle dulu." Kata Sabila.
Dia ingin menjemput Risma. Hari ini dia akan mengantarnya ke butik Mama Lena. Tidak mungkin dia melupakan permintaan Mama tiri Ervan.
Sabila hendak naik angkot ke rumah Risma, tapi Nico segera menghampirinya.
"Silahkan!" Nico membuka pintu mobil untuk Sabila.
Tidak ada pilihan lain, Sabila jadi pusat perhatian disana. Akhirnya dia masuk ke mobil Nico.
Sekitar 30 menit mobil yang dikendarai Nico berhenti di depan rumah Risma.
Keluarga besar mantan suaminya ternyata masih banyak yang tinggal di rumah itu. Mendengar suara deru mesin mobil mereka semua keluar.
"Apa yang mereka lakukan, Nico? Apa kita tidak diperbolehkan membawa Risma?" Sabila melihat pagar penghalang yang terbuat dari barisan keluarga Hendra.
Nico hanya tersenyum. "Sepertinya mereka masih tak percaya dengan siapa Risma menikah. Ditambah lagi dengan kehadiran anda, pasti mereka syok berat. Aku pastikan akan ada drama disana." Ucap Nico dan hendak membuka pintu mobil untuk Sabila.
"Biar aku saja, Nico. Disini tidak ada Ervan jadi jangan terlalu formal."
Nico hanya mengangguk, sembari menahan tawa. Tidak tau saja Sabila, sejak tadi Ervan mendengar semua percakapan mereka melalui sambungan telepon.
"Oh jadi begitu, kalau bersama ku dia berbicara sangat formal. Nico kau harus mendapat hukuman." Kata Ervan diseberang sana.
Mendengar kata hukuman membuat Nico membulatkan matanya.
"Ekhemm! Sepertinya saya harus mematikan sambungan telepon ini, Tuan. Anda terlalu berisik. Gurau Nico.
Sabila yang samar mendengar Nico bicara menoleh. "Ada apa, Nico?" Tanyanya.
"Tidak ada, Nona! Sebaiknya kita segera kesana." Menunjuk ke arah rumah Risma.
"Kalau terlambat, Nyonya Lena bisa murka." Imbuhnya.
"Assalamualaikum! Risma nya mana, Bude?" Tanya Sabila sopan.
"Wa'alaikumussalam! Ada di dalam, ambil tas nya dulu." Ucap Bude Ani ketus.
Bude Ani meneliti penampilan Sabila, dari atas hingga bawah. "Kalian beneran mau pergi butik?" Tanyanya.
"Iya, Bude. Apa bisa dipanggilkan Risma nya? Kalau terlambat bisa kena marah mama Lena."
"Kamu itu jangan sok sok panggil calon mertua Risma, Mama. Kamu itu pasti cuma pembantu, kan?" Ucap Bude Ani.
Ervan dan Nico ikut geram mendengar perkataan Budenya Risma.
"Nyonya Sabila! Sebaiknya kita pergi saja, Tuan Ervan ingin bertemu dengan anda. Biarkan Nyonya Lena yang mengurusnya." Ucap Nico.
Bude Ani dan keluarga lain yang mendengar panggilan untuk Sabila, menjadi cengo.
"Nyonya?"
"Bude sudah dibilang jangan asal bicara."
"Alamat kita kena masalah ini, karena perbuatan Ibu." Ucap salah seorang anak Bude Ani.