“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM3
Malam itu, udara terasa berat di ruang tamu rumah yang sepi. Lampu kuning temaram menggantung di langit-langit, menyinari sofa tempat Melodi duduk dengan kaki bersila. Ia menatap jam dinding yang berdetak pelan, jarum-jarumnya terasa seperti bergerak semakin lambat tiap detiknya. Sudah pukul sembilan malam, dan Aldrick belum juga pulang.
Melodi menghembuskan napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke ponsel yang tergeletak di meja. Tak ada pesan masuk dari Aldrick. Tidak ada kabar. Tidak ada "Aku pulang telat ya, Dek." Bahkan, emoji pun nihil. Hening seperti biasa.
Melodi menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan kesal yang perlahan mendidih di dadanya. Tapi kali ini, ia memutuskan untuk tidak marah-marah seperti biasanya. Tidak ada gunanya. Ia tahu Aldrick hanya akan menatapnya dengan wajah datar seperti patung, lalu mengangguk tanpa ekspresi. Rasanya seperti berbicara dengan tembok, cuma temboknya bisa balas mengangguk.
“Yaudah!” Gumam Melodi sambil mendongakkan kepala, berbicara pada langit-langit. “Malam ini aku bakal coba pendekatan lain. Lucu-lucuan, biar nggak tegang terus kayak tali jemuran.”
Ia melirik ke arah dapur, berpikir sejenak. Lalu, ide itu datang.
---
Pukul sembilan lebih lima belas menit, suara deru mobil akhirnya terdengar dari luar. Melodi langsung bangkit dari sofa. Ia berdiri di depan pintu, menunggu Aldrick masuk. Saat pintu terbuka, aroma khas parfum Aldrick yang selalu sama sejak mereka pacaran menyeruak.
Aldrick melangkah masuk, melepas sepatunya dengan gerakan rapi seperti biasa. Ia menatap Melodi sekilas, lalu mengernyit. “Kenapa kamu berdiri di situ?” tanyanya, suaranya datar seperti biasa.
Melodi tidak menjawab. Dengan wajah serius, ia menatap Aldrick dari ujung kepala sampai kaki, lalu menggeleng pelan.
“Ada apa?” Aldrick bertanya lagi, kali ini dengan nada agak waspada.
Melodi menghela napas panjang, lalu menepuk jidatnya sendiri dengan dramatis. “Mas, aku tuh baru sadar satu hal penting banget.”
Aldrick mengangkat alis. Ia melepas jaketnya, menggantungkan di gantungan dekat pintu, lalu berkata, “Apa?”
Melodi mendekat, menatapnya dengan ekspresi serius. “Aku ini istrimu, kan?”
Aldrick mengangguk pelan. “Iya, memang. Kenapa?”
“Nah, itu dia!” Melodi melambaikan tangan ke udara, seperti seorang pengacara yang baru saja menemukan bukti penting di persidangan. “Kalau aku ini istrimu, kenapa aku selama ini lebih sering ngobrol sama kulkas daripada sama kamu?”
Aldrick terdiam. Ia menatap Melodi, mencoba mencerna kalimatnya. “Ngobrol sama kulkas?” ulangnya, bingung.
“Iya!” Melodi bersandar ke dinding dengan tangan menyilang di dada. “Kulkas itu, Mas, lebih sering dengar curhatan ku daripada kamu. Dia saksi bisu semua keluh kesahku. Bahkan, kadang aku merasa kulkas itu lebih perhatian.”
Aldrick masih diam, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Entah itu senyuman atau hanya refleks, Melodi tidak tahu.
“Kamu tahu nggak, Mas,” lanjut Melodi tanpa memberi Aldrick kesempatan untuk menjawab. “Tadi siang aku bilang ke kulkas, ‘Kulkas, aku ini istri yang diabaikan.’ Dan tahu nggak dia jawab apa?”
Aldrick menggeleng pelan. “Apa?”
Melodi mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik dengan nada penuh konspirasi. “Dia nggak jawab apa-apa, Mas. Tapi lampunya berkedip dua kali. Itu kode, lho. Dia setuju sama aku.”
Aldrick menghela napas dan menutupi mulutnya dengan tangan, seolah berusaha menyembunyikan tawa kecil yang hampir muncul. Tapi Melodi tidak berhenti di situ.
“Terus,” Melodi kembali berdiri tegak, memasang ekspresi sedih yang dramatis. “Aku bilang ke kulkas, ‘Kulkas, aku ini istri yang malang.’ Dan tahu nggak apa yang terjadi?”
“Apa lagi?” Aldrick bertanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
“Es batu di freezer jatuh, Mas. Itu tandanya dia nangis. Ikut sedih sama aku.”
Kali ini, Aldrick tidak bisa menahan tawa kecil yang akhirnya keluar. Ia menggelengkan kepala, lalu berjalan ke ruang tengah sambil berkata, “Kamu ini ada-ada aja.”
Melodi mengikuti di belakangnya, tidak peduli dengan respons datar itu. Setidaknya, ia berhasil membuat Aldrick tertawa, walaupun hanya sedikit.
---
Di ruang tamu, Aldrick duduk di sofa dengan punggung tegak khasnya. Ia mengambil ponsel dari saku, mulai memeriksa sesuatu di layar. Melodi duduk di sofa sebelahnya, lalu menyandarkan kepala di sandaran tangan sofa dengan wajah menghadap Aldrick.
“Mas,” panggil Melodi lembut.
“Hm?”
“Kamu tahu nggak kalau aku itu stand-up comedian?”
Aldrick menoleh sebentar. “Sejak kapan?”
“Sejak aku menikah sama kamu.”
Aldrick mengangkat sebelah alis. “Kenapa?”
“Soalnya, kalau aku nggak bikin lelucon, rumah ini bakal sunyi senyap kayak kuburan.”
Aldrick menatap Melodi dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kamu ini kenapa sih, Dek?”
Melodi tersenyum miring. “Aku cuma pengen ngobrol sama kamu. Itu aja. Tapi kalau aku ngomong serius, kamu biasanya cuma jawab ‘iya’ atau ‘nggak’. Jadi, aku coba cara lain. Lelucon.”
Aldrick meletakkan ponselnya di meja. Ia menatap Melodi lebih lama, seolah sedang mencari sesuatu di balik mata istrinya. “Kamu mau ngomong apa sebenarnya?” tanyanya akhirnya.
Melodi menghela napas. Ia duduk tegak, lalu menatap Aldrick dengan serius. “Aku pengen kita ngobrol kayak dulu, Mas. Kayak waktu kita masih pacaran. Ingat nggak? Dulu kita bisa ngobrol berjam-jam sampai lupa waktu. Sekarang, ngobrol lima menit aja udah bagus banget.”
Aldrick terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah tidak tahu harus menjawab apa.
“Mas,” Melodi melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. “Aku tau kamu sibuk kerja. Aku tau kamu capek. Tapi, aku ini istrimu, lho. Aku ada di sini, di rumah ini, nungguin kamu tiap hari. Tapi, kadang aku merasa ... aku cuma bayangan. Ada, tapi nggak kelihatan.”
Aldrick mengangkat kepalanya. Ada sesuatu di matanya yang membuat Melodi berhenti sejenak, sesuatu yang jarang ia lihat: rasa bersalah.
“Dek,” kata Aldrick pelan. “Aku nggak pernah bermaksud ngebuat kamu merasa kayak gitu.”
“Tapi, itu yang aku rasain, Mas,” balas Melodi cepat. “Dan aku udah capek pura-pura nggak apa-apa.”
Aldrick terdiam lagi. Ia mengusap wajahnya dengan tangan, lalu berkata, “Aku cuma ... aku nggak tahu gimana cara ngomong sama kamu, Dek. Kadang aku takut kalau aku ngomong, malah bikin kamu marah atau sedih.”
Melodi menatap Aldrick dengan mata berkaca-kaca. “Mas, aku ini nggak butuh kata-kata yang sempurna. Aku cuma butuh kamu. Aku butuh tau ... kalau kamu peduli. Itu aja.”
Aldrick menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Melodi, lalu mengulurkan tangan untuk meraih tangan istrinya. “Aku peduli sama kamu, Dek. Aku cuma ... aku nggak tau gimana cara menunjukkannya. Karena aku ya emang begini.”
Melodi terdiam, merasakan genggaman tangan Aldrick yang hangat tapi canggung. Ia tahu Aldrick sedang berusaha, meskipun caranya terlihat kikuk.
“Mas.” Kata Melodi akhirnya, mencoba meringankan suasana. “Kalau kamu nggak tahu cara menunjukkan cinta, gimana kalau aku kasih pelajaran privat?”
Aldrick tersenyum kecil. “Pelajaran apa?”
“Pelajaran jadi suami yang romantis.”
“Aku nggak romantis ya?”
Melodi tertawa kecil, meskipun matanya masih basah. “Mas, romantis itu bukan cuma ngasih bunga atau cokelat. Romantis itu bisa sekadar bilang, ‘Aku kangen’ atau ‘Aku sayang kamu’. Sesederhana itu.”
Aldrick mengangguk pelan, seolah sedang mencerna kata-kata Melodi. “Aku bakal coba,” katanya akhirnya.
.
.
.
Dengan wajah sumringah, Melodi membawa pakaian kotor milik Aldrick ke mesin cuci. Obrolan mereka malam ini, cukup membuat perasaan wanita itu berbunga-bunga.
“Mas Aldrick bakal mencoba.” Melodi mengulum senyum, sembari menggebrak tutup mesin cuci saking senangnya.
Namun, tiba-tiba senyuman di bibirnya luntur seketika. Tangannya yang memegang kemeja putih milik Aldrick tampak bergetar.
“I-ini ... lipstik siapa?!” Lirih Melodi ketika melihat noda lipstik merah menyala tercetak jelas di belakang kemeja Aldrick.
*
*
*
bagus banget.
Aku setiap baca 😭🤣😭🤣😭🤣😭
Sukses terus kak othor/Determined/
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪