Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hantu Pemakan Pangsit
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Larangan tercipta menggiurkan.—...
...٩꒰๑ '∇'๑꒱۶...
16.45 🌬☁️
—Hanya mendung yang tersisa.
Dikta menjejakkan sepatu di teras rumahnya dalam keadaan letih berat. Dia sudah memasukkan Belly ke dalam garasi disertai hati yang memendam memar karena terus-terusan memikirkan hubungan Saila dan Arjuna. Dikta sebisanya mengontrol perasaan agar tidak berlarut dalam hipotesis yang belum pasti.
"Nek," panggil Dikta lemas bagai kehabisan baterai. Dia mulai masuk ke istana sederhananya tanpa melepas sepatu, kebiasaan nakal Dikta yang bakal diceramahi nenek.
"Maaf, aku baru pulang. Nenek pasti udah kangen berat 'ya sama aku yang semanis susu cokelat ini. Heheh."
Wujud nenek tidak tertangkap dari sudut mana pun.
"Nenek ...," panggil Dikta manja tanpa kehadiran wanita tua yang anggun tersebut. "Berat banget rasanya. Nenek pasti nggak akan percaya sama kejadian gila hari ini!"
Dikta berhenti mengomel ketika melihat catatan memo kecil yang berada di atas meja ruang tamu.
✏️Memo dari nenek: ****Tataku Sayang, nenek pergi ke rumah tetangga sebentar, arisan kecil. Ada banyak pangsit di balik tudung saji. Selamat makan, Semestaku.
Setelah melihat kertas memo itu, Dikta langsung menghempaskan raga lelahnya ke sofa. Netranya melirik lemas pada surat penting kelautan PT Narelle Cruise dan cek senilai 100.000 USD dari rekan kerja abangnya. Mau tak mau Dikta tetap harus menerima uang itu meski abangnya tak kembali ke pelukan.
Tampak bingkai foto di atas bufet menampilkan potret Dirham yang apik dengan seragam kehormatannya. Itu adalah momen pertama kali Dirham mengemudikan kapal besar usai pendidikan.
"Bang ...," lirih Dikta yang memanggil memori masa lalu.
Flashback on
Dikta baru pulang dari sekolah, yang mana ini adalah hari pertama dia masuk SMA Permata Laut sebagai murid kelas sepuluh.
"Neneeek!" seru Dikta memanggil neneknya yang sedang bermain ke tempat tetangga.
Nenek melambaikan tangan dari jauh, lalu berseru dengan singkat, "A'am!" Barusan dia menyebutkan nama singkat Dirham. Kemudian, nenek lanjut memberi isyarat, "Di rumah sudah ada Susu Vanilla kesayangan kita!"
Dikta melihat ada sepatu kerja Dirham di teras rumah. Dia berlekas-lekas lari menuju perpustakaan, sangat yakin abangnya pasti sudah berleha-leha di sana.
"Abang pulang! Abang pulaaang!" seru Dikta kegirangan atas kehadiran abangnya yang libur berlayar.
Sesampainya di perpustakaan, Dikta menganga kaget disebabkan banyak sekali robekan kertas yang berasal dari buku Bukan Malaikat Hujan. Lara menghujam hati, Dikta menonton sosok gagah yang dia rindukan kepulangan di rumah, malah menangis sesenggukan di sofa.
"Abang kenapa???" panik Dikta di dekat pintu.
Dirham lebih gelagapan karena Dikta memergokinya yang sedang kacau. Kakinya ingin beranjak, tapi terlalu gemetar hingga membuat Dirham terjatuh dari sofa.
Dikta berlari dan segera membantu abangnya untuk duduk, lalu dia tersenak saat Dirham memeluknya erat. Tubuh Dikta sampai ikut gemetaran merasakan getaran dahsyat tubuh abangnya yang seperti ketakutan.
"Bang? Apa Abang dimarahi bos kapal?" tebak Dikta asal.
Dirham menggeleng dan masih terisak seolah takut kehilangan Dikta. "Jangan tinggalin abang," tangis Dirham begitu hancur.
"Gue nggak ke mana-mana, Bang. Gue tetep di rumah, justru abang yang pergi berlayar ninggalin gue sama nenek," kata Dikta bingung mengartikan tangisan abangnya. Biasanya abangnya itu adalah manusia yang paling tenang, tapi saat ini Dikta menyaksikan keterpurukan Dirham seolah tak bisa mengatasi masalah yang dipendam itu.
Kini Dirham menatap nanar pada Manik-manik kecil di hadapannya. Air matanya makin membeludak setiap melihat wajah Dikta yang tak mengerti apa-apa. "Kita ke dokter, ya," ajak Dirham.
"Ke dokter? Ngapain, Bang?" tanya Dikta ngeri.
"Buat masti'in kesehatan badan lo," jawab Dirham yang bergegas mengajak Dikta pergi ke dokter penyakit dalam.
Setelah menjalani berbagai pemeriksaan, tubuh Dikta dinyatakan sangat sehat. Hal itu membuat Dirham baru bisa berhenti menangis.
Saat sudah kembali pulang ke rumah, Dirham terus-terusan menceramahi Dikta untuk menjaga pola makan dan tidur, agar tidak berantakan seperti Dirham yang terlalu mendewakan pekerjaan.
"Abang tenang aja. Gue juga nggak belajar sampai larut," terang Dikta meyakinkan Dirham bahwa Dikta tak keseringan bergadang.
"Jangan coba-coba pergi ke dimensi Bukan Malaikat Hujan jika lo tahu hal sekecil apa pun di perpus, suatu saat nanti," pesan Dirham dengan tatapan serius dan mata berair.
"Bang, kasih tahu pintu ajaib itu di mana? Memangnya, kenapa gue nggak boleh main ke dimensi itu? Kan cerita Bukan Malaikat Hujan seru! Gue dijuluki Iblis Bertangan Beton yang hebat dan gue pacaran sama Lavina yang cantik!" mohon Dikta menarik-narik lengan baju Dirham.
"Dari mana tahu Lavina cantik?" sebal Dirham mengerutkan dahi, gelisah.
"Y-ya dari setiap kata-kata yang Abang tulis, lah! Tapi kalau bisa, gue mau lihat potret Lavina. Apa Abang punya? Pasti punya, kan? Abang 'kan udah ke dimensi itu!" paksa Dikta kebelet menemui Lavina dan tokoh lainnya dari buku tersebut.
"Nggak usah pacaran sama Lavina!" larang Dirham. "Di sekolah pasti ada cewek cantik yang bisa bikin lo lupa sama Lavina."
"Nggak ada!" sebal Dikta melotot ke abangnya.
"Puri???" kekeh Dirham menaik-naikkan alis dengan tatapan hangatnya.
"S-sebenarnya, Puri udah pacaran sama Lingga, Bang! Huaaa!" ungkap Dikta menenggelamkan muka sedihnya ke bantal sofa.
"Lah, bukannya lo sama Puri saling suka? Kenapa Puri malah pacaran sama Linggis???" kaget Dirham tak menyangka dengan lingkaran persahabatan adiknya itu.
"Gue yang bodoh, Bang. Terlalu lambat. Tapi ... gue ngerasa Puri bakal bahagia sama Lingga karena Lingga terlalu kaya, punya banyak duit buat jajanin Puri setiap waktu! Sedangkan gue disuruh nenek belajar hemat, terus gue jadi mikir-mikir buat jajan banyak biar bisa nabung duit dari nenek sama abang! Pasti Puri mikirnya gue cowok pelit! Aaargh! Seandainya, gue udah dewasa kayak Abang, pasti keren banget punya duit sendiri. Sekarang gue harus rela dan mulai terbiasa ngelihat Lingga manja'in Puri di depan gue! Mana muka Lingga nyebelin dua kali lipat dari biasanya!!! Hoy, lah. Si Linggis itu! Dia menang!" pasrah Dikta menerima keadaan diiringi suara yang mengeriting.
"Astaga, Adek gue! Kan banyak duit yang abang kasih, bisa lebih untuk jajanin Puri. Jangan bilang-bilang juga ke nenek kalau lo ngabisin duit buat Puri," miris Dirham menggeleng atas ungkapan hati adiknya, lalu terkikik diam-diam.
Dikta mengeluh capek.
"Ya sudah, nggak usah patah gitu, Susu Cokelat. Mungkin Puri emang buat Lingga. Nanti Tuhan bakal ngirimin cewek yang lebih dari Puri buat lo, yang bisa lo jajanin sebebas lo. Lagian, lo kan baru mulai masuk SMA, pasti nanti bisa kenalan sama siswi lainnya. Cari yang genius sekalian," bujuk Dirham memberi semangat untuk adiknya.
"Pasti ada sosok Lavina di dunia ini!" tebak Dikta semringah. "Akan gue cari nama Lavina Hafa di sekolah sampai ketemu! Nanya pak Satria bisa kali, ya?"
"Nggak ada Lavina di dunia ini dan jangan ngerepotin pak Satria," larang Dirham, lalu mengusap lembut kepala Dikta diiringi renungan berkaca-kaca. "Lo udah baca sampai bab berapa buku catatan abang?" tanya Dirham memastikan.
"Baru bab dua," jawab Dikta lempem. "Bang, please! Oke, gue nggak maksa tentang pintu ajaib, tapi gue mau minjem lagi buku Bukan Malaikat Hujan! Otak gue rasanya mau pecah kalau Abang ngelarang gue nyentuh buku ini!"
Dirham melihat hal yang tak biasa pada netra Dikta, bahwa adiknya itu sudah dalam pengaruh buku tersebut. "Boleh peluk dan baca buku ini, tapi syaratnya ... jangan dibaca sampai mendekati bab terakhir."
"Kok gitu? Kalau gue khilaf gimana, Bang?" tanya Dikta tak kuasa menahannya.
"Lo bukan adeknya abang," ancamnya merengut. Dirham menyatukan kembali robekan-robekan dari buku Bukan Malaikat Hujan menggunakan lem dan selotip.
Dikta hanya duduk malas menunggu abangnya memperbaiki buku itu. "Itu abang sendiri yang nulis, kenapa dirobek?"
Dirham tak menjawab. Setelah semua kejadian ini, Dirham terlihat lebih banyak murungnya dan terus mengkhawatirkan kondisi Dikta. Dirham terlalu takut sesuatu hal buruk menimpa Dikta seperti yang terjadi di dalam buku miliknya tersebut.
Flashback off
Setelah mengingat kejadian itu, rasa penasaran Dikta terhadap semua bab di buku Bukan Malaikat Hujan makin memuncak. Namun, Dikta harus menahannya demi pesan terakhir Dirham agar dia tidak membaca buku itu sampai rampung.
"Ya ampun!" gerah Dikta sakit kepala memikirkannya. "Kalau gue baca sampai tamat, nggak akan kiamat, kan?" Lagi-lagi Dikta teringat senyuman lembut Dirham, tentu saja dia tak mau durhaka pada abangnya.
Satu hal yang membuat Dikta kecewa, yaitu Dirham selalu memintanya untuk tidak meninggalkannya. Kenyataannya, malah Dirham yang menciptakan luka menganga pada kalbu yang berpengaruh besar pada mental Dikta.
"Bang, lo beneran jadi hantu?" tanya Dikta bermonolog. Dia meremas rambutnya karena pening di kepala mengingat kejadian pedang hantu.
Tiba-tiba terdengar dentingan sendok dan piring dari arah dapur.
"Hah? Suara apa itu tadi?" kaget Dikta buncah. "A-apa bang Dirham? Ah—nggak mungkinlah, gilak! Berpikir yang positif. Mungkin angin pantai datang dari jendela, lalu menerjang sendok sampai kena piring?! Tring bunyinya!"
Meski sempat makan banyak jajanan di rumah sakit, Dikta masih sanggup untuk menyantap pangsit favoritnya yang sudah dibuatkan nenek.
"Makan pangsit buatan nenek ajalah!"
Dikta berjalan dan bernyanyi-nyanyi santai ke arah dapur, masih dengan sepatu sekolah yang meraja di lantai rumah.
"Nggak ada nenek di rumah, nggak usah buka sepatu. Huahaha!" menang Dikta berkuasa.
Saat Dikta mengangkat tudung saji berwarna pink, dia terperangah melihat isinya amat berantakan.
"Y-ya ampun, kok acak-acak begini???" panik Dikta kecil hati. Hanya ada sisa satu butir pangsit lagi. "Nenek ngibulin aku apa gimana, sih? Kok pangsitnya tinggal sebiji doang?! Apa nenek udah nggak sayang aku lagi?"
Tangan Dikta berniat mengambil sisa pangsit tersebut. Namun, tiba-tiba ...
Craup! 🥟
Ada sesuatu yang tak terlihat, menggigit pangsit itu sampai membekas bentuk rentetan gigi di sana. Berikutnya, terdengar suara sendawa kekenyangan pada wujud tak kasat mata.
"Oook!" \~\~\~
Dikta memucat mendengar itu, lalu menggemparkan rumah sampai kucing tetangga terjun dari atap.
"AAAAAA!!! NENEEEK!!! ADA HANTU PEMAKAN PANGSIT!!!"
Bersambung ... 👑