NovelToon NovelToon
Deepen The Role: Water Flow

Deepen The Role: Water Flow

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Spiritual / Vampir / Manusia Serigala / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:400
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

"Cahaya akan menuntun kita pulang"

Setelah berhasil berbagai masalah dengan para vampir, Benjamin justru dihadapkan kembali dengan masalah lainnya yang jauh lebih serius. Dia dan teman-temannya terus menerus tertimpa masalah tanpa henti. Apakah Benjamin dan yang lain bisa mengatasi semua ini?

Mari kita simak kembali, bagaimana kelanjutan kisah Benjamin dan yang lainnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Water

"Jadi kau mencurigai adanya orang lain yang ikut campur?" tanya Benjamin menyimpulkan curhatan Joseph pagi itu.

"Josh, kau terlalu keras kepala. Itulah kenapa mereka justru membuat mereka marah padamu. Kau sedikit egois" Benjamin memberi tanggapan yang berbeda.

Pagi ini, ketiga sejoli itu berkumpul di rumah Benjamin. Pagi hari mereka datang, setelah Bernandez berangkat ke kantor untuk bekerja.

"Ben, ini sudah termasuk serius. Ayah sudah mengizinkanku kemarin berkomunikasi dengannya. Sepulangnya kedua kakakku, mereka kembali menentangnya. Itu aneh"

Keduanya terdiam. Penjelasan Joseph ada benarnya. "Jadi semalam kau tidur di rumah siapa?" tanya Benjamin penasaran. "Morenthes. Aku memberitahu kecurigaanku, dan dia juga sedang mencari tahunya"

Benjamin kembali teringat dengan penjelasan Marella tadi malam.

"Ben.."

"Ben!"

"Benjamin"

Benjamin tersentak kaget ketika Joseph menepuk pundaknya. "Apa yang kau pikirkan? Mengapa kau melamun?" tanya Joseph terheran.

"Ahk, tidak ada. Hanya sesuatu yang tidak penting" jawab Benjamin tertawa kecil. "Kau yakin?" tanya Joseph lagi. "Ya"

Joseph mengangguk-angguk kecil dan menghiraukan hal itu. Berbeda dengan Joseph, Damian justru penasaran. Namun ia tidak segera bertanya, atau memaksa Benjamin untuk mengungkapkan isi pikirannya.

Damian punya cara lain yang lebih efektif.

"Hey, Dami. Kenapa kau tidak belajar mengendalikan kekuatanmu pada Patricia? Kalian punya kesamaan bukan?" tanya Benjamin terheran dan mengalihkan topik.

"Kami tidak sama, Ben. Karena aku terlahir sebagai serigala, ada perbedaan yang signifikan dari kami. Walaupun dari segi jenis kekuatan dan besaran efeknya sama, tapi aku tidak bisa seleluasa Patricia"

Benjamin mengangguk-angguk paham. "Rasanya bosan sekali. Apa kalian tidak punya saran tempat rekreasi?" tanya Joseph menyandarkan tubuhnya di sofa.

Kedua sahabatnya berpikir.

"Air terjun?"

Beberapa saat,

"Akhirnya. Aku bisa menikmati udara segar" ujar Joseph merasa lega seraya mencuci wajahnya dengan air dingin di sana.

Ketiga remaja itu sudah sampai di air terjun. "Hahaha, kau seperti habis dari mana saja" sahut Damian memaklumi.

Benjamin tampak memandangi air terjun itu. Ia seakan memikirkan sesuatu. "Ada apa, sobat?" tanya Joseph terheran.

"Kalian abadi, dan aku tidak. Mungkin suatu saat kalian akan kembali mengunjungi tempat ini, tanpaku" jawab Benjamin memandangi air terjun.

Joseph dan Damian menatap Benjamin tertegun. "Kita akan selalu bersama. Pasti" ujar Damian meyakinkan. Benjamin tertawa kecil.

"Aku manusia, dan pada dasarnya manusia akan bertemu kematian kapanpun. Bisa saja aku mati di usia 20 tahun bukan?" tanya Benjamin terkekeh. "Kau aneh. Kenapa kau tiba--tiba berkata seperti itu?" tanya Joseph balik.

"Hahaha. Hanya sekedar pengingat. Kadang terbesit di pikiranku, aku ingin menjadi sama seperti kalian. Tapi aku menepisnya, karena sama dengan aku melanggar aturan agama"

Joseph menatap lurus. "Menjadi abadi juga sesuatu yang baik, Ben" ujar Joseph dengan nada yang tenang.

Benjamin menatap Joseph terheran. "Menjadi abadi, sama dengan kami akan terus berada di peradaban yang sama dari waktu ke waktu. Aku lebih berharap terlahir sebagai manusia, dari pada membawa nama pewaris Canis hanya karena aku adalah satu-satunya cucu laki-laki sekaligus jenis yang sama dengan kakek"

Damian tertawa mendengarnya. "Apa yang lucu? Kau meledekku?" tanya Joseph terheran.

Damian tersenyum simpul. "Kau tidak akan abadi lagi, jika kau bertemu dengan cinta sejatimu. Beda denganku" jawab Damian menatap lurus.

Kedua sahabatnya terdiam. Di antara mereka, hanya Damian yang akan terus hidup bahkan jika Benjamin dan Joseph sudah menemui ajal.

"Kejam sekali, kau jadi membuatku merasa bersalah" ujar Joseph hendak melompat ke dalam air. "Oh ayolah. Tidak ada masalah yang diselesaikan dengan bunuh diri"

......................

"Moren, apa kau di rumah?" tanya Joseph baru saja memasuki rumah. Benjamin dan Damian mengekorinya dari belakang.

Ketika mereka tiba di ruang tamu, Joseph mengenali seseorang duduk di sofa dalam ruangan itu, dan di sampingnya Morenthes.

Jemma datang ke sana. "Josh, tunggu!" perintah Morenthes bangkit berdiri ketika Joseph berbalik badan hendak pergi.

Benjamin segera menahannya. "Dengarlah penjelasannya terlebih dahulu" saran Benjamin berhasil menghentikan langkah Joseph.

Joseph menghela nafas malas. Ia berbalik badan menghadapi kakak perempuannya.

"Josh, ayah-"

"Ayah tidak pernah mencariku"

Jemma terdiam mendengarnya. "Setiap ada masalah antara aku dan ayah, aku akan pergi dan ayah tidak pernah mencariku. Tidak perlu berbohong" Jemma menatap adiknya terkejut.

"Aku salah, aku tahu perkataanku kurang ajar dan aku minta maaf. Tapi apapun itu, aku tidak akan kembali ke rumah. Kalian pasti selalu mengira aku ke rumah Benjamin setiap aku pergi dari rumah. Jadi tidak perlu membuat pembelaan seolah kalian mencariku sejak kemarin"

Jemma tidak berkutik. Joseph berbalik badan tidak ingin bertatapan dengan kakaknya itu.

"Ayah dan ibu memang keras. Tapi aku tidak mau menyalahkan mereka. Aku berhutang budi seumur hidup pada mereka" gumam Joseph mengepal tangannya.

"Josh, besok ada rapat pertemuan keluarga. Kau benar-benar harus kembali. Kau pewaris keluarga, Josh. Jadi kau harus datang. Please"

Joseph tidak menjawab. "Itu bukan urusanku. Lempar saja jabatan itu pada orang yang lebih baik dariku" jawab Joseph memilih meninggalkan mereka di sana.

"Josh!" panggil Jemma namun nihil. Adiknya itu tetap meninggalkan mereka.

"Bagaimana ini?!" gumam Jemma bingung. "Permasalahan kalian sebenarnya apa?" tanya Morenthes terheran.

Uniknya, walaupun nantinya Jemma melarang Morenthes mengizinkan Joseph menginap, remaja itu punya sifat tidak enakan, jadi dia tetap akan membiarkan Joseph di sana.

Untungnya, Joseph tahu diri.

"Dia berkencan dengan pembunuh itu"

Benjamin menatap Jemma dengan kening berkerut. Dan ekspresi yang sama juga ditunjukkan Damian.

"Jemma, kau salah. Aku dan Joseph sering menghabiskan waktu berdua. Tapi sama sekali, dia tidak pernah mengajak Esme berkencan"

Jemma terdiam sesaat.

"Dia jatuh cinta pada gadis itu, Ben. Kau tidak tahu betapa kejamnya gadis itu"

"Bagaimana denganmu? Kau juga jatuh cinta dengan bangsawan vampir itu bukan?"

Damian berhasil membuat suasana hening. "Maksudmu?" tanya Morenthes seraya memiringkan kepalanya terkejut.

Jemma menatap Damian terkejut. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Bangsawan vampir?" tanya Benjamin menatap Jemma terkejut.

"Sungguh mengejutkan kau melarang Joseph jatuh cinta sementara kau juga pernah jatuh cinta pada seorang bangsawan Ruby yang membocorkan informasi Canis pada kelompoknya"

Jemma keringat dingin. Damian tahu?

"Dami, jelaskan terlebih dahulu. Aku tidak mengerti" ujar Benjamin bingung.

Tatapan Damian seakan membenci kehadiran Jemma di sana. "Karena kau, bukan hanya keluargamu yang rugi. Tapi juga aku, Rain, Vincent, Morenthes, dan bahkan.. Mia"

Morenthes mengerutkan keningnya. "Apa yang kau sembunyikan, Jemma?" tanya Morenthes mulai mendekat.

Jemma masih terdiam. Damian menunjukkan tatapan yang berbeda pada gadis itu.

"Ya, aku akan jujur" jawab Jemma menunduk takut. "Aku pernah bercerita banyak hal tentang Canis, pada bangsawan vampir. Namanya Brian"

Benjamin yang mendengarnya terkejut. Brian? Brian yang bersama Jackson kemarin? Brian yang akhirnya dibebaskan Rain?

"Dia yang membocorkan semua tentang Canis pada kelompoknya, dan itulah awal mulanya masalah demi masalah pada Canis muncul" gumam Jemma ragu.

"Justin dan Ocla tahu?"

Jemma menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kecil. Yang artinya, Justin dan Ocla tahu perilaku buruk itu.

Morenthes berubah menjadi murka. Tatapannya menjadi tajam. Benjamin bahkan tidak pernah melihat Morenthes semarah itu.

"Dasar iblis!"

"Moren, tenanglah"

Benjamin segera menahan Morenthes yang tampaknya ingin menyerang Jemma. Gadis itu segera mundur.

"Kau jahat, kau egois. Kau mementingkan dirimu sendiri. Jika saja kau tidak berteman dan bermain dengan bocah itu, ayah dan ibuku pasti masih hidup. Kakek dan nenek pasti masih di sini. Mereka, mereka pasti masih bersamaku. Ed, dia pasti masih berbincang denganku sekarang!"

Air mata remaja itu mengalir. Ia menunjuk-nunjuk pada bingkai foto keluarga di ruangan itu.

Foto itu berisi keluarga Morenthes. Kakek, nenek, ayah, ibu, Ed, dan Morenthes kecil.

Itu pertama kalinya mereka melihat Morenthes menangis. Tatapan yang dulunya kagum pada gadis itu, kini berubah menjadi benci.

"Sekarang kau seharusnya berpikir, apakah kau.. dan keluargamu pantas, melarang Joseph untuk jatuh cinta dengan seseorang"

Jemma menatap Morenthes dengan takut. "Bahkan setelah belasan tahun kejadian itu, kau sama sekali tidak mengakui kesalahanmu. Kau pantas disebut penjahat!"

Setelahnya Morenthes menepis Benjamin lalu pergi. Suasananya menegang. Hening sesaat.

"Aku hanya tidak mau sesuatu yang lama terulang lagi" gumam Jemma menunduk dalam.

"Seharusnya kau merasa bersalah" ujar Damian. Apa yang dikatakan Damian benar. Sedikitpun gadis itu tidak menunjukkan rasa bersalahnya.

"Aku juga merasa bersalah, Damian. Kakekku-"

"Jowell lagi Jowell lagi. Kalian selalu menggunakan nama kakek tua yang sudah lama meninggal, untuk kepentingan kalian"

Jemma terdiam. "Kalian sendiri yang membentuk karakter suka memberontak dalam diri, Joseph" dan di ruangan itu tersisa Benjamin dan Jemma.

Kaki Jemma seakan sudah tidak sanggup menahan amarah dari 3 orang sekaligus. Ia terduduk lemas di sofa. Mereka saja berhasil membuat Jemma tidak berkutik, apalagi jika seluruh anggota Canis tahu, semua akan semakin kacau.

Benjamin duduk di samping Jemma yang termenung. "Aku selalu mengutuk diriku, Ben. Aku selalu menyalahkan diriku selama ini. Sejak awal, semuanya tidak sesuai yang kuharapkan"

Benjamin hanya diam. Berbeda dengan ketiga temannya, Benjamin berkepala dingin dan tidak melihat masalah hanya dari satu sisi.

"Ceritakan apa yang terjadi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai mereka membencimu?" tanya Benjamin terheran sekaligus super duper penasaran. Dia tidak bisa membuat kesimpulan, jika Jemma tidak memberitahu akar masalah.

"Aku dan Joseph berjarak 10 tahun. Saat kejadian, aku berusia 13 tahun. Aku kenal bocah vampir namanya Brian. Kami sering bermain bersama. Dan kami berdua saling menyukai"

"Setiap malam kami bermain, dan aku menceritakan semua tentang Canis. Suatu saat dia tidak pernah kembali. Tapi bangsawan Ruby datang dan menyerang satu persatu. Dia ada di sana. Semua merugi"

Benjamin mengangguk-angguk paham. "Tindakanmu tidak bisa disalahkan. Saat itu kau masih terlalu polos. Tapi yang harus disesali, kalian menyembunyikannya dan kalian justru menggunakan Esmeralda sebagai alibi kuat. Bahkan Joseph tidak tahu hal ini bukan?" tanya Benjamin lagi.

Jemma hanya diam termenung. "Aku mungkin bisa membujuk Joseph dan Damian. Tapi Morenthes, sepertinya harus kau sendiri yang berhadapan dengannya"

Jemma menatap Benjamin terkejut. "Kau, mau membantuku?" tanya Jemma terkejut. "Ya, tentu. Konflik dalam keluarga itu menyakitkan"

Jemma terdiam mendengarnya. Dia tahu apa yang terjadi pada keluarga Benjamin.

"Tapi kau juga harus berusaha mengembalikan kepercayaan mereka"

"Pasti. Aku pasti bisa melakukannya"

Hening sesaat. Telepon Jemma berdering. Ia segera mengangkatnya. "Halo?" sahut Jemma di sana. "Jemma, apa yang kau katakan pada Moren? Dia dan ayah..."

...----------------...

Setibanya Benjamin dan Jemma, suara pertengkaran dua orang laki-laki menggelegar di ruang tamu.

"Kau tidak tahu apapun, masalah Canis tidak ada hubungannya dengan Jemma" Justin tampaknya membela putrinya itu.

"Tidak ada hubungannya? Bahkan bibirnya sendiri yang mengucapkan semua itu" Morenthes terus mencecar berbagai fakta pada mereka.

Benjamin segera menarik mundur Morenthes. Jemma segera menghampiri ayahnya.

"Karena ulah kalian, aku harus menjadi sebatang kara sejak kecil. Kau, kau adalah pembunuh sebenarnya. Jika kau berani mengatakan orang lain pembunuh, kau lebih pembunuh. Kau tidak punya hati nurani"

Jemma terdiam mendengar tuduhan itu. Tapi ia tidak bisa mengelak. Morenthes tidak pernah marah secara asal, karena ketika dia marah dia sudah lebih dulu tahu faktanya.

"Jaga ucapanmu, Moren!"

"Diam. Kau juga ikut menutupi kebusukan adikmu ini. Kalian menutupnya! Dan sekarang kalian melarang Joseph jatuh cinta dengan alibi bodoh. Kalian jahat, jika aku menjadi Joseph dan mengetahui hal ini, aku tidak akan peduli lagi. Joseph pantas mengutuk keluarga seperti kalian! KALIAN PEMBUNUH SEBENARNYA!"

Mereka terdiam. Morenthes tidak pernah semarah itu sebelumnya. Justin mengenal Morenthes sebagai orang yang tenang dan pendiam.

"Jemma saat itu masih kecil, Moren. Dia-"

"Masih kecil, huh? Sejak kecil bahkan ayah sudah membuat larangan untukku. Membatasi pergaulan dengan orang asing. Yang kau juga mengatakannya dulu, bukan?"

Ocla tidak berkutik. Morenthes tampaknya tidak akan membuka hati untuk mengerti mereka.

"Aku sangat mengagumimu, Justin. Aku menganggapmu sebagai ayahku. Kau memperlakukanku dengan baik. Tapi jika tujuanmu untuk membuatku lupa dengan kesalahan putrimu, itu membuatku jadi membencimu. Jika sejak awal kau mengatakannya, aku bisa menerimanya perlahan. Namun aku justru mengetahui dari orang lain, yang tidak ada hubungannya dengan keluargamu"

......................

"Hey, Josh" panggil Benjamin ketika ia melihat Joseph malam itu berada di pinggir pantai.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Benjamin duduk di sebelah sahabatnya itu. "Aku lelah, Ben. Aku tidak menyangka tabiat keluargaku seburuk itu. Aku lelah menghadapi tuntutan mereka"

Benjamin menatap lurus ke depan setelah mendengar curhatan itu. "Mau bagaimanapun perilaku mereka, kau tetap terlahir dari keluarga Rothrout, Joseph" ujar Benjamin mulai menasehati Joseph yang berkepala panas.

"Sulit memaafkan mereka, Ben. Aku sudah mendengar kesalahan kakakku saat Morenthes bertengkar di rumah"

Benjamin terdiam. Joseph ternyata ada di halaman belakang rumah saat itu.

"Kecewa boleh, benci jangan" saran Benjamin berhasil mengalihkan perhatian Joseph. Joseph menatap Benjamin terkejut.

"Tapi mereka pantas untuk dibenci, Ben" ujar Joseph kembali merenung. "Tidak, Josh. Membenci sesuatu itu tidak wajar" jawab Benjamin menepis.

"Ben, kau tidak tahu. Mereka-"

"Kita tidak ada bedanya, Josh. Kau masih beruntung ayah dan ibumu utuh. Lalu aku? Aku punya 4 orang tua"

Joseph terdiam. "Jika kau menjadi diriku, mungkin kau akan kabur dari Chicago lalu membenci mereka seumur hidup. Tapi aku menepis pikiran kotor itu"

Benjamin menghela nafas lelah. "Seribu kebaikan yang dilakukan seseorang, akan lenyap ketika ia melakukan satu kesalahan"

Joseph tertegun mendengar hal itu. "Coba kau ingat lagi, apa saja perjuangan ayah dan ibumu. Kau tidak harus mengingat apa yang dilakukan kedua kakak perempuanmu untuk menyadarkanmu" saran Benjamin menatap Joseph penuh arti.

Joseph terdiam beberapa detik. "Ben, aku harus pulang. Terimakasih atas sarannya" ujar Joseph segera beranjak dan meninggalkan Joseph begitu saja.

"Dia berubah pikiran?" tanya Damian berhasil mengejutkan Benjamin yang menatap kepergian sahabat mereka.

"Kau punya kebiasaan buruk, Dami. Sungguh" gumam Benjamin. "Kau berhasil menyadarkannya" ujar Damian lagi.

"Lalu kau? Apa kau sudah sadar?" tanya Benjamin pada Damian. "Yang salah Jemma. Bukan aku. Sejak awal aku tidak pernah menyambutnya dengan baik" jawab Damian tampak ogah-ogahan. Benjamin menghela nafas lelah.

"Jika suatu saat Lathesa tiba-tiba membencimu karena kejahatanmu, apa kau akan bersujud di hadapannya?" tanya Benjamin tertawa kecil.

"Pertanyaan macam apa itu?"

Di sisi lain,

"Ya?" tanya Mia ketika seseorang mengetuk pintu rumah. Ketika gadis itu membukanya, terlihat ada seorang perempuan di sana. "Jemma? Masuklah" saran Mia segera. Jemma memasuki rumah.

Jemma. "Apa Morenthes ada?" tanya Jemma ragu. "Ada keperluan apa kau mencariku?" tanya seseorang dengan ketus.

Jemma terdiam sesaat. "Moren.. bisakah kita berbicara sebentar?" tanya Jemma ragu.

Morenthes berbalik badan hendak pergi. "Moren" panggil Mia berhasil menghentikan langkah kaki remaja itu. "Dengarkan penjelasannya lebih dulu"

Morenthes diam tidak menjawab. Ia menghela nafas lelah. "Kau sudah menjelaskan semuanya. Jadi katakan apa yang ingin kau katakan sekarang" Mia tersenyum mendengarnya.

Gadis itu meninggalkan mereka.

"Aku minta maaf, Moren. Aku sangat salah"

1
Leon I
terrimakasih banyak, yah! stay tune untuk Dear Dream🫵
palupi
padahal sempat geregetan jg sama jemma, eh taunya nyambung season 3.
lanjut deh thor... semangat 🙏👍💐
palupi
ok...
selamat berjuang /Good/
palupi
suka sama cerita model gini karena pertemanan mereka.
saling peduli, saling melindungi, saling berbagi.
setia kawan 👍❤️
Leon I
hehehe siap! terimakasih yah, nanti dibuatkan visual protagonis dan antagonisnya
palupi
tambah banyak tokohnya yg muncul.
sampe bingung mana kawan mana lwwan 🤭
semangat terus ya thor...❤
palupi
tambah seru...
lanjut thor 🙏❤️
Leon I
baik segera dilaksanakan tuan!!
palupi
luar biasa 👍
palupi
up lagi thor 🙏💕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!