Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
langkah baru.
Pagi-pagi sekali, Bagas sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Dengan penampilan rapi dan menawan, ia mengenakan seragam sekolah Pelita Bangsa yang disetrika sempurna. Rambutnya tertata rapi, dan ada senyum tipis di bibirnya yang menandakan semangat baru.
Setelah memastikan semuanya siap, Bagas turun dari kamarnya menuju lantai bawah sambil bersiul kecil, seolah ada irama bahagia yang mengiringinya. Suara siulan itu cukup untuk menarik perhatian Mama dan Papa Bagas yang sedang duduk di ruang makan. Mereka saling bertukar pandang, sedikit terkejut namun bahagia melihat anak semata wayangnya terlihat lebih ceria dari biasanya.
"Bagas kelihatan bahagia sekali pagi ini," bisik Mama Bagas pada Papa Bagas, sambil tersenyum kecil. Papa Bagas hanya mengangguk, mengerti bahwa hari ini mungkin Bagas sedang merasa lebih baik setelah latihan kemarin.
Bik Asih, pembantu rumah tangga mereka, yang sedang menghidangkan sarapan, ikut menyadari perubahan pada Bagas. "Nyonya, tumben Den Bagas bersenandung pagi-pagi begini," bisik Bik Asih pada Mama Bagas dengan nada penasaran.
Mama Bagas tertawa pelan dan menjawab, "Biarin saja, Bik. Mungkin dia lagi senang."
Bagas memasuki ruang makan dan meletakkan tas sekolahnya di kursi di sampingnya. Ia mengambil roti yang sudah tersaji di piring dan menyantapnya dengan semangat. Sambil mengunyah, Bagas menatap ibunya. “Ma, satu bulan ke depan Bagas mungkin bakal sibuk banget sama kegiatan sekolah dan latihan. Jadi mungkin Bagas sering pulang terlambat,” ujarnya, menjelaskan tentang jadwal padat yang akan ia jalani.
Mama Bagas mendengarkan dengan perhatian, lalu menjawab dengan lembut, “Iya, Nak. Mama mengerti. Tapi jangan lupa jaga kesehatanmu, ya. Mama gak mau kamu sakit.”
Bagas tersenyum dan memberikan hormat kecil sambil berkata, “Oke, Boss!”
Mama Bagas terkekeh, melihat Bagas yang sesekali bisa mengeluarkan sisi jahilnya. Bagas meneguk susu hangat yang telah disediakan di depannya, lalu mengambil setangkai anggur dan sebuah apel. Dengan langkah ringan dan lompatan kecil, ia meninggalkan ruang makan. Semangatnya pagi ini terlihat jelas, seolah ada sesuatu yang membuatnya begitu antusias.
Di luar, Mas Ucok, sopir keluarga yang setia, sudah menunggu di samping mobil Mercedes hitam yang mengilap. Begitu melihat Bagas keluar, Mas Ucok membukakan pintu mobil dengan senyuman. Bagas, dengan gerakan isengnya, meraih topi ala pilot yang selalu dikenakan Mas Ucok dan memakainya dengan gaya bercanda.
“Terima kasih, Mas Ucok,” ujar Bagas sambil tersenyum lebar.
“Siap, Den Bagas!” balas Mas Ucok dengan senyum setia, melihat tuan muda itu masuk ke dalam mobil.
Setelah memastikan Bagas duduk nyaman di kursi belakang, Mas Ucok menutup pintu dan bergegas masuk ke kursi pengemudi. Mobil itu melaju perlahan keluar dari halaman rumah, melintasi jalanan menuju sekolah Pelita Bangsa. Di dalam mobil, Bagas memandang keluar jendela, melihat jalanan yang mulai ramai. Pikirannya terfokus pada banyak hal—teknik baru dari Raja, latihan keras di sekolah, dan turnamen besar yang semakin dekat.
“Hari ini harus lebih baik dari kemarin,” gumam Bagas, penuh tekad.
Berikut adalah sambungan naskah novel yang lebih jelas dan mudah dipahami:
Hari itu, suasana sekolah berjalan seperti biasa. Bagas mengikuti setiap pelajaran dengan tekun, sesekali bercanda ringan dengan teman-teman sekelasnya. Ia mulai terbiasa dengan rutinitasnya di sekolah, berbaur dalam kegiatan khas anak SMA. Waktu berjalan cepat, dan tanpa terasa bel tanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Pukul 14.05, siswa-siswa berhamburan keluar kelas, saling berpamitan dan menyusun rencana untuk sisa hari itu.
Namun, tidak dengan Bagas. Wajahnya tampak serius saat ia berjalan ke arah lapangan basket, bersiap untuk sesi latihan yang semakin intens menjelang turnamen tingkat kota. Beberapa anggota tim basket lainnya sudah bersiap-siap, meskipun pemain utama kelas 3 dilarang mengikuti kegiatan di luar sekolah karena harus fokus pada persiapan ujian akhir.
Lapangan basket masih lengang ketika Bagas mulai melakukan pemanasan. Suasana sepi itu membuatnya bisa berkonsentrasi penuh, melakukan peregangan dan mendribel bola untuk menjaga kelenturan tubuhnya. Dentingan bola yang memantul di lantai menjadi satu-satunya suara yang menemani keheningan sore itu.
Tak lama kemudian, Dika dan Dito, dua teman satu tim Bagas, tiba di lapangan. Mereka duduk di pinggir lapangan, bersiap-siap dengan memasang kaus kaki dan mengencangkan tali sepatu. Sesekali, Dika dan Dito melirik ke arah Bagas yang masih sibuk dengan bola basketnya.
Saat itu, sebuah suara lembut terdengar dari arah pintu masuk. Seorang gadis berseragam putih abu-abu, dengan bando putih berhias telinga kelinci, melangkah masuk. Senyumnya manis, wajahnya memancarkan pesona yang langsung menarik perhatian Dika dan Dito. Keduanya saling menyikut, terkesima oleh kehadiran gadis tersebut.
“Permisi, kak. Boleh numpang tanya?” suara gadis itu terdengar lembut.
Bagas tetap fokus mendribel bola, tidak menghiraukan gadis tersebut. Meski gadis itu mengulangi pertanyaannya beberapa kali, Bagas tidak menoleh sedikit pun. Hal ini membuat Dika dan Dito tersenyum geli.
“Gas, masa cewek cantik gitu dianggep kayak angin lewat,” goda Dika sambil terkekeh.
“Bener, Gas. Paling nggak jawab, lah,” tambah Dito, masih dengan senyum jahil.
Bagas, yang merasa terganggu oleh ledekan teman-temannya, akhirnya menoleh. “Iya, kenapa?” tanyanya dengan nada datar.
Gadis itu tersenyum lega. “Boleh aku tanya, di mana kelas 3A?”
Bagas menghela napas sejenak, lalu menunjuk ke arah lantai atas. “Kelas 3A di lantai 4, paling pojok mentok,” jawabnya seadanya.
“Terima kasih, kak,” ujar gadis itu sambil tersenyum, kemudian berbalik dan meninggalkan lapangan basket.
Begitu gadis itu menghilang di balik pintu, Dito mendekati Bagas sambil menepuk pundaknya. “Parah lu, Gas. Masa anak orang lo sesatin,” katanya, setengah tertawa.
“Iya, itu lantai 4 pojok mentok cuma ada gudang barang bekas, anjay!” Dika menambahkan, suaranya dipenuhi tawa.
Bagas tidak menggubris ucapan mereka dan tetap fokus pada latihannya, melesakkan bola ke dalam ring dengan penuh konsentrasi. Bagi Bagas, gangguan kecil seperti itu tidak sebanding dengan tekadnya untuk memenangkan turnamen dan membuktikan kemampuannya di lapangan.
Bagas tetap berlatih meski sudah banjir keringat. Lapangan masih lengang, dan hanya suara bola memantul serta langkah Dito dan Dika yang bercanda di pinggir lapangan terdengar. Tiba-tiba, sebuah suara muncul dari arah pintu masuk.
"Wah, sudah pada pemanasan, nih," ujar seseorang yang baru saja masuk.
"Eh, April!" Dito menyapa dengan antusias.
"Sepatu lo mana, Pril?" tanya Bagas sambil melempar pandangan penasaran.
April tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya. "Ketinggalan di mobil adik gue. Tadi buru-buru banget, katanya mau diantar, tapi belum muncul-muncul tuh anak."
Bagas mengangguk sambil melemparkan bola ke arah April. "Nih, Pril, tangkap."
April menangkap bola itu, lalu duduk di sebelah Dika dan Dito. Bagas mendekati mereka sambil membuka tasnya. "Lo lagi banyak pikiran, ya, Pril?" tanyanya sambil melirik April.
April menghela napas. "Gak, sih, cuma kesel aja. Terakhir chat, adek gue bilang udah di dekat lapangan, tapi sampai sekarang gak kelihatan batang hidungnya."
Bagas tersenyum tipis. "Ya udah, sabar aja. Gue mau ke kantin, nitip minuman gak?"
"Lo mau ke mana, Gas?" tanya Dito.
"Beli minuman, tadi lupa bawa," jawab Bagas singkat sambil melangkah pergi meninggalkan lapangan.
Perjalanan ke kantin cukup lumayan jauh dari gedung basket. Kantin sekolah berada di lantai dua, tetapi siswa-siswi biasanya menggunakan lift, sehingga perjalanan tidak terasa lama. Setelah berjalan selama beberapa menit, Bagas tiba di lift dan menekan tombol menuju lantai dua.
Pintu lift terbuka, dan Bagas masuk. Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi di lantai dua. Bagas berjalan santai menuju kantin, memesan tiga botol air mineral dan satu botol air dingin untuk dirinya sendiri. Setelah membayar, ia berjalan kembali menuju lift sambil meminum air dingin itu.
Namun, saat hampir mencapai lift, ia bertabrakan dengan seseorang—gadis yang tadi bertanya di lapangan basket. Air dingin di tangannya tumpah, membasahi wajah dan rambutnya.
“Oh, maaf! Maaf banget!” kata gadis itu panik, lalu segera berlari meninggalkan Bagas yang masih terdiam, kaget dan kesal.
Bagas menghela napas panjang, memandang sejenak seragam gadis itu yang berlalu pergi. Nametag di seragamnya terbaca jelas: Cila Anggraini.
“Cila, ya?” gumam Bagas pelan, menahan rasa kesalnya. Saat hendak membuang botol yang tumpah tadi ke tempat sampah, ia melihat ada bando berhias telinga kelinci yang nyangkut di tangannya.
Dia memandang bando itu sejenak, lalu teringat insiden tabrakan tadi. “Ini pasti milik dia,” pikirnya