kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
"Aku udah mandi."
Satria menahan Adiba yang hendak keluar dari kamar saat ia baru saja selesai mandi. Adiba sampai terperangah melihat penampilan Satria yang tak biasanya. Jika selesai mandi, lelaki itu selalu mengganti baju di kamar mandi. Karena memang kamar mandi tidak begitu ada di dalam kamar. Tapi, lihatlah kali ini. Satria dengan berani hanya memakai handuk di pinggangnya.
Adiba memandang suaminya dengan perasaan malu dan berdebar. Wajah yang bersih, namun dihiasi bulu-bulu di wajah dan rambut yang basah, membuat Adiba menunduk.
Ia melangkahkan kaki hendak keluar, namun Satria mencegatnya lagi dengan menghalangi di ambang pintu.
"Mas Satria mau apa?"
"Kamu, apa nggak lihat wajah mas yang berantakan ini?" tanyanya masih tetap menghalangi.
Adiba mengangkat wajahnya, pandangan mata beradu.
"Tolong bersih kan wajah, mas."
Jakun Satria turun naik, "Bantu mas nyukur bulu- bulu di wajah ini."
Di kamar yang hangat, cahaya sore menerobos masuk melalui jendela membuat suasana menjadi lebih intim. Satria duduk dengan tenang di kursi yang telah disiapkan oleh Adiba. Dengan lembut, Adiba mengambil alat cukur dan mulai memangkas janggut tebal yang telah lama membingkai wajah suaminya itu.
Satria, yang telah lama tidak melihat istrinya karena tugas di desa wukirsari, terpaku menatap wajah Adiba yang begitu dirindukannya. Mata mereka bertemu dalam diam, dan ada kilauan hangat yang terpancar dari kedua pasang mata itu.
Sesekali, Adiba tersenyum kecil sambil berfokus pada tugasnya, memastikan tidak ada satu helai pun yang terlewat. Satria, dengan hati yang berdebar, tidak berhenti mengagumi kelembutan dan ketelitian Adiba.
Setiap sentuhan Adiba pada kulitnya bukan hanya menghilangkan bulu-bulu yang tidak diinginkan, tetapi juga membangkitkan rasa cinta yang lebih dalam.
"Selama aku pergi, apa Faraz rewel?"
"Tidak, dia jadi anak yang sangat baik."
Satria menelanjangi wajah istrinya lagi, begitu indah wanita di hadapannya ini. Semakin membuncah rasa rindu di dada. Ia mendekatkan wajahnya lalu mengecup lembut bibir Adiba. Saling membelai lidah dalam kelembutan.
Bibir itu berjarak, mengambil napas dan Adiba meneruskan mencukur kumis sang suami.
"Kenapa keluar kamar mandi cuma pakai ini?" tanya Adiba seraya melirik handuk Satria.
"Lupa nggak bawa baju."
Satria sudah memajukan lagi wajahnya dan mencium Adiba. Suaranya kecapan terdengar memenuhi kamar.
"Mas, nanti nggak kelar-kelar nyukur nya."
Satria tertawa pelan. "Aku rindu. Kamu nggak rindu?"
Adiba mengangguk malu, "Iya, rindu juga..."
Satria tersenyum, mengecup lagi bibir Adiba, memenjarakan tubuhnya dalam pelukan.
"Mas..... Sudah...." Lirih suara Adiba yang masih dalam kecupan Satria.
"Mas masih sangat rindu," ucap satria menahan punggung Adiba dengan tangannya agar tak menjauh lagi.
"Nanti Faraaz masuk...."
"Faraaz lagi pergi sama Abi sama Umi." Satria mengecup lagi bibir Adiba yang membuatnya semakin candu.
"Mas...."
"Heeemm?"
"Biar Adiba selesai kan dulu nyukurnya, nanti kalau sudah selesai, Adiba milik mas."
Satria terkekeh, "Memangnya sekarang belum milik mas?" tanyanya tanpa mau melepaskan pelukan.
Adiba mengangkat alat cukurnya, "Ya sudahz biar aja nggak ganteng lagi."
"Kamu mau melukai mas?" tanya Satria memprotes.
"Adiba kan harus selesai kan nyukur nya mas "
Satria tersenyum."Ya selesaikan saja. Tapi, mas nggak mau lepasin Diba."
"Iya, begini juga bisa kok, yang penting nggak Deket banget dan nggak nyium Diba lagi." Adiba mulai mencukur area dagu Satria."Jangan bergerak, jangan bicara, nanti pisaunya menggores kulit wajah mas."
"Heemmm," deham Satria.
"Rasanya , sudah lama sekali Mas tidak merasakan kedekatan ini, mencukur kumis dan janggutku yang mulai tumbuh tak terawat ini, justru membuatku lebih merasakan kehadiranmu di sisiku," ungkap Satria dengan suara berat, penuh emosi.
Adiba mengangguk tersenyum, sambil terus bekerja dengan alat cukurnya. Ketika Adiba selesai, dia mengambil handuk kecil dan lembut untuk membersihkan sisa-sisa busa cukur di wajah Satria.
Satria meraih tangan Adiba, menariknya lebih dekat, dan mencium puncak kepalanya."Terima kasih, Sayang. Kau membuatku merasa kembali ke rumah," ucap Satria, matanya berkaca-kaca menahan emosi.
Adiba membalas dengan senyum yang penuh arti, menempelkan dahi mereka sejenak, merasakan kehangatan dan kedekatan yang telah lama mereka rindukan. Di kamar itu, waktu seakan berhenti, memberi ruang bagi dua hati yang kembali menyatu.
Satria mencium lagi istrinya, mengangkat tubuh wanita yang sangat dirindukan nya dengan tanpa melepas ciumannya.
Satria membawa Adiba melangkah, membaringkan tubuh itu ke atas ranjang.
"Mas ingin lebih, Diba."
Adiba mengulas senyum, membiarkan suaminya menindih tubuhnya.
****
Pagi itu, Adiba memegang keranjang belanjaan dengan erat, matanya menatap berbagai barang keperluan rumah tangga di warung desa. Langkahnya terhenti ketika sosok Novi tiba-tiba muncul di hadapannya. Novi, wanita yang selama ini diketahui memiliki perasaan terhadap Satria, suami Adiba.
"Adiba, aku harus bicara sesuatu yang penting," ucap Novi dengan nada serius, menahan lengan Adiba yang ingin melangkah pergi.
Adiba menatap Novi, mencoba membaca kebenaran dari ekspresi wajahnya.
"Ada apa, mbak Novi? Bicara saja," sahut Adiba, meskipun hatinya mulai berdebar khawatir.
Novi menghela napas, matanya menatap lurus ke dalam mata Adiba. "Apa mas satria sudah mengatakannya padamu?"
"Mengatakan apa?" Adiba balik bertanya.
"Aku tak enak mendahului nya. Tapi, aku pikir kamu juga harus tau."
"Kenapa bertele-tele, mbak. Katakan saja. Aku harus segera pulang dan masak." Adiba sudah merasa tak nyaman dengan Novi.
"Sebenarnya, saat kami terjebak di desa Wukirsari karena longsor, mas Satria dan aku... kami menikah secara siri," ungkap Novi tanpa ragu.
Adiba terperangah, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu, mbak? Jangan menyebar fitnah."
"Aku tidak fitnah, itu kenyataannya. Kami sudah menikah, kalau tidak percaya kamu bisa tanyakan pada Acil. Dia jadi saksinya."
Tubuh Adiba tiba-tiba serasa lemas dan hampir limbung. Lalu menggeleng pelan menolak.
"Tidak mungkin... Tidak mungkin... Mas Satria tidak akan melakukan itu tanpa memberitahuku," balas Adiba, suaranya gemetar.
Novi mengangguk, tampak sangat yakin dengan apa yang dikatakannya. "Aku tahu ini sulit untuk dipercaya, Adiba, tapi ini adalah kebenaran. Dia juga mencintaiku, Adiba. Kami terjebak di sana, dan kami melakukan itu karena itulah kami menikah siri."
"Tidak mungkin! Jangan mengada-ada, mbak!"
"Untuk apa aku berbohong untuk memfitnah orang yang aku cintai, Adiba?"
Wajah Adiba pucat, kakinya serasa lemas mendengar penjelasan Novi. Di satu sisi, hatinya menolak untuk percaya, namun kepastian yang terpancar dari wajah Novi membuatnya bimbang. Pikiran Adiba melayang ke hari-hari ketika Satria tidak bisa dihubungi dan tak memberi kabar, dan bagaimana kemungkinan terburuk kini menghantui realitasnya.
Air mata mulai menggenang di sudut mata Adiba, ia merasa dunianya runtuh dalam sekejap. Namun, ia harus mencari kebenaran langsung dari Satria, dari suaminya itu sendiri, sebelum benar-benar hancur oleh kabar yang belum tentu kebenarannya ini.