Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Bercerai
"Rania, maafkan aku. Aku akan tinggalkan Gladys asal kamu tidak minta cerai. Aku memang salah. Selama ini dibutakan oleh cinta hingga mengabaikan kamu." Arbi berusaha mengubah pendirianku. Aku semakin muak mendengar kata-katanya itu. Entah apa maunya. Susah mengikuti alur pikirannya.
Saat kami masih tinggal satu atap, dia menunggu momen untuk bercerai. Disaat peluang itu ada dia malah tidak mau bercerai.
"Maaf Arbi, keputusanku sudah bulat. Aku harap kamu menghargainya. Jangan egois!" Sentakku.
"Tapi aku tidak mau menceraikanmu, Rania."
" Kenapa? Ini bukan soal kamu mau atau tidak. Tapi aku sudah tidak mau bertahan lagi. Kamu pikir menjadi seorang istri pajangan itu enak. Mikir kamu Ar. Oke, jika kamu tidak mau menceraikan aku, aku yang akan mengurus perceraian itu. Kamu jangan mempersulitnya!" ucapku berang. Selama setahun menjadi istri yang tidak dianggap masih saja dia bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Diluaran dia tetap bersama pacarnya, menikahiku hanya karena baktinya pada orang tua. Keenakan dia, sehingga susah keluar dari zona nyamannya.
"Sudah cukup waktuku terbuang percuma selama ini. Aku ingin menata ulang hidupku lagi. Dengan orang yang menghargaiku, yang menerima aku apa adanya bukan karena ada apanya. Perceraian adalah jalan terbaik, buat semuanya," tegasku lagi.
Arbian menunduk lemas. Selalu saja ekspresi itu yang ia tunjukkan ketika keinginannya tidak terpenuhi. Seolah meminta simpati agar orang merasa iba.
Heran, bagaimana dia memimpin anak buahnya dalam menjalankan usahanya. Apakah sifat plin plannya dominan. Atau hanya kepadaku dia seperti itu, karena merasa bisa mengendalikanku.
"Sudah, jangan bersitegang lagi. Mama capek melihat kalian ribut terus. Semua kesalahan Mama, karena memaksakan perjodohan ini pada kalian. Mama telah mengenakan kuk yang terlalu berat kepundak kalian. Mama sangat kecewa bila akhirnya harus begini. Tidak seharusnya kalian berbohong jika memang tidak mau menikah. Tapi, sudahlah. Tidak ada gunanya lagi membicarakan semua ini.
Arbi, Mama harap kamu bisa menentukan pilihan yang terbaik buat kalian. Jangan mementingkan diri sendiri. Jika bercerai adalah jalan yang terbaik, lakukanlah itu. Lebih cepat lebih baik." ungkap ibu mertua dengan nada sendu. Tentu sebagai orang tua, adalah sebuah keputusan berat untuk menyatakan hal itu.
"Tapi, Ma, Arbi tidak ingin bercerai!"
"Kenapa? Mau menyiksa hidup Rania lebih dalam lagi. Lantas untuk apa kau sia-siakan pernikahanmu selama ini. Mau bilang cinta pada Rania. Kamu sudah terlambat, Arbi! Jangan jadi pengecut kamu. Mama sangat kecewa sama kamu. Kecewa sekali!" dengus ibu mertua dengan nafas memburu.
Aku khawatir sekali terjadi sesuatu pada ibu mertua.
"Mama, jangan lepas kontrol Ma. Dih, Bang Arbi maunya apa sih. Jelas-jelas Abang yang menyia-nyiakan Kak Rania selama ini. Ya udah bercerai saja. Tuh sana nikah in saja Gladys, jangan serakah. Yuk Ma, pulang. Pusing aku lama-lama disini." Mery juga meluapkan amarahnya.
Dia menarik lengan ibu mertua, setelah pamit padaku ibu mertua dan Mery pulang. Kini tinggal aku dan Arbian. Dia menatapku sekilas. Menyugar kasar rambutnya lalu pergi begitu saja.
Aku menghela napas lega setelah Arbi pergi juga.
Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas nakas. Menghubungi nomor Uly, mengabari aku tidak bisa masuk kantor. Uly menanyakan alasanku dan terpaksa bilang karena aku sedang dirawat di rumah sakit.
Tentu saja dia panik dan akan segera datang membezukku. Tapi aku melarangnya, karena aku tidak apa-apa. Sampai berbusa mulutku membujuknya serta menjelaskan keadaanku. Baru dia mau nyerah.
Kuletakkan kembali ponsel itu ke atas nakas. Kubaringkan tubuhku dan mencoba bersikap santai. Lama juga Bastian kembali ke ruangan ini. Apakah lukanya bertambah parah? Aku jadi gelisah sendiri.
Tidak berapa lama, Bastian muncul. Perban di lengannya telah diganti yang baru. Tidak sabar aku ingin tau seberapa serius lukanya itu.
"Bagaimana lukanya, Mas."
"Tidak apa-apa. Eh, mana yang lain, sudah pulang ya?" Bastian seisi ruangan yang sepi, karena hanya aku sendiri dalam ruang rawat.
"Sudah pulang."
"Kok bisa ibu mertua datang sebelum jam bezuk."
"Salah satu perawat disini temannya, Mery. Dia yang ngabari." Bastian mengangguk paham.
"Kukira kamu yang menghubungi mereka." Bastian merebahkan tubuhnya di sofa.
"Apa kita gak bisa pulang hari ini juga. Lukaku sepertinya gak parah." Usulku pada Bastian, karena hanya luka lecet di keningku. Rasa pusingnya juga sudah berangsur hilang.
"Jangan meremehkan perkara, Ra. Kita tunggu saja dulu diagnosa dokter. Yang terbentur itu kepala bulan kelapa." guyonnya iseng membuatku tertawa. Emosiku yang masih mengendap karena Arbian perlahan mengembun.
"Aku mau bercerai dari Arbian. Tapi, sepertinya dia akan mempersulit masalah perceraian ini." Aku menceritakan kejadian tadi saat Bastian di ruang IGD.
"Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu itu, Ra?" Bastian kaget mendengar penuturanku.
"Menurutku bercerai adalah keputusan yang terbaik. Tapi aku heran Arbi malah bilang tidak mau bercerai, 'kan aneh. Entah apa maunya. Aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arbian menolak berpisah? Dia 'kan sangat mencintai, Gladys," ucapku bingung.
"Mungkin saja Arbian sudah menyadari kekeliruannya, Ra. Atau siapa tau dia telah jatuh cinta sama kamu."
"Ah, tidak mungkin. Kenapa begitu tiba-tiba. Aku malah berpikir yang aneh, malah."
"Kok aneh? Sudah, jangan mikir terlalu berat, Ra. Kalau Arbian mempersulitmu, aku akan bantu. Ada seorang teman profesinya pengacara. Begitu kamu siap, aku akan menghubunginya."
"Serius Mas?" Bastian menggangguk pasti.
Sebenarnya aku juga sudah kepikir mau menyewa pengacara. Agar urusan perceraianku cepat selesai. Hanya saja aku masih bingung siapa yang akan aku pilih.
Jika ada yang merekomendasikan tentu akan lebih mudah bagiku berinteraksi. Tidak takut akan timbul masalah baru karena pengacara yang tidak jujur.
Orang tuaku pernah menyewa jasa seorang pengacara karena masalah tanah. Dan ditipu mentah-mentah. Bukannya mendapat lahan malah kehilangan dan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Aku nyaris berhenti sekolah, saat itu aku masih di SMU
***
Setelah menyiapkan berbagai berkas untuk perceraianku dengan Arbi. Hari ini adalah sidang putusan pengadilan. Seperti yang kuduga, Arbi berkali-kali mangkir dari panggilan. Dari beberapa kali sidang dia cuma hadir satu kali di sidang kedua.
Selebihnya selalu diwakilkan oleh pengacaranya. Entah, apakah dia akan hadir dalam sidang putusan kali ini.
Dengan mengenakan blus sutra warna broken white dipadu dengan celana hitam aku duduk manis dibangku yang disediakan. Tinggal sepuluh menit lagi sidang akan dimulai. Tapi Arbian belum juga muncul.
Beberapa kali pengacara Arbian melihat jam. Mungkin menunggu kedatangan Arbian. Aku sendiri duduk dengan perasaan gugup. Uly dan Bastian yang duduk dibelakangku berusaha menenangkan aku dengan senyuman mereka.
Hingga lima menit lagi menuju sidang di mulai, Arbian datang ditemani Gladys. Senyum wanita itu menyebar kemana-mana. Seolah menunjukkan kalau dia pada akhirnya adalah seorang pemenang. ***
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor