Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Percakapan tentang Cinta
Pagi itu, Rehan terbangun dengan perasaan campur aduk. Meski hujan yang turun dari malam sebelumnya membuat udara sedikit lebih sejuk, pikiran Rehan terasa jauh lebih panas. Setelah beberapa hari berpikir tentang Dinda, ia merasa seperti ada yang berbeda, tetapi ia juga bingung apakah itu hanya perasaan sementara atau sesuatu yang lebih serius. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, yang selama ini selalu menjadi kekuatan Rehan.
Dengan langkah gontai, Rehan menuju ruang tengah kosan, mencari segelas kopi untuk menyegarkan pikirannya. Aryo sudah duduk di meja makan, membuka laptop dengan pakaian yang sama dari kemarin. Rehan duduk di sebelahnya, menghela napas.
Aryo menoleh. "Pagi, Rehan! Lo kelihatan kayak baru bangun dari mimpi buruk deh. Ada masalah?"
Rehan mengangkat bahu dan meminum kopinya dengan pelan. "Gue cuma lagi mikirin sesuatu yang aneh, sih."
Aryo menyipitkan mata. "Apa tuh? Masalah fisika yang nggak bisa lo jelasin lagi?"
Rehan menggelengkan kepala. "Bukan. Kali ini soal... perasaan."
Aryo langsung tertawa. "Wah, akhirnya! Lo, si sarjana Fisika yang selalu logis, mulai mikirin perasaan. Ada apa, nih?"
Rehan sedikit tersenyum, meskipun masih merasa agak canggung. "Gue ketemu sama seseorang beberapa hari lalu di warkop, pas hujan turun. Seorang pelayan yang... agak beda. Nggak bisa gue jelasin, tapi rasanya ada yang aneh."
Aryo menurunkan layar laptopnya dan menatap serius ke arah Rehan. "Pelayan? Hah, kenapa lo ngerasa aneh? Biasanya kan lo cuek banget sama hal-hal kayak gitu."
Rehan menghela napas panjang. "Gue nggak tahu, bro. Biasanya kan gue mikirnya sains, logika, tapi kali ini... rasanya nggak bisa dijelasin pakai rumus. Gue ngobrol sama dia sebentar, tapi rasanya... entah kenapa, gue jadi kepikiran terus. Gue nggak ngerti kenapa."
Aryo tertawa kecil. "Ternyata lo juga bisa ngerasain perasaan aneh, Rehan. Ya, namanya juga cinta, bro."
Rehan menatap Aryo dengan tatapan bingung. "Cinta? Lo yakin itu cinta? Gue sih mikirnya itu cuma perasaan sesaat, atau mungkin... gue cuma kesepian."
Aryo menatapnya serius, lalu berkata pelan. "Gue nggak tahu, Rehan. Tapi lo nggak akan tahu kalau nggak coba merasa. Kadang, perasaan itu datang tanpa kita harapkan, dan mungkin lo harus siap untuk merasakannya."
Rehan mengerutkan kening. "Gue sih biasanya cuma mikir kalau itu cuma reaksi kimia di otak, bro. Kenapa harus dipikirin lebih jauh?"
Aryo mendesah. "Kadang, lo harus nyerah sama perasaan, Rehan. Cinta itu bukan soal logika. Lo bisa pakai sains buat banyak hal, tapi nggak untuk yang satu ini. Kalau lo terus-terusan mikirin itu dengan logika, lo bakal kehilangan kesempatan untuk ngerasainnya."
Rehan merasa sedikit bingung dengan jawaban Aryo. Ia sudah terbiasa memecahkan masalah dengan rumus, dengan penjelasan yang rasional. Tapi, kali ini ia merasa terjebak di antara sesuatu yang tak bisa ia ukur atau analisis.
"Jadi, lo bilang gue harus ngikutin perasaan aja?" tanya Rehan, masih tidak yakin.
Aryo mengangguk. "Iya, kadang perasaan itu bisa jadi petunjuk, walaupun lo nggak bisa jelasin. Lo jangan takut buat merasainnya. Jangan mikirin apa yang seharusnya atau bagaimana seharusnya, cukup rasain aja."
Rehan terdiam, mencerna kata-kata Aryo. Pikirannya mulai berputar-putar. "Tapi... kalau gue mulai terlibat sama perasaan ini, gue takut itu cuma sementara. Gue nggak mau ngerasa kecewa."
Aryo menyentuh pundak Rehan. "Bro, nggak ada yang salah kalau lo takut. Tapi, lo nggak akan tahu sampai lo coba. Kalau lo nggak coba, lo bakal nyesel. Cinta itu nggak selalu tentang pengendalian diri atau sains, itu tentang merasakan apa yang ada."
Rehan terdiam lama. Ia berpikir lagi tentang Dinda, tentang bagaimana perasaannya begitu kuat meskipun hanya sekejap. Ia merasa bingung, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih lanjut.
"Lo bener, mungkin gue harus coba merasainnya. Tapi, gue nggak tahu harus mulai dari mana."
Aryo tersenyum lebar. "Itu dia! Lo udah mulai terbuka, bro. Lo nggak perlu tahu semuanya, yang penting lo berani coba. Kita semua nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi kita tetap bergerak maju. Cinta itu bukan soal prediksi, itu soal menjalani."
Rehan mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang. "Oke deh. Gue akan coba lebih peka sama perasaan gue. Tapi lo harus tahu, gue nggak jago soal hal-hal kayak gini."
Aryo tertawa. "Nggak masalah, bro. Lo bisa mulai dari sini. Kita lihat aja ke depannya."
Di tengah percakapan ringan ini, Nisa yang sejak tadi diam mendengarkan, akhirnya ikut berbicara. "Lo berdua tuh lucu banget. Rehan, lo pasti merasa bingung banget, kan? Tapi percayalah, perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dikendalikan. Kadang-kadang, lo cuma perlu merasakannya dan biarkan itu berjalan. Kalau lo terlalu banyak mikir, lo malah jadi gak bisa nikmatin prosesnya."
Rehan menatap Nisa, mencoba mencerna kalimatnya. "Jadi, lo nggak akan pernah bisa ngajarin gue logika cinta, ya?" tanyanya setengah bercanda.
Nisa tertawa. "Nggak, karena cinta itu nggak ada logikanya, Rehan. Itu cuma perasaan yang bisa lo rasain tanpa perlu dipikirin."
Rehan tersenyum tipis, sedikit merasa lega meski masih ragu-ragu. "Oke, oke. Mungkin gue memang harus lebih buka hati, ya."
Aryo dan Nisa saling bertukar pandang, lalu tersenyum penuh arti. Mereka tahu, ini adalah langkah pertama bagi Rehan untuk mengerti sesuatu yang lebih dari sekadar rumus fisika. Sesuatu yang lebih membingungkan, tapi juga lebih menarik.