Warm Time With You
(Hangatnya Bersama mu)
....
Kalau penasaran dengan ceritanya langsung aja baca yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Udumbara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Sebastian sibuk dengan iPadnya. Ia tersenyum kala membayangkan kalau Aditya bener-bener anaknya. Sekarang ia dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Tuan," panggil Tobi.
"Iya?" jawab Sebastian tanpa mengalihkan pandangannya.
"Perusahaan D2 Group mengirim email yang menyatakan bahwa mereka ingin bekerjasama dengan perusahaan anda, bagaimana?" Tobi menoleh ke belakang menatap atasannya itu.
Sebastian menengadahkan tangannya untuk meminta iPad perusahaan. Ia membaca email tersebut dengan serius.
Sebastian manggut-manggut dan tersenyum kecil karena cara mengirim email nya begitu sopan. "Pak Surya," gumamnya yang melihat tanda penulis email tersebut.
"Tobi," Sebastian memberikan iPad itu kembali. "Aku tidak akan menerima kerjasama dengan perusahaan mana pun sebelum aku meyakinkan bahwa Aditya memang anakku. Aku ingin fokus padanya terlebih dahulu. Katakan saja untuk menunggu keputusanku selama beberapa minggu ke depan," ujarnya.
Tobi mengangguk pelan. "Baik, Tuan," ia lantas membalas email tersebut.
Sesampainya di rumah sakit, Sebastian langsung menemui dokter pribadinya yang ia percaya. Tobi mengetik pintu ruangan dokter Rudi, teman dari Sebastian.
"Masuk," terdengar suara Dokter Rudi menyuruh mereka masuk.
Sebastian masuk dan diikuti oleh Tobi. "Rud," ia mendekati temannya itu.
Rudi mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar. "Ada apa, Bas? Tumben sekali kamu mau mendatangiku secara langsung seperti ini?" bingungnya.
Biasanya Sebastian selalu menghubungi dirinya jika ada sesuatu.
Sebastian langsung menunjukkan sehelai rambut pada temannya itu. Rudi yang melihat itu mengernyit heran.
"Rambut siapa? Dan untuk apa?" cecar Rudi bertanya.
"Ini rambut anakku yang menghilang itu. Aku ingin tes DNA," jawab Sebastian seraya duduk di kursi.
Rudi mengambil rambut itu dengan ragu dan menatap Sebastian serius. "Kamu yakin kalau ini rambut anakmu yang menghilang itu? Bagaimana kalau bukan?"
"Makanya lakukan tes DNA untuk meyakinkannya," sahut Sebastian dengan santai.
Rudi terkekeh pelan. "Baiklah, baiklah." ia berdiri dan mengambil wadah kecil untuk menyimpan rambut itu. Lalu ia mendekati temannya. "Aku akan mengambil rambutmu," izinnya.
"Hm," Sebastian mengangguk pelan.
Rudi pun mengambil rambut Sebastian sehelai dan menyimpan rambut itu ditempat yang sama dengan rambut Aditya.
"Memangnya dimana kamu mendapatkan anakmu itu?" tanya Rudi penasaran.
"Dia seorang kurir paket dan baru saja aku memeriksa punggungnya. Dia memiliki tanda lahir sama seperti diriku,"
Rudi manggut-manggut pelan. "Kalau sudah ada bukti dengan tanda lahir itu, kenapa kamu melakukan tes DNA lagi?"
Sebastian menghela napas pelan. "Hanya meyakinkan karena dia tidak percaya dengan faktanya." cicitnya lirih.
"Sedari kecil terpisah sampai 25 tahun, wajar saja dia tidak percaya. Aku akan segera melakukan tes DNA dan akan mengabari mu tiga hari kemudian,"
"Apa tidak bisa dipercepat?" tanya Sebastian tidak sabaran.
Rudi tertawa kecil. "Kamu sungguh tidak sabaran. Tunggulah sampai waktu yang ditentukan,"
"Baiklah." pasrah Sebastian
***
Aditya terus melirik Amanda yang sedari masuk ke dalam mobil, gadis itu hanya menunjukkan ekspresi datar dan belum bersuara sama sekali. Bahkan Zyan pun gadis itu abaikan.
"Pak, sudah sampai." kata Aditya memberitahu sopir itu bahwa mereka sudah berada tepat di depan rumahnya.
Amanda melirik rumah kecil milik Aditya.
"Boleh aku mampir?" tanyanya dengan mimik wajah menahan tangis.
Aditya menatap rumahnya dan kembali menatap Amanda. "Apa Nona tidak masalah masuk ke rumah kecil?" tanyanya balik.
"Bahkan toilet ditempat syuting ku lebih kecil dari pada rumahmu, aku tidak masalah tuh." sahut Amanda diluar dugaan.
Aditya mengulum bibirnya menahan tawa karena jawaban dari Amanda. Bagaimana ia tidak hendak tertawa? Amanda menjawab dengan wajah polosnya.
"Baiklah, Nona." ujar Aditya seraya membuka pintu mobil.
Amanda ikut keluar, ia melangkah gontai mengikuti Aditya dari belakang.
Aditya membuka pintu rumahnya dan mempersilakan Amanda masuk. "Mari, Nona." ajaknya.
Amanda mengangguk-anggukan kepalanya cemberut. Ia melihat rumah kecil namun begitu bersih tersebut. Padahal Aditya seorang laki-laki tapi rumahnya begitu rapi nan bersih.
Karena tidak ada kursi, membuat Aditya tidak enak. "Maaf, Nona, bisa gendong Zyan dulu? Aku akan mengambilkan karpet untuk kita duduk,"
Dengan bibir yang masih manyun, Amanda mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Ia mengambil alih Zyan dari gendongannya.
"Maaamaa," senang Zyan karena kembali ikut Amanda.
"Aku kesana dulu, Nona." pamit Aditya berjalan menuju kamarnya.
Amanda hanya diam memandangi wajah lucu Zyan. Tiba-tiba matanya berembun dan ia memeluk Zyan erat.
"Huaaa, mama diselingkuhin, Zyan... Mama juga ditinggal nikah,,," adunya pada bayi yang tidak tahu apa-apa itu.
"Kurang apa mama, Zyan? Mama cantik iya, baik juga iya, murah hati juga iya, 'kan? Dengan teganya dia selingkuhin mama dan sahabat mama juga berkhianat, huaaa..." Amanda akhirnya menumpahkan tangisnya yang sedari tadi ia tahan.
Siapa yang tidak sakit dikhianati oleh teman yang ia percayai? Walaupun ia berani dengan Rafli, mantan kekasihnya itu, ia juga masih sayang.
"Mamamaaaa," celoteh Zyan memeluk leher Amanda. Bayi itu seakan paham ibunya sedang menangis, untuk itu ia memeluknya.
"Huaaa, mereka tega, Zyan. Bagaimana caranya mama balas dendam? Mama gak sakit hati kok, tapi mama harus balas dendam." racau Amanda tidak jelas.
Karena jarak kamar dan ruang tamu hanya beberapa langkah, Aditya mendengar keluh kesah gadis itu. Ia terkekeh karena menurutnya Amanda begitu lucu. Baru kali ini ia melihat seseorang nangis karena sakit hati tapi tidak terdengar pilu, dan malah terdengar lucu karena ocehannya.
Aditya kembali dan meletakkan karpet yang lumayan luas itu dilantai. Ia mendekati Amanda dan menyuruh gadis itu untuk duduk diatas karpet.
"Nona, ayo duduk diatas karpet biar enak nangisnya." kata Aditya seraya menahan tawa.
Amanda menatap karpet itu dan dengan polosnya ia mengangguk. "Kamu benar." sahutnya. Ia duduk diatas karpet dengan terus memeluk Zyan.
Aditya mencubit pahanya sendiri agar ia tidak kelepasan tertawa. Ia berjalan menuju dapur untuk membuatkan Amanda minum.
"Zyan, bantu mama." racau Amanda melanjutkan tangisnya.
"Papapapaaaa," sahut Zyan tidak jelas.
"Kamu bicara apa, Zyan? Mama gak ngerti. Yang jelas dong kalau ngomong,"
"Paapapapa," oceh Zyan lagi.
"Kamu harus jadi cucu Tuan Zenaraga, biar kamu bisa bantu mama balas dendam. Nanti, kalau kamu jadi cucunya, kamu ajak kakekmu itu bicara dan katakan untuk tidak menyetujui kerjasama yang mantan mama ajukan, ya? Bantu mama, Zyan..."
Aditya kembali dengan ekspresi yang masih sama, yaitu menahan tawa. Dan bisa-bisanya gadis itu menyuruh anaknya yang belum bisa bicara itu untuk berbicara dengan pria yang mengaku orang tuanya. Ia duduk didepan Amanda dan menawarkan minuman.
"Minum dulu, biar air matanya tidak habis." Aditya semakin suka menggoda Amanda.
"Gak apa-apa habis juga. Biar gak bisa nangis lagi," sahut Amanda polos.
Aditya tertawa kecil. "Jangan seperti itu, Nona. Air matamu harus keluar karena kebahagiaan, bukan menangisi pria seperti itu." ujarnya.
Amanda menghapus air matanya. "Baiklah," putusnya. Ia memberikan Zyan pada Aditya dan mengambil gelas minum itu.
Aditya sedikit cengo melihat perubahan Amanda. Apalagi gadis itu langsung menghabiskan air minumnya dan kembali nangis.
"Huaaaa, Rafli tega sekali." air mata Amanda kembali turun. "Deras 'kan air matanya keluar?" sempat-sempatnya ia bertanya pada Aditya.
"I-iya, Nona." jawab Aditya yang langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Dia sakit hati emang nangisnya gini, ya? Kok lucu?" batinnya yang mati-matian menahan tawa.
Amanda nangis sesegukan. "Aku harus balas dendam, Dit. Enak sekali dia sudah menghabiskan uangku dan malah nikah sama sahabatku sendiri? Raflianjing emang!!" makinya.
"Ini, Nona." Aditya memberikan tisu pada Amanda. Ia tidak tahu harus menjawab apa selain memberikan tisu.
Amanda mengambil selembar tisu dan mengeluarkan ingusnya tanpa rasa malu sedikit pun pada Aditya.
Chesssss...
"Astaga, Nona." kaget Aditya membuka matanya lebar.
Amanda menatap polos Aditya. "Kenapa? Apa kamu kira orang cantik tidak bisa ingusan kalau nangis? Kamu salah besar," pungkasnya dengan mata yang sudah sembab itu.
Aditya tergelak mendengar perkataan Amanda. Siapa sangka kalau gadis cantik itu berkata seperti demikian?
Amanda semakin kencang menangis karena ditertawakan oleh Aditya. "Kamu kok ketawa, sih? Kamu jahat banget karena tertawa diatas penderitaanku, huaaaa..."
Aditya langsung menutup mulutnya agar tawanya berhenti. Beberapa menit ia mengatur napas dan tawanya agar tidak membuat Amanda semakin sedih.
Ia memperhatikan Amanda yang masih menangis itu. Ia tersenyum jahil kala teringat sesuatu. 'Jika seseorang tengah bersedih, kasih apa aja atau perintah apa saja, maka orang itu akan patuh'.
"Sudah, Nona. Mending kamu menyusui Zyan biar berkurang sedihnya," niat hati Aditya hanya bercanda. Tapi, Amanda benar-benar mengambil Zyan dari tangan Aditya.
"Zyan mau nen, ya? Mama kasih nen tapi nanti bantuin mama bicara sama kakekmu, ya?" kata Amanda cemberut. Ia menaikkan bajunya keatas dan mengeluarkan gunung kembarnya dari kurungan bra. "Ayo nen, Zyan." ia mengarahkan nipple nya ke mulut Zyan.
Aditya terbelalak karena gadis itu benar-benar menyusui anaknya. Namun, ia juga mati-matian menahan tawanya agar tidak meledak dengan kepolosan Amanda.
"Mama sedih, tapi mama mau ketawa karena kamu membuat mama geli, Zyan." celoteh Amanda yang menatap Zyan dengan bibir yang melengkung ke bawah. Ia beralih menatap Aditya dan tiba-tiba ekspresinya berubah seperti kebingungan. Ia kembali melihat Zyan yang menyusu.
1.. 2..3..
"Yakkkk, Aditya!!!" teriak Amanda saat menyadari bahwa ia sudah terkena hasutan Aditya.
Hahahah...
Aditya tertawa nyaring hingga ia berguling dilantai. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya karena tangis Amanda benar-benar menghibur.
Telinga Amanda memerah dan panas. Ia benar-benar malu karena sudah menyusui Zyan didepan Aditya. "Eh? Ka-kamu?"
Aditya mengangguk disela tawa. "Tadi malam aku sudah melihatnya, Nona."
"Ishhh, Aditya! Aku malu!!"
Hahahha...
🌸🌸🌸🌸🌸