Menyukai seseorang adalah hal yang pribadi. Zea yang berumur 18 jatuh cinta pada Saga, seorang tentara yang tampan.
Terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya, Zea adalah gadis yang paling berani dalam mengejar cinta, dia berharap usahanya dibalas.
Namun urusan cinta bukanlah bisa diputuskan personal. Saat Zea menyadari dia tidak dapat meluluhkan hati Saga, dia sudah bersiap untuk mengakhiri perasaan yang tak terbalaskan ini, namun Saga baru menyadari dirinya sudah lama jatuh cinta pada Zea.
Apakah sekarang terlambat untuk mengatakan "iya" ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANUVER CINTA~PART 22
Zea masih menatap mendongak dengan kilatan-kilatan amarah. Kayanya dendam itu akan ia bawa sampai mati. Seumur hidup akan ia ingat selalu, kalo jalan pertamanya dengan Sagara harus di warnai dengan tindakan penghinaan dari burung, dan mungkin hal ini masuk ke dalam list pengalaman terburuk dalam hidupnya.
Kalau saja ia sedang memegang gergaji kayu, mungkin sudah ia sikat habis pohon-pohon yang menjadi tempat sarang burung bertengger disini.
Jelas saja, si burung pergi dengan riang dan senandung kicauannya selepas lega mengeluarkan hampas di perut padahal Zea sudah frustasi karena kini ia berlumuran kotoran burung di bagian pundaknya, mana sepatunya lagi bertengger cantik di atas dahan ketiga dari dahan paling bawah yang ada disana, jelas itu cukup tinggi untuk seorang Zea Arumi.
"Kyaaa!" jeritnya sungguh geram, sudah seperti orang gila, ia mencari-cari benda yang bisa ia pakai untuk mengambil sepatunya di atas sana, tapi tak jua menemukan, "awas lo ya. Abis ini gue bersumpah, cita-cita gue jadi pemburu burung terutama elo!" omelnya sendirian hanya berteman pohon yang mungkin jauh di lubuk hatinya sudah terbahak dengan kelakuan gadis ini.
"Gimana ceritanya, gue mau apel malah di bokerin! Apes banget ngga sih gue?! Apa mesti diruwat?!"
Ia tidak menangis, tidak pula merengek, yang Zea lakukan adalah melihat secara seksama struktur batang kayu yang siap untuk ia panjat apakah mampu ia panjat dan tidak bikin kulitnya terluka? Sambil terus mengomel merutuki burung dengan sumpah serapahnya mirip emaknya si Malin Kundang.
"Ah si alan kan!" gerutunya lagi ketika dengan susah payahnya ia menapaki batang kasar pohon itu, "ini tuh gue waktu di kandungan mamih teken perjanjian buat hidup begini ya, sama pemilik hidup?" ocehnya lagi ampun-ampunan meratapi nasib buruknya akhir-akhir ini.
Sagara mengemudikan motor sowangnya berjuluk saturnus mx menuju tempat dimana ia meninggalkan Zea.
Namun dari kejauhan Saga mengerutkan dahinya tak melihat sosok Zea disana, kemana? Ia lantas menghentikan sepeda motor tepat di tempat tadi.
"Ze.."
"Zea.."
"Abang!" panggil Zea dari atas. Sagara mendongak melihat ke arah suara.
"Astagfirullah, Zea?"
Saga cukup terkejut, cuma ditinggal ambil motor tapi Zea sudah berada di atas pohon. Gimana kalo ia tinggal sehari? Mungkin gadis ini udah manjat tower sutet.
"Kamu ngapain disitu? Turun!" baru kali ini ia melihat gadis se-tarzan, Zea. Harus ia sebut apakah gadis yang sudah berhasil manjat tembok markas, pohon kiara payung yang tingginya meski tak setinggi menara eiffel namun cukup tinggi untuk ukuran gadis manis macam Zea.
"Zea ngambil sepatu yang nyangkut, bang." Gadis itu mulai kebingungan untuk mencari pijakan turun.
"Turun, aduh!" decak Sagara.
"Sebentar...tadi Zea naik gimana ya bang? Kok sekarang Zea ngga tau caranya turun!" jawabnya.
"Ya ampun!"
Saga akhirnya berdiri tepat di bawah pohon itu, "kaki kamu turun kesitu dulu, nanti abang tangkap..."
"Seriusan?" tanya Zea dari atas sana, "Zea berat bang!"
"Seberat-beratnya kamu ngga akan seberat beban misi abang," jawabnya. Yang benar saja, lalu ia anggap apa otot-otot liat Sagara? Tumor?! Kutil?!
"Oke." Zea menghela nafas dan mulai mengikuti interupsi Sagara, sebenarnya malu juga sih, bisa naik tapi lupa cara turun...tapi malu mah biar belakangan! Yang penting ia tidak jadi bestie'an sama tante kun.
Kaki putih Zea sebelah memakai sepatu dan sebelah tanpa alas kaki merambat menginjak dahan kuat seraya kedua tangannya berpegangan erat di dahan atas. Sedikit demi sedikit Zea turun hingga dahan untuknya berpijak habis.
"Lompat!" pinta Saga. Tentu saja dengan senang hati Zea melompat, sudah keahliannya lompat-lompat tempat tinggi begini. Sebelumnya saja, ia pun memanjat pagar dan melompat dari ketinggian, mana ditangkep cowok ganteng pula!
"Abang siap tangkep aku ya!" serunya dengan riang.
"Rejeki anak soleh tuh begini nih!" ocehnya. Bukannya ketakutan ia malah kegirangan, rupanya ada hikmahnya juga sepatunya nyangkut.
Zea melompat dari tempatnya ke arah Saga yang membelakangi, membuat Saga harus menahan posisinya dengan kuat ketika Zea jatuh diatas punggungnya dengan posisi seperti anak lut ung yang lagi digendong bapaknya.
"Makasih abang..." kekeh Zea turun merosot dari punggung Saga.
"Kamu ngapain naik-naik, kenapa sepatunya bisa nyangkut di atas?" Sagara memutar badannya.
"Tadi----"
Belum sempat Zea menjelaskan Saga sudah memotong ucapannya, "bau apa ini?" tanya Sagara.
"Huwaakkk! Abang! Zea di ee'in burung!" tunjuknya ke arah pundak seraya menggidikan bahu tak suka, seolah dengan cara itu ia bisa menyingkirkan kotoran burung di pundaknya meski mustahil, sebelumnya Zea menyingkapkan kuciran rambut yang ia ikat sebelumnya. Betapa tidak alis Saga kini mengernyit menatap ke arah dimana letak dosa tak sengaja itu.
Zea merengek dan mencak-mencak merutuki si burung yang amat berdosa.
Saga tertawa renyah melihatnya, "udah ngga usah lebay. Baru juga kotoran burung, belum kotoran yang lain..."
Zea langsung membeliak dengan kesantuyan Sagara, "baruuu! Baru abang bilang, ini kotoran loh, bukan saos fla vanilla!"
"Najis ih, bau!" sewotnya lagi kejiji'an.
"Tinggal ganti aja bajunya, atau mau mandi sekalian?" tanya Sagara kalem.
"Ganti, baju siapa?"
"Punya abang, kalo kamu ngga keberatan. Tenang aja, abang ngga punya kurap yang bisa nular..."
Tanpa pikir panjang, Zea mengangguk cepat, "boleh!"
Untuk pertama kalinya, Zea naik diatas motor berboncengan dengan Sagara, si abang-abangan gemes. Apakah bisa ia katakan, ada hikmah di balik musibah? Berkat kejadian dibokerin burung ia justru dapat lebih dekat dengan Sagara. Ia pun bisa tau dimana Sagara tinggal.
"Abang ambil dulu baju, kamu langsung aja ke dalem." pintanya membuka pintu mes'nya. Sagara melirik kanan dan kiri mes'nya, memastikan jika mes Izan dan Luki sepi. Entah kemana duo jomblo itu sekarang, palingan juga fisik sore.
Zea menyapukan pandangan ke seluruh inci ruangan mes bernuansa biru itu, ukurannya kecil persis kontrakan gang senggol, bahkan jika dibandingkan dengan kamar di rumahnya jelas ini hanya seper3nya saja.
"Ini beneran nih, mes tentara segede ini? Kecil amat." geleng Zea, beginilah jika mode princessnya keluar, jiwa bubuk rengginangnya ogah memaklumi.
Zea akui, ruangan kecil itu cukup rapi. Mungkin tentara memang tak semua rapi, tapi mungkin mereka hidup disiplin dan tertata. Terbiasa hidup sendiri, Sagara bisa digolongkan ke dalam kumpulan manusia rapi nan bersih.
Zea masuk ke dalam kamar mandi kecil, lalu membuka kaos t shirtnya hati-hati takut jika kotoran itu mengenai kulit menyisakan badan bagian atas yang hanya tertutup behaa ukuran kecil, lalu ia membasuh sedikit bagian yang terjatuhi kotoran dengan air dan sabun milik Saga.
"Ze, kaosnya!" gadis itu menoleh ke arah pintu, "oke bang. Sebentar!"
"Abang taro di dekat pintu, abang tunggu di luar ya," ucapnya diangguki Zea dari dalam, "iya."
Tangannya membuka handle pintu kamar mandi, lalu menjulur keluar dengan membuka sedikit celah, kemudian diraihnya kaos milik Saga, "emmhhh, wangi bang Saga! Ogah gue cuci lah ntar, ngga akan gue balikin juga!" gumamnya membaui dan memeluk kaos Sagara.
Kaos putih yang dipinjamkan Sagara untuk Zea memang cukup kebesaran di badan gadis itu, jelas! Karena perbedaan postur tubuh, leher kaos Saga bahkan tak sempat menyembunyikan tali surgawi di pundak Zea diantara kulit seputih susu Zea.
"Abang, kegedean..." Zea memasukan ujung kaos ke dalam pinggang celananya.
Saga menoleh dari tempatnya yang berdiri di dekat pintu rumah, ia sempat mendengua geli melihatnya, "daripada pake punya kamu yang tadi?"
"Tapi nyaman kok! Zea suka, apalagi bau abang..." akuinya terkekeh manis.
"Sukur kalo suka. Yuk!" Saga sudah berjalan duluan ke arah motornya terparkir.
Zea melangkah mengikuti, "kita mau kemana?"
"Di deket sini ada tukang petis yang enak...suka petis?" tanya Sagara, kali ini digelengi Zea, "Zea sukanya pizza!" tukasnya.
"Disana ada menu minuman es teh lemon, ada singkong keju juga...suka ngga?" tanya Sagara lagi menawarkan.
"Zea suka chessecake sama red velvet, coffee latte juga, disana ada ngga?" tanya Zea.
Sagara terkekeh dalam diam, ditawari apa----mintanya apa...ya kali di kedai petis nanyainnya red velvet!
"Naik." Titahnya.
.
.
.
.
.