Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Mual?
Lidya menutup mulut dengan tangan. “Saya … mual,” katanya pelan. Wajahnya memucat lebih parah. Ia buru-buru meletakkan cangkir di meja, menahan rasa yang bergolak dari perutnya. “Saya kayaknya mau muntah.”
“Sebentar! Sini, saya bantu ke kamar mandi!” ujar perawat cepat, memegangi bahu Lidya.
Dengan langkah goyah, Lidya berjalan sambil dituntun menuju kamar mandi di sudut ruangan. Begitu pintu tertutup, suara air dan isak kecil terdengar samar. Tubuh Lidya gemetar, isi perutnya yang sedikit akhirnya keluar — hanya sisa teh dan udara kosong. Ia berpegangan pada wastafel, matanya basah, wajahnya nyaris tanpa warna.
Beberapa menit kemudian, perawat membantunya kembali ke ranjang. Lidya terlihat lemas, tapi mencoba tersenyum kecil.
“Maaf ya, Sus, bikin repot,” ucapnya serak.
“Enggak apa-apa, Mbak.” Perawat itu menatapnya dengan tatapan khawatir. “Tadi sarapan apa, ya?”
Lidya mengusap bibirnya pelan. “Cuma roti tawar setengah … sana minum kopi sedikit.”
Pantas, pikir sang perawat. Ia lalu bertanya lagi, suaranya lembut namun berhati-hati, “Mbak Lidya punya maag?”
Lidya mengangguk. “Iya. Tapi … nggak biasanya separah ini.”
Perawat itu menatapnya lebih lama. “Mungkin kelelahan, Mbak. Tapi nanti dokter kantor sebentar lagi datang. Biar dicek lebih pasti, ya?”
Lidya hanya mengangguk pelan, menatap kosong ke arah cangkir teh yang masih mengepulkan asap tipis di meja. Perutnya terasa perih dan dadanya sesak. Dalam hatinya, ia tahu rasa ini berbeda dari maag biasa. Ada sesuatu yang lain … sesuatu yang membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
***
Tak lama, pintu terbuka. Dokter perusahaan — seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan — melangkah masuk. Wajahnya ramah namun profesional. Ia sudah mengenal hampir semua karyawan, termasuk Lidya.
“Selamat pagi, Mbak Lidya,” sapa dokter itu. “Saya dengar tadi sempat pingsan, ya?”
Lidya mengangguk. “Iya, Dok. Mungkin karena kecapekan.”
Dokter tersenyum tipis. “Kita lihat dulu, ya?” Ia duduk di kursi dekat ranjang, mulai menyiapkan stetoskop dan peralatan pemeriksaan kecil.
Sambil memeriksa tekanan darah dan denyut nadi, ia bertanya pelan, “Tadi mual juga, ya?”
“Iya, Dok … barusan sempat muntah sedikit.”
“Sering mual akhir-akhir ini?”
Pertanyaan itu membuat Lidya diam sejenak. Ia menatap jari-jarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan. “Beberapa hari ini, iya,” jawabnya akhirnya. “Tapi saya pikir cuma maag kambuh.”
Dokter meletakkan stetoskop, lalu menekan perlahan perut bawah Lidya. “Ada rasa nyeri di sini?”
Lidya meringis sedikit. “Sedikit.”
“Hm .…” dokter itu mengangguk pelan, menatap catatannya. Lalu dengan nada datar tapi hati-hati, ia bertanya, “Terakhir haidnya kapan, Mbak?”
Pertanyaan itu membuat Lidya menegakkan tubuh spontan. Matanya bergerak cepat, seolah mencari alasan. Ia terdiam beberapa detik sebelum menjawab dengan suara yang nyaris bergetar.
“Mungkin … minggu lalu, Dok. Atau … belum, eh, tapi mungkin besok.”
Dokter mengangguk, tidak langsung berkomentar. Ia hanya menulis sesuatu di kertas catatan, sementara Lidya menunduk dalam diam — matanya mulai kabur oleh gugup yang tiba-tiba naik ke dada.
“Kalau masih sering mual, sebaiknya nanti ke rumah sakit saja, Mbak,” ujar dokter akhirnya. “Biar diperiksa lebih lanjut, bisa ke bagian penyakit dalam atau kandungan kalau perlu. Jangan dibiarkan, ya?”
Lidya hanya mengangguk pelan. “Iya, Dok.”
Sang dokter lalu tersenyum lembut sebelum pamit keluar. “Saya kasih vitamin anti-mual dulu. Istirahat yang cukup, Mbak Lidya.”
Begitu pintu tertutup, Lidya terdiam. Tatapannya kosong ke arah infus yang menetes perlahan. Tapi dalam dadanya, pikiran berputar kacau.
“Haidku … belum datang juga.”
Tangannya mengepal di atas selimut, napasnya tertahan.
***
Satu jam kemudian, pintu diketuk pelan. Suara berat dan tenang menyusul di baliknya.
“Boleh aku masuk?”
Lidya langsung tersentak. Itu suara Arjuna.
Ia buru-buru mengatur napas, berusaha terlihat tenang saat Arjuna melangkah masuk. Pria itu masih dengan jas kerjanya, dasinya sedikit longgar, ekspresinya datar — tapi matanya menyapu seluruh ruangan dengan cepat, berhenti di wajah Lidya.
“Gimana? Udah lebih baikan?” tanyanya datar.
Lidya menunduk sedikit. “Sudah, Kak. Tadi cuma maagnya kambuh. Udah dicek dokter.”
Arjuna mendekat beberapa langkah, berdiri di sisi ranjang. “Kamu masih kelihatan pucat.”
“Cuma kecapekan. Nggak apa-apa.”
Arjuna diam sebentar. Ia menatap meja kecil di samping Lidya — cangkir teh yang belum habis, roti yang masih utuh, dan nampan yang berantakan. “Kamu belum makan.”
Lidya berusaha tersenyum. “Nggak nafsu.”
Arjuna menatapnya lama, seolah ingin menembus dinding jarak yang kembali ia bangun. “Kamu pikir tubuh kamu bisa kuat kalau terus maksa diri begini?”
Nada suaranya dingin, tapi di dalamnya terselip nada khawatir yang samar.
Lidya menghindari tatapan itu. “Kak, tolong jangan ribut soal ini. Aku tadi udah cukup istirahat. Dan, sekarang aku sudah lebih baik.” Padahal tidak seperti itu.
“Lidya.” Suaranya kini turun, rendah dan tegas. “Aku tahu kamu keras kepala. Tapi kalau sampai kamu jatuh pingsan lagi, aku nggak akan diam aja.”
“Kenapa?” Lidya menatapnya, suaranya bergetar. “Karena aku sekretarismu? Karena Kakak takut acara perusahaan gagal?”
Arjuna terdiam sesaat. Wajahnya menegang, tapi matanya tak bergeser dari tatapan Lidya. “Bukan begitu Lidya, kalau masalah pekerjaan bisa dihandle oleh staf yang lainnya. Karena aku nggak mau lihat kamu sakit begini, Lidya. Apa kata Mama kamu kalau dengar kamu pingsan di kantor."
Keheningan menggantung. Hanya detak jam dinding yang terdengar.
Lidya menunduk, menelan ludah yang terasa pahit. Ia tidak sanggup menjawab. Kalau ia bicara sekarang, ia tahu suaranya akan pecah.
Arjuna akhirnya menarik napas panjang. Ia berbalik, tapi sebelum benar-benar keluar, ia menambahkan pelan, “Kalau kamu masih merasa mual, aku antar ke rumah sakit. Tadi dr. Shinta menyarankan seperti itu.”
“Nggak perlu,” jawab Lidya cepat, hampir defensif. “Aku bisa sendiri.” Bisa bahaya kalau diantar ke rumah sakit, pikir Lidya.
Arjuna menatapnya sekilas, dingin namun tajam. “Sendiri bukan berarti kuat, Lidya.”
Ia kemudian berjalan keluar saking kesalnya, meninggalkan aroma parfum dan jejak langkah berat yang menggema sampai pintu tertutup.
Begitu pintu menutup, Lidya jatuh bersandar pada ranjang. Matanya menatap langit-langit, sementara dadanya terasa sesak.
Air mata menetes pelan di sudut matanya — bukan karena sakit fisik, tapi karena ketakutan yang kini tumbuh diam-diam.
Ia menatap perutnya yang datar di balik selimut.
"Satu malam … cuma satu malam … tapi kalau benar ini terjadi … bagaimana aku harus hidup setelah ini?"
Ia menggigit bibir, menahan isak. Sementara di luar, langkah Arjuna berhenti tepat di depan ruang medis. Ia berdiri di sana, menatap lantai kosong, ekspresinya sulit dibaca — dingin di permukaan, tapi matanya menyimpan kekacauan yang nyaris tak tertahan.
Tangannya mengepal pelan di saku celana. Ia tidak tahu kenapa dadanya terasa sesak sejak mendengar Lidya muntah tadi. Tidak tahu kenapa wajah pucat perempuan itu terus terbayang bahkan saat ia mencoba bersikap profesional.
Satu hal yang ia tahu — apa pun yang sedang terjadi pada Lidya, entah sakit, entah rahasia yang ia sembunyikan,
ia tidak akan membiarkannya sendirian lagi.
Tapi di sisi lain, pikirannya juga berteriak: Kamu sudah melangkah terlalu jauh, Arjuna.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa benar-benar terjebak — antara tanggung jawab, penyesalan, dan sesuatu yang mulai tumbuh di tempat yang seharusnya tidak ada: hatinya sendiri.
Bersambung ... 💔