Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24. Kehilangan
Ze sudah berada di rumah sakit bersama Rion dan Cia, mereka masuk di saat terakhir Malvin menghembuskan napasnya. Cia meluruh tergugu dalam pelukan mama Ze, sedangkan Rion menghampiri Maira yang masih menggenggam tangan Malvin. Rion memeluk bundanya dan ikut terisak di sana, sementara Asha di dalam pesawat sangat gelisah dan terus bertanya pada Alvaro apa yang terjadi. Alvaro tak lagi punya jawaban atas pertanyaan Asha.
"Pah? Sebenarnya ada apa?" Asha dengan mata sayu menatap Alvaro.
Alvaro menghela napas panjang. "Sayang, ayah Malvin mengalami kecelakaan. Saat ini sedang dalam penanganan tim dokter"
Asha tergugu, tenggorokannya tercekat bahkan sekedar untuk bertanya pada Alvaro tentang kondisi ayahnya saja dia tidak mampu. Alvaro seolah mengerti, dia mendekat mengusap lembut puncak kepala keponakan yang sudah dia anggap sebagai putrinya juga.
"Asha berdoa, minta sama Allah. Semoga ayah Malvin segera di beri kesembuhan," Alvaro memberikan air minum pada Asha untuk di minum agar lebih sedikit tenang.
"Eumm ... ayah akan baik-baik saja kan pa?" takut menyelimuti dirinya saat ini, membawanya pada ingatan tentang mimpinya selama beberapa waktu ini bahwa ayahnya akan pergi jauh.
"Kita doakan yang terbaik ya, sayang" Alvaro dan Asha sejenak mengheningkan cipta, mereka khusyuk berdoa untuk Malvin. Alvaro mendapatkan pesan masuk dari istrinya, dan dia bepindah tempat duduk di belakang Asha.
"Mas, aku jemput di bandara," Alvaro menaikkan sebelah alisnya membaca pesan dari Ayzel.
"Sayang?" Alvaro paham pasti ada sesuatu sampai Ze sendiri yang akan menjemput.
"Malvin berpulang mas," saat ini semua sedang dalam perjalanan dari rumah sakit menuju rumah duka kediaman mereka.
"Innalillahi wainnailaihi roji'un. Sayang, bagaimana cara bilang pada Asha?" Alvaro menjadi gelisah, tak bisa membayangkan jika Asha mengetahui ayahnya sudah tiada.
"Mas, jangan bilang Asha dulu. Biar Ze yang nanti bilang padanya," Alvaro kembali ke posisi duduknya semula. Di lihatnya Asha tertidur karena lelah menangis, Alvaro menyelimutinya. Membiarkannya istirahat sejenak, sebelum badai besar akan menghampirinya.
"Sayang, semoga kamu kuat melalui hari-harimu kedepan" ucap Alvaro dengan lirih.
Sementara di rumah duka semua tampak sibuk mempersiapkan proses pemakaman Malvin. Keluarga, sahabat dan rekan bisnisnya mulai berdatangan. Malvin sudah di mandikan dan di sholatkan, Maira terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Walaupun air matanya sesekali masih terus menetes, namun dia lebih kuat dari yang Tiara bayangkan. Rion berada di depan menerima tamu di temani Keenan, Kafka dan Naren. Cia masih larut dengan duka yang mendalam sambil mendekap foto ayahnya dalam pelukan bi Ana.
"Bi, gimana kakak?" Cia sangat khawatir dengan Asha, dia belum tahu tentang kenyataan bahwa ayahnya sudah tiada.
"Sebentar lagi kakak pasti sampai," Bi Ana berusaha menenangkan putri ke dua Maira.
Ze menghampiri Maira yang duduk di dekat mendiang Malvin. "Maira, aku jemput mas Al dan Asha dulu"
"Kak Ze," Maira dengan mata nanar menatap Ze yang sudah akan pergi menuju mobil.
"Aku akan berusaha menjelaskan padanya dengan hati-hati. Kita tahu ini tidak akan mudah untuk Asha, kamu harus lebih kuat dari saat ini Humey. Ini juga tidak mudah untukmu," Ze memeluk Maira sebelum akhirnya dia berangkat.
"Rion sayang, mama titip bunda dan kak Cia. Mama pergi dulu jemput kak Sha," Ze mengusap puncak kepala Rion. Rion adalah copy paste Malvin, meskipun dalam matanya terlihat kesedihan tapi dia tetap tegar.
"Mama Ze?" gurat resah terlihat dari kedua mata Rion saat Ze berkata akan menjemput Asha.
"Ade, mama tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi mama akan mengusahakannya," lebih dari siapapun Ze tahu apa yang harus dia lakukan. Ze juga dapat memahami kekhawatiran Rion juga Cia terhadap respon Asha ketika tahu ayahnya sudah tiada.
Kafka tidak terlalu mengenal sosok Ze yang mereka panggil sebagai mama, tapi dari sosoknya saja dia sudah tahu kalau perempuan paruh baya itu adalah seseorang dengan penuh ketenangan dalam menyikapi sesuatu.
Alvaro dan Asha sudah tiba di Jakarta dan saat ini Ze sedang menanti mereka keluar. Ze melambaikan tangan begitu melihat Alvaro dan Asha. Asha menghambur ke pelukan Ze, dia menangis sejadi-jadinya. Tak perduli jika banyak orang melihatnya, dengan lembut Ze mengusap punggung putri cantiknya itu.
"Kita ke mobil dulu yuk, sayang!" ucap Alvaro pada Asha dan Ze.
Asha yang masih terus merangkul pinggang mama Ze, sementara Ze merangkul pundak Asha dan membawanya bersandar pada dada Ze. Mereka sudah masuk mobil dengan posisi Asha duduk di belakang kemudi dan Ze ada di sampingnya masih terus memeluk Asha. Membiarkan Asha puas menangis dahulu sebelum dia berbicara dengannya tentang Malvin. Alvaro duduk di samping kemudi supir, meminta supir untuk berjalan dengan kecepatan tidak cepat namun juga tidak lambat. Alvaro tahu kalau istrinya butuh waktu sejenak untuk berbicara dengan Asha, agar saat sampai di rumahnya nanti Asha bisa menguasai dirinya.
Asha sudah lebih tenang dari sebelumnya, Ze memberikan air mineral untuk di minum Asha. Asha meminumnya hingga tandas, selain lelah perjalanan juga karena lelah menangis.
"Sayang, kalau boleh mama tahu ayah Malvin selalu mengingatkan Asha tentang apa saat membahas tentang dunia?" Ze berbicara selembut mungkin dengan hati-hati pada Asha.
"Semua yang ada di dunia itu titipan Allah ma," meskipun Asha merasa agak aneh dengan pertanyaan Ze. Namun dia tetap menjawab dan mendengarkan setiap perkataan mamanya, sementara Alvaro hanya mendengarkan dan melihat mereka berdua dari kaca kemudi.
"Betul, karena semua hanya titipan. Kalau Allah mau mengambilnya tentu kita tidak bisa melarang bukan?" Asha semakin takut dengan apa yang akan mamanya katakan lagi.
"Iya ma, ayah selalu bilang kita tidak boleh serakah. Apa yang kita miliki suatu saat akan kembali pada Allah," Ze menghela napas panjang, digenggamnya tangan Asha dan diusapnya dengan lembut.
"Sayang, apa yang akan mama dan papa katakan mungkin akan membuat Asha sedih. Tapi apapun itu Asha harus ingat, kita semua ada untuk Asha," tatapan mata Asha pada mamanya seolah berusaha menerka-nerka apa yang akan di katakan.
"Ma," Ze menghela napas sekali lagi sebelum mengatakan pada Asha dengan penuh ketenangan.
"Sayang, ayah Malvin telah berpulang dengan damai. Dengan senyuman yang paling indah, meninggalkan kita semua yang larut dalam duka mendalam," mendengar ucapan mamanya seperti mimpi buruk untuk Asha. Tapi dia tahu ini bukan mimpi, tenggorokannya tercekat tak sepatah katapun mampu dia ucapkan.
"Sayang, mama tahu ini tidak mudah untuk Asha. Mama tidak melarangmu untuk menangis atau apapun, Asha tetaplah manusia biasa yang dapat merasakan kehilangan. Asha boleh rapuh, Asha boleh bersedih. Tapi mama berharap Asha tetap harus bangkit, Asha harus tegar untuk membuat ayah tersenyum bahagia. Menghiasi jalan yang akan ayah Malvin tempuh dengan cahaya terbaik dari setiap doa dan amal baik yang di panjatkan Asha, Cia dan Rion." Asha kembali memeluk Ze dan membenamkan kepalanya di perut mamanya, hanya ada isakan pilu yang semakin membuat Ze merasakan betapa hancurnya Asha saat ini.