Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29
"Kurang ajar! Emangnya siapa yang punya kalo bukan aku!"
Aku benar-benar dibuat kalap oleh sepupu tengil yang satu itu. Rasanya satu pukulan di wajah belumlah cukup untuk memberinya pelajaran. Doni terlihat angkuh, arogan, dan keukeuh mengusirku dari toko sendiri.
"Bukan! Toko ini sekarang bukan punya kamu lagi! Sana pergi, bawa sekalian barang-barang nggak guna kamu itu!"
Astaga! Aku menyesal memiliki sepupu sepertinya, dan aku lebih menyesal lagi sudah mempekerjakannya di tokoku. Tanganku mengepal semakin erat, bersiap melayangkan tinju ke wajahnya yang memuakkan.
Namun, kedatangan sepeda motor ke toko menghentikan niatku untuk membuat babak belur sepupu satu itu. Sedikit lega ketika melihat Irwan yang datang, ia turun setelah memarkir motor dan berjalan melewatiku begitu saja. Tanpa menyapa?
Aku menganga, terkejut bukan main dengan sikap Irwan yang tidak biasanya. Ini salah! Benar-benar salah!
"Hei, Irwan! Kamu nggak lihat aku di sini? Mulai ngelunjak, ya," panggilku tidak terima.
Sosok sahabat yang aku pekerjakan itu barulah menoleh, ia menyipitkan mata seolah-olah sedang mengingat siapa aku. Setelahnya, tersenyum lebar dan berbalik sepenuhnya menghadapku.
"Eh, Raka. Maaf, aku kira siapa? Tumben datang ke sini? Ada perlu apa?"
Kulipat dahi begitu dalam mendengar sederet pertanyaan Irwan yang tidak masuk akal sama sekali. Perlu apa? Tentu saja uang, ini tokoku.
"Dia mau uang, Ir. Dia pikir toko ini punya dia, jelas-jelas bukan. Kamu lihat, dia nonjok aku cuma gara-gara nggak aku kasih kunci laci uang. Songong banget, 'kan?"
Aku membelalak ketika Doni mengadu demikian kepada Irwan. Apa-apaan mereka, apa sedang mengerjai ku? Sialan! Apalagi si Doni, minta dihajar benar-benar. Bukannya membela dan menjelaskan kepada Doni Irwan justru tertawa setelah melihat luka lebam di wajahnya.
"Jelas, ini toko aku. Jadi wajar kalo aku mau periksa keuangan. Kamu juga tadi dari bank, 'kan? Syukurlah kamu masih tahu terima kasih, nggak kayak sepupu setan itu!" geramku dengan amarah yang terus memuncak dan kurasa sudah mencapai ubun-ubun.
Semoga saja Irwan lebih mengerti daripada Doni. Uang itu pastilah sudah masuk ke rekeningku. Aman dan lega rasanya. Irwan berbalik kembali menghadapku, menatap dua dus yang ada di hadapanku. Lalu, berjalan mendekat dan menepuk bahuku.
"Toko ini memang udah pindah tangan, mungkin udah dua Minggu yang lalu waktu pemilik sewa datang marah-marah karena nggak dibayar sama kamu. Toko juga waktu itu nggak ada pemasukan sama sekali, sisa barang-barang kamu utuh. Itu, udah kami rapihkan di dalam dus tinggal bawa aja. Nggak usah emosi, Ka. Kamu juga nggak pernah datang ke toko, jadi nggak tahu keadaan, 'kan?"
Aku kembali dibuat menganga oleh pernyataan Irwan, perlahan menoleh padanya. Menatap dengan bingung sahabat yang tengah tersenyum padaku itu.
"Apa maksud kamu?" Tidak terima rasanya mendengar penyangkalan Irwan. Sampai kapanpun toko ini akan tetap menjadi milikku.
Irwan menghela napas, memutuskan pandangan dariku.
"Jelasin, Ir. Biar orang satu itu ngerti dan sadar diri!" sungut Doni yang kemudian berbalik masuk ke dalam toko.
Kurang ajar! Akan aku adukan kepada orang tuanya. Lihat saja kamu, Doni!
"Kamu tahu, Ka. Kami diusir sama pemilik gedung ini dan semua barang dagangan punya kamu dilempar dari tempatnya. Mereka marah karena kita nggak bayar sewa selama tiga bulan berturut-turut. Ke mana uangnya, Ka? Bukannya itu tanggung jawab kamu?"
Aku gelagapan mendengar pertanyaan Irwan. Yakin, dia dapat melihat kegugupan di wajahku kini. Aku terdiam beberapa saat berpikir mencari alasan.
"Ibuku masuk rumah sakit, Ir. Aku butuh uang buat pengobatannya. Jadi, uang itu aku pake dulu," kilahku. Maaf, Mah. Raka durhaka.
Irwan kembali menghela napas, dari eskpresinya kurasa dia tidak percaya pada jawabanku. Terserah, yang penting sekarang aku sudah dapat uang.
"Ya, aku bisa maklum kalo itu, tapi maaf. Toko ini sekarang udah bukan punya kamu lagi. Udah dibeli sama orang dan mereka minta kalo ada kamu datang, disuruh kasihkan barang-barang sisa kamu itu. Lagian aku ke bank tadi buat setor ke bos baru kami, bukan kamu," jelas Irwan dengan ekspresi wajah yang seolah-olah sedang mengejekku.
Kutatap dua dus yang tadi dibawa Doni dari dalam gudang, apakah itu berisi barang-barang jualanku?
"Kenapa kalian nggak ada yang ngomong sama aku? Seenggaknya kalian bisa telpon aku?" Kembali kuangkat wajah menatap geram pada Irwan.
"Emangnya nomor kamu aktif? Aku udah telpon berkali-kali buat kasih tahu, tapi nomor kamu nggak bisa dihubungi. Ke mana, Ka? Alasan apa lagi yang akan kamu buat. Udahlah, emang udah kayak gini jadinya. Mau apa lagi?" ujar Irwan membuatku kehilangan kata-kata untuk menimpali.
Aku ingat waktu itu, waktu di mana aku mematikan ponsel karena tak ingin dihubungi siapapun. Sialan! Pantes banyak panggilan dari Irwan. Ini emang salah aku.
"Tapi seenggaknya kamu bisa datang ke rumah buat kasih tahu aku!" Masih mencari alasan untuk membuat mereka merasa bersalah.
"Udahlah, Ir. Percuma ngomong sama dia, nggak bakal ngerti mau kamu sampe berbusa juga," celetuk Doni kembali memantik api di dadaku.
"Nggak usah cari alasan cuma buat nutupin kesalahan kamu, Ka. Sekarang, kamu harus bisa ngerti kalo toko ini udah bukan punya kamu lagi. Dia beli gedung ini, semua barang kamu dibersihkan. Yang ada sekarang barang-barang keluaran terbaru semua. Aku harap kamu ngerti dan nggak bikin masalah di sini," ucap Irwan semakin membuat hatiku tak bisa menerima.
"Siapa? Siapa yang beli gedung ini? Bilang sama aku!" Aku menuntut padanya, ingin membuat perhitungan. Enak saja membeli tokoku tanpa berbicara lagi. Setidaknya ada bahasa padaku, agar aku bisa mengerti dan bisa menerima.
"Maaf, Ka. Nanti kamu juga tahu sendiri siapa."
Ingin aku mencecar Irwan agar dia mengatakan siapa yang sudah membeli gedung ini. Namun, kedatangan beberapa pelanggan menghentikan niatku. Malu jika harus berdebat di hadapan banyak orang.
"Maaf, ya. Aku tinggal dulu, ada pelanggan. Yang sabar!" Irwan menepuk pundakku dua kali sambil tersenyum sebelum berlalu masuk ke dalam toko untuk melayani pelanggan.
Apakah memang ini sudah takdirku? Tempat usahaku satu-satunya harus raib entah siapa yang telah merampasnya? Aku menatap nanar dua dus di hadapan, menghela napas dan mengangkutnya ke dalam mobil.
Biarlah, aku akan mencari lapak baru untuk membuka usahaku sendiri. Kupandangi toko yang kini membesar dan ramai, itu milikku. Apa aku harus merelakannya untuk orang lain? Rasanya berat dan tentu saja aku tidak rela.
Suatu saat aku akan datang lagi untuk memastikan siapa yang sudah bersikap lancang mengambil alih toko itu dariku. Sekarang, aku harus cari tempat di mana?