Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan yang Tertinggal
Puing-puing altar kuno masih berasap ketika Liu Wei dan Xiao Mei menuruni tangga batu yang retak. Udara dipenuhi aroma dupa yang terbakar bercampur dengan energi spiritual yang masih bergemuruh setelah pertarungan dahsyat sebelumnya. Serpihan-serpihan formasi kuno berserakan di lantai, masing-masing memancarkan sisa-sisa energi yang membuat bulu kuduk merinding.
Liu Wei merasakan tubuhnya gemetar - bukan karena ketakutan, tapi karena kelelahan yang mendalam. Ritual Trinitas telah menguras hampir seluruh energi spiritualnya, meninggalkan rasa hampa yang aneh di meridiannya. Di sampingnya, Xiao Mei tampak tidak lebih baik. Wajahnya pucat, dan Liu Wei bisa melihat tangan gadis itu sedikit bergetar saat dia menopang tubuhnya dengan pedang bulan peraknya.
"Kita harus bergegas," Xiao Mei berbisik, matanya awas mengawasi sekeliling. "Para Tetua Sekte Awan Ungu pasti sudah merasakan guncangan energi tadi. Jika mereka menemukan kita di sini..." Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Mereka berdua tahu apa yang akan terjadi.
Liu Wei mengangguk, tapi langkahnya terhenti ketika dia melihat sesuatu berkilau di antara reruntuhan. Sebuah gulungan bambu tua, diikat dengan pita sutra keemasan yang sudah lusuh. Energi yang familiar mengalir darinya - energi yang mengingatkannya pada hari-hari panjang berlatih di perpustakaan, dengan suara Guru Feng yang sabar mengoreksi setiap kesalahannya.
"Itu..." Xiao Mei menahan napas, mata birunya melebar. "Bukankah itu gulungan teknik rahasia milik Guru Feng? Dia tidak pernah membiarkan siapapun menyentuhnya, bahkan para Tetua sekalipun."
Dengan tangan sedikit bergetar, Liu Wei mengambil gulungan itu. Saat jemarinya menyentuh permukaan bambu yang halus, dia merasakan gelombang energi spiritual yang hangat. Huruf-huruf kuno di permukaannya berpendar lemah, seolah mengenali sentuhan murid sang guru.
Perlahan, Liu Wei membuka gulungan itu. Di dalamnya, tulisan tangan yang familiar menyambutnya:
Wei'er yang keras kepala,
Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tidak ada di sampingmu lagi. Maafkan gurumu yang ceroboh ini. Ada banyak hal yang ingin kuajarkan padamu, tapi waktu selalu menjadi musuh kita yang paling kejam, bukan?
Di dalam gulungan ini, kau akan menemukan teknik terakhirku - Seni Penyucian Jiwa. Ini bukan teknik untuk bertarung, tapi untuk menyembuhkan. Ya, menyembuhkan jiwa yang terluka, termasuk jiwamu sendiri.
Aku tahu hidupmu tidak mudah, Wei'er. Kau telah kehilangan terlalu banyak, terlalu cepat. Tapi ingatlah, kekuatan sejati bukan tentang seberapa banyak musuh yang bisa kau kalahkan, tapi seberapa banyak teman yang bisa kau selamatkan.
Dan mungkin, suatu hari nanti, kau akan menemukan bahwa jiwa yang paling membutuhkan penyembuhan... adalah milikmu sendiri.
Tetaplah hidup, muridku. Dan temukan kebahagiaanmu sendiri.
- Feng Zhi Yuan -
Liu Wei merasakan matanya memanas. Di sampingnya, Xiao Mei dengan lembut mengelus punggungnya, kehadirannya menjadi pengingat bahwa dia tidak sendirian.
"Liu Wei..." sebuah suara lembut memanggilnya. Mereka berdua berbalik dan melihat Bibi Liu, tabib senior Sekte Bulan Perak, berdiri di ambang pintu dengan wajah prihatin. Jubah putihnya yang biasanya rapi kini kotor oleh debu dan noda darah. "Para Tetua sedang dalam perjalanan kemari. Mereka membawa setidaknya tiga Kultivator tingkat Pembentukan Inti. Kalian harus pergi."
"Tapi Bibi..." Liu Wei ragu, merasakan konflik dalam hatinya. "Bagaimana denganmu? Mereka akan menghukummu karena membantu kami."
Bibi Liu tersenyum, sebuah senyum yang mengingatkan Liu Wei pada mendiang ibunya. "Aku sudah hidup cukup lama untuk tahu kapan harus berdiri di jalan yang benar, meski jalan itu berbahaya." Dia melirik gulungan di tangan Liu Wei. "Lagipula... sepertinya takdirmu ada di tempat lain sekarang."
Xiao Mei tiba-tiba maju dan memeluk Bibi Liu. "Terima kasih... untuk segalanya."
"Pergilah ke Lembah Sembilan Naga," Bibi Liu berbisik, mengeluarkan sebuah token jade dari lengan jubahnya dan menyelipkannya ke tangan Xiao Mei. "Carilah Pertapa Daun Merah. Dia... mungkin bisa membantu kalian memahami warisan ini. Dan dia masih berhutang padaku setelah aku menyelamatkan hidupnya lima puluh tahun lalu."
Suara langkah kaki dan teriakan mulai terdengar dari kejauhan. Liu Wei bisa merasakan getaran energi spiritual yang kuat - para Tetua semakin dekat.
"Aku akan menahan mereka," Bibi Liu berkata tegas, mengeluarkan jarum-jarum perak yang memancarkan energi bulan. "Kalian punya waktu tiga napas untuk teleportasi."
Liu Wei menggengam erat gulungan di tangannya, lalu mengangguk pada Xiao Mei. "Ayo," katanya, mengeluarkan sebuah formasi teleportasi dari kantong Qi-nya. Formasi itu adalah hadiah ulang tahun ke-20 dari Paman Chen - hadiah yang tidak pernah dia sangka akan dia gunakan dalam situasi seperti ini.
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan mereka."
Saat lingkaran teleportasi mulai berpendar, Liu Wei menatap Bibi Liu untuk terakhir kalinya. Wanita tua itu tersenyum, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Dan ketika cahaya teleportasi menelan mereka, Liu Wei bersumpah dalam hati.
Dia akan menemukan cara untuk menggunakan Seni Penyucian Jiwa.
Bukan untuk membalas dendam.
Tapi untuk menyembuhkan.
Karena mungkin... itulah warisan sejati yang ditinggalkan oleh mereka yang telah pergi.
Di kejauhan, di puncak tertinggi Gunung Awan Ungu yang selalu diselimuti kabut ungu, seorang pria tua membuka matanya. Energi spiritual bergejolak di sekitarnya, membuat daun-daun pohon persik abadi di sekitarnya bergetar. Dalam sekejap, dia bisa merasakan perubahan dalam aliran takdir - seolah seseorang baru saja menarik benang yang salah dalam tapestri kehidupan.
"Jadi..." dia bergumam, suaranya serak seperti kertas kuno yang robek. "Feng Zhi Yuan akhirnya memilih pewaris."
Di sampingnya, sebuah guci arak tua retak, cairan di dalamnya menguap menjadi asap ungu yang membentuk simbol-simbol kuno di udara.
"Dan permainan baru telah dimulai."
Senyum tipis tersungging di bibirnya yang keriput, tapi matanya yang setajam elang memancarkan kilau berbahaya.
Karena dalam dunia kultivasi, tidak ada yang namanya kebetulan.
Dan setiap warisan... selalu datang dengan harganya sendiri.