"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Sepatu Di Depan Rumah Lama
Mekdi menutup buku lama. “Ceritanya sudah berakhir,” ucapnya, meletakan buku itu di samping kanannya.
“Tidak ada keterangan tentang wanita bercadar di dalam cerita ini. Siapa dia?” Rendra bertanya-tanya. Wajahnya menampakan ketidakpuasan pada cerita yang baru saja dibacanya.
“Kenapa kau penasaran dengan wanita itu?” tanya Mekdi melihat wajah Rendra yang kusut.
Rendra mengambil kembali kameranya yang tadi diletakkannya di atas meja, menyalakan kamera itu, dan membuka kembali foto gadis bercadar yang sengaja ia simpan dalam kamera bermerek cannon miliknya.
“Kau lihat matanya,” Rendra mendekatkan kameranya pada Mekdi. “Mata wanita ini tidak hanya indah, namun juga terlihat menyimpan rahasia yang dalam!
Sepintas, Mekdi melihat kamera di tangan Rendra ,“biasa saja!” ujarnya kemudian memalingkan wajah.
“Beginilah jiwa-jiwa kosong jika melihat wanita, tidak ada sedikitpun ketertarikan yang tercermin di wajahnya. Jangankan untuk memahami wanita, mengagumi saja tidak! Rupanya kalau jomblo terlalu lama bisa membuat hati manusia menjadi batu,” sindir Rendra agak kesal.
“Waktu pemakaman Bapak Arfan, kamu ada di sana kan?” Mekdi mengalihkan topik pembicaraan.
“Ada! Kenapa? Kamu mau dimakamkan di sana juga?” tanya Rendra tersenyum.
Mekdi menghela napas mendengar jawaban Rendra sambil melihat ke arah ajudannya. Zetha tampak masih sibuk dengan laptopnya. Sepertinya Zetha tidak begitu mendengarkan apa yang baru saja diucapkan Rendra.
“Apa kau sempat memperhatikan makam lain yang ada di sana?” Mekdi kembali bertanya.
“Tidak! Buat apa?” Rendra balik bertanya.
“Aku penasaran, apa benar wanita yang bernama Rani dimakamkan di belakang rumah kediaman Bu Vika yang lama?
“Kalau penasaran, ya lihat lah ke sana!” saran Rendra.
“Kamu tahu jalan menuju ke sana?
“Ya tahu lah! Walaupun baru sekali ke sana, aku masih hapal jalannya.
Mekdi memasang kembali topinya yang diletakan di atas meja, berdiri, bermaksud ingin pergi ke lokasi makam Bapak Arfan. Ia masih penasaran, apakah semua yang tertulis dalam buku lama yang ia temukan, benar-benar sejalan dengan kenyataan.
“Antar aku ke sana!” pinta Mekdi pada Rendra.
“Zetha gimana?” tanya Rendra ikut berdiri, dan memasukan kamera ke dalam tas selempang yang masih tersandang di bahunya.
Zetha menghentikan pekerjaanya melihat Mekdi dan Rendra yang telah berdiri di hadapannya.
“Kembalilah ke kantor, dan kabari aku jika sudah ada laporan dari kepolisian yang ada di Lengayang,” ucap Mekdi pada Zetha yang saat itu masih diam menatapnya.
“Siap Pak,” jawab Zetha menutup laptopnya.
Mereka bertiga pergi meninggalkan rumah kediaman Bapak Arfan Dinata. Zetha pergi menuju kantor, sedangkan Mekdi dan Andra menuju ke rumah kediaman keluarga Ibu Vika Aediva yang lama.
Mobil mazda berwarna hitam milik Mekdi terus melaju mengikuti motor matic yang di kendarai Rendra. Seperempat jam perjalanan, sampailah mereka di rumah yang mereka tuju.
Sebuah rumah berdesain lama yang berdiri di atas tanah yang cukup luas, telah berada di hadapan mereka. Rumah yang dulu cukup mewah di zamannya, tampak tak lagi terawat.
Halamannya yang berlantaikan paving block, di penuhi rumput liar dan tanaman merambat yang menjalar ke dinding-dindingnya yang berlapis lumut. Jendela-jendelanya yang besar terlihat buram karena debu yang tebal, dengan tirai yang kusam mengintip dari dalam.
“Kenapa keluarga Bu Vika tidak menjual saja rumah ini? daripada ditinggal tidak terawat seperti ini?” ucap Mekdi ketika melewati rumah itu, menuju ke halaman belakang.
“Siapa yang akan sanggup membelinya Mek? Dari luar saja suasananya terasa agak lain!” ujar Rendra sambil mengusap-usap belakang lehernya.
“Agak lain bagaimana maksudmu? Biasa saja! lagi pula banyak rumah di sekitar sini,” ucap Mekdi memperhatikan rumah-rumah yang ada di sekitar tempat itu.
“Bagimu semuanya biasa saja Mek! Dari wanita sampai hal-hal seram, terasa biasa bagimu. Tapi bagi orang yang normal seperti aku, rumah ini jelas terasa berbeda. Kau tak normal Mek!
“Bukan aku yang tak normal, tapi kau yang penakut!” sangkal Mekdi mempercepat langkahnya.
Tidak lama berjalan, Mekdi dan Rendra tiba di pemakaman keluarga Ibu Vika. Ada banyak makam di tempat itu. Namun yang menarik perhatian mereka, makam yang berjejer di samping makam Bapak Arfan.
Mekdi memeriksa satu persatu batu nisan makam yang ada di samping makam Bapak Arfan itu. Di samping Makam Ibu Vika, Mekdi menemukan batu nisan yang bertuliskan nama Rani.
“Cerita dalam buku itu memang nyata,” ucapnya, lalu memungut satu tangkai bunga lavender yang tersandar di batu nisan makam itu.
“Bunga ini belum terlalu kering. Sepertinya Bapak Arfan berkunjung ke sini, sebelum hari kematiannya,” sambung Mekdi memperhatikan bunga lavender yang diambilnya.
“Mek, letakan kembali bunga itu,” Rendra berbisik pada Mekdi.
“Kenapa?” tanya Mekdi melihat wajah temannya yang tiba-tiba saja berubah pucat.
“Bulu kudukku berdiri,” ungkap Rendra memangku tas selempang yang dibawanya sambil melihat-lihat pohon beringin tua yang meneduhi pemakaman yang ada di tempat itu.
Mekdi meletakan kembali bunga lavender di batu nisan makam Rani, lalu melangkah mendekati makam Bapak Arfan. Bunga segar yang ada di atas makam Bapak Arfan juga menarik perhatian Mekdi. Ia mengambil sehelai mahkota mawar merah yang bertabur di atas tanah merah.
"Aduuuh… kenapa kamu ambil bunga lagi Mek?” Kening Rendra kembali berkerut.
“Bunga ini masih segar Ren, sepertinya baru saja ditaburkan,” jawab Mekdi memperhatikan bunga-bunga lain yang sudah layu. “Ada orang yang baru saja ke sini,” tukas Mekdi.
“Mungkin saja, ayo pergi!” ajak Rendra dengan mata yang terus memperhatikan apa yang ada di sekitarnya.
“Wartawan kok penakut!” ujar Mekdi mengeluh.
“Bukan takut, tapi aku ada rapat sebentar lagi,” elak Rendra memberi alasan.
“Coba periksa tasmu, mungkin ada potongan tangan di dalamnya!” ujar Mekdi tersenyum, lalu berjalan meninggalkan pemakaman.
Rendra meraba-raba tasnya yang berisi kamera sambil berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Wajah Rendra yang terlihat pucat dengan mata yang sedikit melotot, membuat Mekdi tersenyum-senyum sendiri melihat gelagat temannya itu.
Mekdi menghentikan langkahnya ketika sampai di halaman rumah lama keluarga Ibu Vika. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia melihat jejak sepatu yang baru saja menginjak tanah merah. Jejak itu masih terlihat basah.
“Ada apa?” tanya Rendra yang tadinya telah jauh melangkah di depan, kembali mundur menghampiri Mekdi.
Mekdi mengeluarkan handphonenya, kemudian berjongkok, dan mengambil gambar jejak sepatu yang ada di atas paving blok. “Dugaanku benar. Ada orang yang datang ke sini, lalu bersembunyi saat mengetahui kedatangan kita di tempat ini” terang Mekdi.
“Kau benar, tadi jejak sepatu itu tak ada di sini. Tapi apa masalahnya?
“Orang itu sengaja menghindar dari kita. Aku yakin, ada sesuatu yang ia coba sembunyikan, dan mungkin saja orang itu ada kaitannya dengan kematian Bapak Arfan,” sangka Mekdi mengamati keadaan sekelilingnya.
“Salah sendiri! kenapa kau berseragam lengkap datang ke sini!” ujar Rendra, beranjak pergi menuju motornya yang terpakir disamping mobil mazda milik Mekdi. “Aku mau ke kantor dulu!” tandasnya kemudian pergi dari tempat itu.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,