Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rapat Terbatas
Mumu duduk di samping pembaringan Erna, terus memantau perkembangan kesehatannya.
Mumu menghela napas panjang. Ia baru saja menyelesaikan pengobatan istrinya.
Perlu waktu setengah jam untuk menyembuhkan rasa sakit yang Erna derita barusan.
Seperti biasanya, setelah pengobatan selesai, Erna tampak jauh lebih baik. Namun, di balik perasaan lega itu, Mumu tetap diliputi kebingungan dan kekhawatiran.
Mumu sudah memantau baik secara fisik mau pun menggunakan kekuatan spiritualnya bahwa tidak ada sisa energi negatif dalam diri Erna setelah sepesai diobati.
Namun entah kenapa, penyakitnya bisa berulang lagi seolah-olah masih ada sisa.
"Ayah, terima kasih..." Bisik Erna lemah sambil menggenggam tangan Mumu.
Mumu tersenyum tipis, meski di dalam hatinya berkecamuk berbagai pertanyaan.
"Tak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban, Nda. Bunda bawa istirahat yang cukup. Ayah senang lihat Bunda sudah lebih baik sekarang."
Erna mengangguk pelan dan memejamkan matanya.
Namun, Mumu tidak bisa tenang. Sudah beberapa kali ia mengobati Erna dari penyakit yang timbul gara-gara melangkah kembang beraneka rupa yang ditabur di depan ruangan kantornya.
Aneh, setiap kali ia berhasil menghilangkan rasa sakit itu, dalam hitungan hari atau bahkan jam, Erna kembali menderita hal yang sama.
Semua analisis spiritualnya menunjukkan bahwa tidak ada jin atau makhluk halus lain yang mengganggu Erna. Tapi mengapa penyakit ini terus datang?
Mumu berdiri, berjalan pelan ke jendela kamar, memandang ke luar dengan tatapan kosong.
"Apa penyebab timbul lagi penyakit ini?" Bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Semua ilmu dan teknik pengobatan yang ia pelajari tak memberikan jawaban yang memuaskan.
Setiap kali ia sembuhkan, penyakit itu hanya pergi sementara, lalu kembali tanpa peringatan.
Baru kali ini Mumu mengalami hal seperti itu.
Erna membuka mata, menyadari suaminya tampak gelisah. "Ayah, ada apa?"
Mumu menoleh, sedikit terkejut bahwa Erna masih terjaga.
"Tidak ada apa-apa, Nda. Ayah cuma mikir, kenapa penyakit ini selalu datang lagi. Semua yang Ayah coba sepertinya tidak memberikan solusi jangka panjang."
Erna menatap suaminya dengan penuh kasih, meski rasa lelah masih tampak jelas di wajahnya.
"Ayah sudah melakukan yang terbaik. Bunda merasa lebih baik setelah Ayah mengobati. Mungkin... belum masanya penyakitnya sembuh total, Yah. Ayah tak perlu terlalu galau. Bagai mana pun juga kita hanya bisa berusaha."
Mumu mendekat dan duduk kembali di sampingnya.
"Tapi Bunda, penyakit ini aneh. Ayah sudah cek semuanya, tidak ada makhluk halus yang mengganggu, tidak ada energi negatif di rumah ini. Tapi kenapa penyakit itu masih kembali?"
Erna terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin... ini bukan tentang makhluk halus, Yah. Mungkin ada sesuatu yang lain."
Mumu menatap Erna dengan kening berkerut.
"Maksud Bunda?"
"Entah lah, Yah. Bunda pun tak yakin..."
...****************...
Di sebuah ruang rapat yang terletak di lantai tertinggi Rumah Sakit, pimpinan dan beberapa staf senior berkumpul dalam rapat terbatas.
Suasana di ruangan tersebut terasa tegang, meskipun beberapa orang mencoba menyembunyikan kegelisahan mereka.
Kepala rumah sakit, Dr. Hasan, duduk di ujung meja, tangannya bersedekap dan pandangannya serius.
Dia sudah mendengar cukup banyak keluhan dari pasien-pasien Rumah Sakit selama beberapa hari terakhir.
Keluhan itu hanya satu, ketiadaan Dokter Mumu, seorang Dokter yang begitu diandalkan banyak pasien terutama pasien yang berasal dari Poli Akupuntur.
“Baiklah, rekan-rekan sekalian.” Ucap Dr. Hasan, membuka rapat dengan suara rendah namun penuh wibawa.
“Kita semua tahu mengapa kita di sini. Ketidakhadiran Dokter Mumu selama beberapa hari terakhir telah menyebabkan keresahan di kalangan pasien."
"Ada yang marah, ada yang kecewa, dan sebagian besar mereka menuntut agar Dokter Mumu dipekerjakan kembali. Apa langkah kita selanjutnya?”
Seorang ketua administrasi Rumah Sakit, Bu Lina, membuka map yang ada di depannya.
“Berdasarkan data yang kami terima, keluhan pasien meningkat drastis dalam beberapa hari terakhir."
"Pada awalnya, banyak yang tidak menyadari bahwa Dokter Mumu sudah tidak bekerja di sini. Namun, setelah beberapa kali tidak bertemu dengan Dokter yang mereka percayai, pasien mulai bertanya-tanya."
"Saat ini, kami mencatat ada lebih dari seratus keluhan resmi dari pasien yang menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap Dokter pengganti.”
Dr. Hasan mengangguk.
“Itu masalahnya. Pengganti Dokter Mumu memang berkompeten, tetapi kita tidak bisa menyangkal fakta bahwa ada sesuatu yang spesial tentang Dokter Mumu."
"Dia bukan hanya Dokter yang ahli, tetapi juga memiliki hubungan emosional yang kuat dengan pasiennya.”
“Banyak pasien yang datang kemari memang secara khusus ingin bertemu dengan Dokter Mumu.” Timpal Pak Adi, kepala bagian pelayanan pasien.
“Beberapa bahkan mengatakan bahwa mereka tidak mau ditangani oleh Dokter lain."
"Dan ini menyebabkan masalah besar dalam operasional kita. Jika situasi ini terus berlanjut, kita akan kehilangan lebih banyak pasien.”
“Pertanyaan utama adalah,” Lanjut Bu Lina,
“Bagai mana kita bisa membuat Mumu kembali bekerja di sini? Saya dengar dia mempunyai sedikit persoalan dengan pimpinan rumah sakit bagian penanganan pasien."
"Itu memang salah saya karena terlalu banyak memberikan dia wewenang dalam menangani berbagai persoalan di Rumah Sakit ini sehingga seolah-olah dia bertindak seperti saya sendiri." Ujar Dr. Hasan.
“Sebaiknya topik itu jangan dibahas lagi, Pak." Ucap Buk Lina kepada Dr. Hasan, yang duduk di ujung meja dengan ekspresi serius.
“Kita fokus saja pada strategi agar Dokter Mumu mau kembali bekerja di sini.”
“Saya sangat setuju dengan Buk Lina.” Timpal Pak Adi, Kepala pelayanan pasien.
“Kalau kita terus membahas masalah itu tanpa tindakan nyata, kita hanya membuang waktu."
*Pasien sudah semakin banyak yang komplain, dan kita tidak bisa terus menunda mencari solusi. Fokus kita harus segera membawa Dokter Mumu kembali.”
Buk Lina mengangguk setuju, pandangannya kembali ke Dr. Hasan.
“Kita tahu Dokter Mumu sedang mengalami masalah, tapi saya rasa jika kita mendekatinya dengan tepat, dia bisa mempertimbangkan untuk kembali."
"Kita harus memberikan tawaran yang menguntungkan baginya, baik secara profesional maupun pribadi.”
“Betul...” Tambah Pak Adi.
“Kita bisa menawarkan jadwal kerja yang lebih fleksibel. Dokter Mumu mungkin merasa terbebani dengan tanggung jawabnya di sini, tapi jika kita menunjukkan kepedulian dan memberikan kelonggaran, dia mungkin akan merasa lebih nyaman untuk kembali.”
Dr. Hasan berpikir sejenak.
“Tapi apa itu cukup?” Tanya dia dengan nada penuh pertimbangan.
“Dokter Mumu memang dokter yang luar biasa, tapi jika dia tetap tidak mau, kita bisa berbuat apa."
“Saya mengerti kekhawatiran Bapak.” Jawab Buk Lina.
“Tapi kita bisa menawarkan bantuan lebih dulu. Tanyakan apa yang dia butuhkan agar merasa siap kembali."
"Jika dia butuh waktu lebih, kita bisa berikan itu. Yang penting adalah menunjukkan bahwa Rumah Sakit ini peduli pada dirinya.”
Dr. Hasan mengangguk, mulai menerima usulan tersebut.
“Baiklah. Kita fokus pada strategi pendekatan. Mungkin kita perlu mengirimkan seseorang yang dekat dengan Dokter Mumu untuk berbicara langsung dengannya. Apakah ada di antara kita yang memiliki hubungan lebih baik dengannya?”
Pak Adi tampak berpikir sejenak. “Saya rasa Pak Rendra, salah satu dokter senior, punya hubungan yang cukup baik dengan Dokter Mumu."
"Mereka pernah bekerja bersama di beberapa proyek penelitian. Jika Pak Rendra bisa berbicara langsung dengannya, mungkin Mumu akan lebih terbuka.”
“Bagus.” Jawab Dr. Hasan.
“Saya akan berbicara dengan Pak Rendra dan meminta dia menghubungi Dokter Mumu sesegera mungkin. Kita harus bergerak cepat, karena keluhan dari pasien semakin meningkat."
"Tapi ingat, kita tidak boleh terburu-buru dalam menekan Dokter Mumu. Pendekatannya harus hati-hati.”
“Setuju, Pak.” Ucap Buk Lina.
“Dengan pendekatan yang baik dan tawaran yang tepat, saya yakin Dokter Mumu akan mempertimbangkan untuk kembali bekerja.”
Rapat berakhir dengan keputusan bahwa mereka akan mulai dengan langkah-langkah yang lebih humanis dan mendukung Mumu, sambil tetap menjaga fokus utama untuk mengembalikannya ke Rumah Sakit.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...