"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Pak Wira
Liana merasakan sesuatu yang aneh, seperti ada hembusan nafas yang sangat dekat. Dia yang merasa tidurnya terusik pun membuka matanya berlahan. Alangkah terkejutnya dia, karena mendapati wajah Haris yang begitu dekat. Hidung mancung Haris menempel tepat di pipinya.
Posisi yang intens itu membuat jantung Liana meronta-ronta. Ini adalah kali pertama dia sedekat ini dengan seorang pria. Liana pun kembali memejamkan matanya, berpura-pura tidur dan tak tahu apa-apa. Agar tidak canggung jika nanti Haris tiba-tiba bangun.
Benar saja, beberapa saat kemudian Haris mulai melakukan pergerakan. Namun gerakan itu bukannya membuat Liana merasa lega. Justru Liana semakin ketar-ketir, karena Haris tiba-tiba meraih pinggangnya dan membawanya dalam pelukan hangat.
"Please..., mohon kerjasamanya...! Jangan sampai mas Haris mendengar detak jantungku, Tuhan...!!" begitulah do'a Liana dalam hati.
Liana merasakan kepala Haris menjauh, lalu sebuah tangan mengusap keningnya yang memang berkeringat karena nervous.
"Lian..., kamu demam...!!" ujar Haris tanpa melepaskan pelukannya.
Liana terpaksa membuka matanya, tapi tetap konsisten berakting seolah-olah dia baru bangun.
"Mas..." ujarnya pelan.
"Kamu sakit?" lagi, Haris memastikan kondisi Liana.
Haris melihat tangannya sendiri yang melingkar dengan santainya di pinggang Liana. Kemudian dia melepaskannya begitu saja. Sebelum Liana menyadarinya. Padahal sebenarnya Liana sangat amat sadar sesadar-sadarnya kalau tangan Haris melingkar di sana.
"Enggak, mas. Hanya sedikit pusing..." jawab Liana.
"Maaf, pasti kurang istirahat gara-gara aku." ujar Haris.
"Nggak kok, mas. Mas Haris sudah baikan?" tanya Liana kemudian.
"Em. Sudah lebih segar, cuma tenggorokan masih sedikit gatal." katanya
"Jam berapa sekarang, mas?" tanya Liana.
"Masih jam 2 malam." katanya lagi.
"Aku pikir sudah subuh..." gumam Liana.
"Kalau masih ngantuk, tidur saja lagi. Aku ambilin obat pusing dulu, bagaimana?"
"Ah, nggak usah, mas. Aku tidur lagi saja, nanti juga enakan pas bangun." Liana pun tersenyum.
Dan dengan cepat kembali menutup matanya dengan posisi membelakangi Haris.
"Ya ampun..., engap...!!" Liana mempererat pejaman matanya.
"Astaga, apa yang aku lakukan?" Haris merasa semakin gelisah.
Haris memperhatikan Liana yang tidur membelakanginya. Pria itu memastikan kalau dia hanya memeluknya, dan tidak melakukan hal di luar batas.
Sebenarnya dengan status mereka saat ini, pelukan semacam itu sah-sah saja. Tapi karena tidak adanya rasa antara keduanya, semua jadi terasa canggung.
Haris menghela nafas panjang. Dia tidak melanjutkan tidurnya lagi. Tapi memutuskan untuk mengirim pesan pada Vanya. Dia merasa ada yang harus segera diluruskan, tapi dia tidak boleh gegabah.
Haris : maaf aku baru terbangun sayang. hari ini sangat melelahkan.
Tak disangka Vanya membalas pesan darinya.
Vanya : lelah jalan-jalan sama Ana ya?!!
Haris : boro-boro bisa jalan-jalan sayang. Aku di sini banyak pertemuan. Kubiarkan dia pergi sendiri. Aku pikir kamu tidur.
Vanya : aku tidak bisa tidur, mas. Aku sangat merindukanmu. Kapan kamu kembali?
Haris : mungkin besok. Sama, aku juga merindukan kamu
"Dulu setiap kali berkirim kabar, rasanya sangat menyenangkan. Tapi kenapa sekarang jadi hambar? Apa karena aku terlalu mencurigainya sekarang...??!" pikir Haris.
"Aku harus bertemu dengan orang tua Vanya. Ya..., aku harus melakukannya. Apapun yang terjadi."
___
Haris sudah berada di tempat dia bertemu pak Wira kemarin sore. Namun seorang waiter mengatakan kalau hari ini pak Wira tidak masuk. Haris pun memutuskan untuk pergi ke rumah pria itu.
Haris pergi ke sebuah rusun, dan segera melangkah menuju salah satu rumah yang pernah dia kunjungi sekitar 2 tahun yang lalu.
"Maaf, mau bertemu dengan siapa?" tanya seorang wanita tua dengan rambut yang hampir memutih seluruhnya.
"Permisi, nenek. Saya ingin bertemu dengan om Wira." balas Haris.
"Wira siapa? Putra nenek bernama Sahlan." katanya.
"Maaf, apa nenek sudah lama tinggal di sini?" tanya Haris kemudian.
"Dari dulu kami tinggal di sini." jawab nenek.
Haris bisa melihat tidak adanya kebohongan pada si nenek. Haris ingin sekali menunjukkan foto pak Wira yang dia maksud. Namun dia tidak memilikinya. Kemudian dia menunjukkan foto Vanya.
"Nenek tidak kenal, nak..." kata nenek itu. "Mungkin kamu salah alamat, anakku. Masuklah dulu, biar nenek buatkan teh untukmu." ujar nenek lagi.
"Terimakasih, nenek. Tapi saya buru-buru. Maaf sudah mengganggu." tutur Haris dengan sopan.
Tak berhenti sampai di situ, Haris juga bertanya kepada beberapa penghuni rusun yang kebetulan dia temui.
"Saya rasa tidak ada yang bernama Wira di lantai ini. Apa kamu punya fotonya?!"
"Tidak. Tapi..." Haris menunjukkan foto Vanya. "Ini putrinya." kata Haris kemudian.
"Oh, saya belum pernah melihatnya di sekitar sini. Barang kali di lantai yang lain. Atau coba kamu tanyakan pada security di bawah. Mereka pasti mengenal para penghuni di sini."
"Baiklah. Terimakasih, pak..."
Haris mengikuti saran dari seseorang yang dia temui. Karena tidak mungkin baginya mengecek ke setiap lantai. Apalagi kondisinya kurang fit.
Bagai mendapat angin segar, ketika security mengatakan ada seseorang bernama Wiranto. Haris berpikir mungkin saja itu nama panjangnya. Namun dia kembali kecewa, lantaran foto yang ditunjukkan sang security bukanlah Wira yang dia maksud.
"Tuhan..., fakta macam apa yang akan Engkau tunjukkan padaku. Kenapa firasatku tidak enak sekali..."
Haris meninggalkan rusun dengan membawa kekecewaan serta ketakutan akan fakta yang mungkin akan dia hadapi selanjutnya. Kepalanya semakin sakit saja. Karena memikirkan hal-hal janggal yang dia temui selama di Singapura.
___
Singkat cerita, Haris dan Liana sudah kembali ke rumah kakek Sudibyo. Liana langsung mengadu pada kakek, kalau Haris sempat sakit di sana. Kakek yang cemas melihat kondisi Haris pun, segera menghubungi dokter untuk memeriksa kondisi cucunya.
"Tidak ada yang serius. Untuk alerginya tinggal pemulihan saja sebenarnya. Banyak-banyak istirahat, tuan Haris sepertinya kelelahan." ujar dokter..
"Tampaknya tuan Haris sudah mulai pandai merawat diri ketika alerginya kambuh." katanya lagi.
Haris tak menjawab, dia justru mengalihkan pandangan pada Liana. Bagaimana tidak, Liana lah yang berjasa. Karena Liana yang mengurusnya sejak dia sakit.
Setelah mengantar dokter ke pintu keluar, Liana tidak langsung kembali ke kamar. Dia justru pergi ke dapur.
"Nona butuh sesuatu?" tanya Anisa sangat antusias. Dia seakan merindukan momen-momen melayani nona kesayangannya itu.
"Aku mau buat bubur buat mas Haris." katanya.
"Biar saya saja, nona." kata bibi. "Nona kan baru pulang perjalanan jauh, pasti lelah."
Liana mengiyakan saja, jujur saja dia memang merasa lelah. Apalagi dia juga kurang tidur.
Beberapa menit kemudian Liana kembali ke kamar dengan membawa baki di tangannya.
"Makan dulu, mas." ujar Liana sambil menaruh bubur di atas nakas.
"Makanlah, kakek turun dulu." kata kakek Sudibyo yang sedari tadi menemani Haris.
"Titip Haris, ya." ujar kakek pada Liana.
"Iya, kek." balas Liana.
Liana kemudian duduk di tepi kasur. Dengan telaten dia menyuapi Haris.
"Masih sakit tenggorokannya?" tanya Liana. Karena dia melihat Haris sedikit menahan sakit saat menelan bubur.
"Tidak seberapa." katanya.
"Mas mau dipanggilkan mbak Vanya?" tanya Liana lagi. "Biasanya kalau lagi sakit ditemani orang tersayang, akan cepat pulih."
"Jangan bahas dia untuk saat ini." balas Haris dengan nada datar.
Liana pun mengangguk, lalu terdiam. Diamnya Liana membuat suasana kamar jadi hening. Yang terdengar hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan mangkok bubur di tangan Liana. Sebenarnya Liana penasaran, tapi dia tidak mau bertanya. Itu bukan urusannya.
"Aku merasa Vanya menyembunyikan sesuatu dariku..." tiba-tiba saja Haris buka suara.
"Nggak boleh buruk sangka, mas...!" sahut Liana.
"Ini aneh, Lian..." katanya lagi. "Aku harus cari tahu."
"Ada apa dengan mereka?" batin Liana bertanya-tanya.
Baru juga membahas Vanya, orangnya kemudian menghubungi Haris.
"Iya..."
"Mas sudah sampai Jakarta?"
"Em. Baru saja."
"Ini masih sore lho, mas. Jadi nanti mas pulang kan?"
"Lihat nanti, ya. Nanti aku kabari. Kakek minta laporan hasil kerjaku di Singapura kemarin soalnya."
Liana hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar Haris yang sedang berbohong.
"Kakek pasti sengaja, agar kamu tidak menemuiku."
"Kabari secepatnya pokoknya. Aku kangen banget sama kamu..."
"Iya. Kakek datang, aku tutup dulu ya. Bye sayang..." bohong si Haris.
Haris meletakkan ponselnya di atas bantal kosong di sisinya. Dia menarik nafas panjang, dan membuangnya dengan kasar.
"Kenapa nggak bilang lagi sakit? Kan biar mbak Vanya bisa datang dan merawat mas Haris." ujar Liana.
"Kalau kamu keberatan merawatku, pergilah. Aku bisa mengurus diriku sendiri." celetuk Haris.
"Maaf, mas. Nggak gitu maksudku..." balas Liana.
"Aku..."
"Diamlah, Lian. Aku sedang tak ingin mendengar apapun soal Vanya. Tolong...!!" pinta Haris seakan memohon.
"Iya, mas. Aku minta maaf..." kata Liana mengerti.
"Aku bawa ini turun dulu, ya. Mas mau dibawain sesuatu lagi?" tanya Liana.
"Tidak perlu. Cepatlah kembali dan beristirahat. Kamu pasti sangat lelah." begitu pesan Haris.
"Iya, mas."
"Saat ini aku hanya merasa nyaman di dekatmu, Lian. Entah apa yang terjadi padaku...?"
Haris menatap pintu kamar yang baru saja ditutup oleh Liana.
......................