Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31. Membuat Semua Jelas
Senopati mengumpat pelan setelah mendengar apa yang Cakra ceritakan. Bagaimana adiknya menyalahkan Binar karena sudah ikut campur antara urusan mereka berdua. Lelaki itu meraup rambut lalu menghela napas berat.
"Binar pasti nggak akan ikut campur kalau gue nggak minta. Lo seharusnya nggak marahin dia kayak gitu. Gue yang minta karena tahu dia cewek lo. Selain itu, kita juga sama-sama kenal dia. Dia bukan orang lain," kata Senopati.
"Gue tahu, waktu itu gue lagi kesal. Gue ngerasa lagi banyak masalah. Apalagi gue ngira dia sukanya sama lo." Cakra berucap pelan di akhir kalimat.
"Dan lo melampiaskan rasa kesal lo ke Binar? Serius? Dia pasti sakit hati, wajar aja kalau lo sampai diputusin," kata Senopati jadi jengkel juga mendengarnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Binar.
"Gue menyesal, gue nggak bermaksud nyakitin dia," ucap Cakra sambil mengepalkan kedua tangannya erat.
"Jangan ngomong gitu di depan gue, ngomong ke orangnya langsung sana. Heh dengar! Kalau kalian benar-benar putus! Gue beneran bakal embat dia, dan nggak akan pernah lepas ke lo lagi. Ngerti lo?" Senopati tiba-tiba jadi galak.
"Kita baru aja baikan, jangan mulai masalah lagi gara-gara cewek," kata Cakra.
"Yakin? Jadi lo udah maafin gue?" tanya Senopati dengan nada menggoda. Ia tersenyum miring.
"Iya, berisik lo. Gue sekarang harus gimana sama Binar?"
"Lah? Lo nanya sama saingan lo sendiri buat dapetin balik cewek lo? Nggak salah?" ucap Senopati dengan nada mengejek.
Ekspresi Cakra datar. "Lo benar-benar mau ngambil dia lagi dari gue?"
Senopati menatap ke arah lain sesaat. Ia menghela napas pelan. "Simple. Selayaknya kalau lo udah melakukan kesalahan, apa yang akan lo lakukan?"
"Minta maaf."
"Ya, minta maaf, dan mau mengakui kalau lo bersalah. Itu juga penting."
"Gitu doang? Semua orang juga bisa. Kalau cuma gitu nggak ada effort sama sekali."
"Terus lo mau gimana? Minta maaf juga effort, nggak semua orang mau minta maaf dan mengakui kesahan."
"Maaf tuh hal basic, aneh gitu aja nggak bisa. Gue kira lo punya saran yang lebih spektakuler, kalau gitu doang gue nggak yakin Binar mau maafin gue," ucap Cakra membuat Senopati mendengus.
"Belum juga dicoba. Kalau lo di posisi orang gengsian, ngomong maaf juga susah, kata maaf yang kata lo hal basic pada kenyataannya nggak semua orang bisa lakuin, apalagi mengakui kesalahan."
"Hm, ya udah," kata Cakra.
Senopati tersenyum tipis. "Lo udah benar-benar memaafkan gue?" tanyanya.
Cakra menatap lelaki itu. "Ya, gue rasa ... setiap orang berhak dapat kesempatan kan? Apalagi lo udah minta maaf dan mengakui kesalahan lo."
"Gue kira lo nggak bakal memaafkan gue semudah itu. Gue pikir lo mau gue lebih effort."
"Gue orangnya memang baik dan nggak pendendam," ucap Cakra.
Senopati membuat ekspresi seolah ingin muntah, lalu ia mencibir. Padahal masalah ini semua juga karena Cakra menghindarinya. Meski di sisi lain Senopati yang mungkin memulai.
"Dengar, gue menjauh bukan murni benci sama lo. Gue cuma takut," kata Cakra.
"Takut kenapa?" tanya Senopati sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Malas gue ngobrol gini, tapi gue mau semua jelas. Gue takut makin benci sama lo. Apalagi kecewa sama orang terdekat gue, orang yang gue percaya. Setiap lihat lo, gue takut sama fakta kalau seandainya Binar memang suka sama lo. Gue takut semua orang yang ada di sekeliling gue mengkhianati gue. Emang kesannya dangdut banget dan alay. Tapi jujur gue memang setakut itu. Makannya gue menghindari lo sejauh yang gue bisa. Bukan cuma buat gue, tapi dengan nggak dekat, seenggaknya kita nggak akan melukai satu sama lain. Walaupun begitu, gue juga minta maaf, mungkin kalau seandainya kita bisa meluruskan ini lebih awal dan gue nggak menghindar, masalahnya bisa cepat selesai," kata Cakra.
Senyuman simpul tercetak di bibir Senopati. "Kurang lebih gue ngerti, sekali lagi gue minta maaf," katanya.
Cakra menganggukkan kepalanya.
"Sekarang, tinggal masalah lo sama Binar," kata Senopati.
"Iya. Gue mau ke rumahnya sekarang. Gue akan bicara sama dia, mungkin dia udah pulang sekolah."
Giliran Senopati yang menganggukkan kepala. Lalu, Cakra mulai melangkahkan kaki, berlalu dari sana. Namun, baru saja beberapa langkah, ia berhenti. "Seno---maksud gue, bang!" panggilnya membuat Senopati mengangkat alis.
"Apa?"
"Thanks," kata Cakra.
"Buat apa?"
"Gue cuma pengen bilang makasih," ucap Cakra kemudian berlalu begitu saja.
Senopati terdiam beberapa saat. Ia tak ingat kapan terakhir kali Cakra memanggilnya dengan sebutan "Kak", kata "Abang" terasa asing tapi juga terasa familier. Perasaannya menjadi lega seolah ada beban yang terangkat. Ditatapnya sang adik yang sudah melangkah pergi.
"Nggak usah sok jagoan, tangan lo aja masih diperban!" ucap lelaki itu sirat meledek.
Cakra mendengus saja, lalu ia berbalik pergi. Senopati tersenyum sambil menatap punggung adiknya, sampai akhirnya tak terlihat lagi. Ia yakin ini seharusnya yang terjadi, ini yang terbaik. Untuk mendapatkan sesuatu, bukannya kita juga harus melepas sesuatu yang lain?
Seperti halnya dulu ketika ia ingin mendapatkan Binar. Ia melepas Cakra, tapi kini ia pikir itu salah. Karena itu, pada akhirnya Seno tetap tidak mendapatkan Binar seperti apa yang ia mau dan Cakra lepas darinya.
Dan sekarang, ia melepas Binar untuk mendapatkan Cakra. Di sisi lain itu sebenarnya menyakitkan. Mengingat merelakan orang yang dicintai untuk orang lain yang kita anggap bisa lebih membuatnya bahagia, tak semudah membalikkan telapak tangan.
***
Binar telah selesai membersihkan diri setelah tadi ia pulang sekolah. Kini, ia keluar dari kamar. Berniat menuju ke dapur untuk membuat kue bersama mbak Triana sesuai permintaannya tadi ketika bertemu salah satu pelayan di rumahnya itu. Berhubung tidak ada tugas untuk besok, daripada gabut dan galau berkepanjangan. Ia juga ingin mengalihkan pikirannya dari Cakra. Jika di kamar saja, ia pasti akan menangis lagi.
Gadis itu memilih turun lewat tangga daripada lift. Baru menuruni beberapa tangga, ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Salah satu pelayan melangkah ke arah pintu, lalu membukanya.
Binar awalnya fokus menatap pada jalan. Namun kemudian, ia mengangkat kepala. Tak sengaja menatap ke arah pintu rumah yang terbuka lebar. Langkahnya terhenti begitu saja, dan ia membulatkan kedua matanya bersamaan dengan orang yang ia lihat, juga menatap padanya.
"K-kak Cakra?" gumam Binar.
Padahal baru saja, ia berniat ingin mengalihkan pikiran dari lelaki itu. Tapi sekarang, mana bisa ia melakukannya jika Cakra berada di sini. Ada apa lagi sekarang? Kenapa Cakra datang ke rumahnya? tanya Binar dalam hati.