Ai To Fukushū (Love And Revenge)

WAKTU YANG SINGKAT

Masih di tempat yang sama. Akira seperti terjebak sendirian bersama Koji— apa lagi yang harus dia tipu bila seseorang sudah mengetahuinya.

“Kau memiliki mata yang tajam!” ujar Koji ketika memperhatikan tatapan Akira yang sungguh berani menatapnya balik. Jika wanita lain berada di posisinya, maka sudah dipastikan para wanita itu tak akan berani menatap Koji saat ini dan memilih berpaling atau mencari alasan lain.

“Tapi Anda tidak punya bukti kalau aku seorang mata-mata yang Anda bicarakan, Tuan Koji.” Balas Akira dengan tenang seraya tersenyum tipis.

Mendengar hal itu, Koji masih saja memberikan sorotan tegas hingga mengangguk-anggukkan kepalanya pelan— ucapan yang sungguh benar! Pria itu menyeringai kecil hingga kembali berdiri tegap.

“Hm... Aku tidak punya bukti, tapi akan aku anggap ini rahasia kita. Aku memiliki feeling yang kuat Nyonya Akira! Dan aku sangat yakin itu adalah dirimu.” Koji masih mengatakan akan keyakinan nya tersebut. Sementara Akira hanya bisa diam meremas gelas yang masih ia genggam.

“Lupakan itu, dan berikan aku jawaban dari ajakan ku tadi.” Lanjut pria itu tanpa rasa malu. Tentu saja, untuk apa dia malu, dia yang berkuasa di sana dan apa yang dia mau akan selalu dituruti.

Akira sendiri malah dibuat bingung hingga pipinya merona namun tak terlihat jelas.

“Maaf Tuan Koji, saya di sini hanyalah bekerja, bukan menjadi seorang istri.” Jawaban yang to the poin tanpa pikir panjang.

Siapa yang tidak mau memiliki suami seperti Koji Rodriguez? Dia tampan, safir biru, kulit Tan dengan tubuh sixpack gagah menggoda dan yang terpenting adalah kaya. Tapi Akira tidak menginginkan semua itu, dia bekerja hanya untuk memenuhi keinginan Izumi sebelum meninggal.

“Aku tidak memintamu menjadi seorang istri sungguhan.” Ucap pria itu yang berdiri membelakangi Akira dan hanya menoleh ke sisi kanan. Suara baritonnya yang sangat terdengar serius membuat wanita yang masih duduk ditempatnya itu mulai mengernyit heran.

Koji berbalik badan lalu berjalan perlahan mendekati tempat Akira dan berdiri tepat di samping wanita itu.

“Menjadi istriku saat kita hanya berdua, dan bersikap seperti biasa saat kita berada di luar ataupun ketika ada seseorang.” Lanjutnya yang langsung dicermati oleh otak Akira.

Wanita itu hanya diam dan Koji kembali berjalan ke kursinya lagi. Apa yang sebenarnya ada di otak seorang Koji sehingga pria itu ingin menikahinya dengan permintaan yang aneh.

Tak ada senyuman yang Akira tunjukkan. “Anda mengajakku untuk menikah diam-diam, bolehkah aku mengetahui alasannya?” tanya Akira kembali menatap mata bosnya.

Seketika Koji terdiam, dia seakan tak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya. Ia pikir dengan menikahi Akira dan dekat dengannya bisa membuat nya melupakan persoalan calon istrinya yang telah meninggal. Lebih tepatnya, ia akan menjadikan Akira sebagai tempat pelampiasan semata. Entah kenapa? tapi dia tertarik dengannya.

“Sesuatu yang tidak bisa dikatakan terus terang.” Jawab Koji yang langsung beranjak dari duduknya dan memilih melangkah pergi.

Namun sebelum itu, “Aku memberimu waktu dua hari, jika kau menolaknya... Maka kau boleh pergi dari pekerjaan ini.” Ancam Koji bukan nyawa melainkan pekerjaan.

Akira yang masih diam mulai memejamkan matanya dengan pikiran yang bingung.

Kepergian Koji membuat Akira yang tadinya hanya duduk diam, kini wanita itu mulai beranjak pergi. “Kenapa dia tiba-tiba meminta ku?” gumam Akira yang sangat penasaran. Jika memang seperti itu jadinya, dia sama saja seperti wanita simpanan saja, hanya perbedaanya Koji tak punya istri pertama.

“Hffuu— ” wanita itu menghela napas panjang lalu berjalan pergi meninggalkan ruangan tadi menuju ke kamarnya

Sementara itu, Koji sendiri yang sudah memiliki keputusan bulatnya, ia sama sekali tak peduli meski harus kehilangan bodyguard seperti Akira. Kapan lagi dia mempunyai pegawai wanita yang tangguh kan!

Koji yang baru saja masuk ke kamarnya, ia langsung melepaskan kaos hitamnya hingga bertelanjang dada, lalu berbaring begitu saja d atas kasur empuknya sembari menatap ke langit-langit.

-‘Hhffuuu— biarkan dia memilih. Aku berharap bisa bebas dari pikiranku yang kacau!’ batin Koji memejamkan matanya dengan kerutan di kedua alisnya yang membuat wajah tampannya menjadi tegas.

...***...

Keesokan paginya. Seperti biasa, rutinitas Akira dan Koji yang sama-sama bersiap untuk pergi ke kantor. Seakan tak terjadi apa-apa diantara mereka semalam, Akira melihat ekspresi tenang dari wajah bosnya— tatapan, sorot mata tajam, berwibawa dan aura yang sangat kuat sekali.

-‘Syukurlah dia melupakannya.’ Pikir Akira merasa tenang hingga tersenyum kecil mengikuti langkah Koji dari belakang.

Seperti biasa pula, Akira menyetir mobilnya dan Koji duduk di kursi depan sambil sibuk sendiri dengan tab pekerjaannya sehingga tak ada perbincangan di antara mereka.

Derrttt! Derrttt! Dering ponsel Akira memudarkan keheningan tersebut. Bagaimana tidak, Koji sendiri langsung menoleh ke arahnya dengan sangat tajam penuh ancaman.

“Maaf Tuan.” Akira mencoba meraih ponselnya dengan tangan kirinya, lalu mematikan panggilan tersebut— sebuah panggilan dari temannya, Ryuu?

Wanita itu terpaksa tak mengangkat panggilan tersebut karena memang posisinya yang saat ini sedang bersama Koji. Apalagi terlihat wajah penuh ancaman yang pria itu berikan. Derrttt! Derrttt! Lagi, dering ponselnya berbunyi saat Akira masih sibuk menyetir.

-‘Kuso!’ umpatnya dalam hati.

“Angkat atau matikan ponselmu.” Pinta Koji bersuara dingin. Dia merasa terganggu hingga Akira memilih mematikan ponselnya terlebih dahulu.

“Maaf Tuan Koji!” ucapnya penuh sungkan.

Pria itu hanya menggeleng heran dan berpaling ke sisi lainnya. Sungguh? Dia sama sekali seperti seseorang yang terkena amnesia, tidak ada percakapan tentang pernikahan lagi.

.

.

.

“Kenapa dia tidak mengangkatnya??? Ayo Akira....” Gerutu Ryuu terlihat cemas dan panik sendiri.

Ia berhasil mengalahkan ketiga pria semalam, hanya ada luka kecil di tulang pipinya. Ryuu bahkan sudah memberitahu sesuatu kepada Ino untuk selalu waspada akan kedatangan para pria seperti yang terjadi padanya semalam.

“Aku harus menemuinya sendiri.” Gumam Ryuu sama sekali tidak masalah jika harus bertemu langsung ke kantor Akira bekerja.

Sementara di sisi lain, Ino pun juga merasa selalu waspada akan disekitarnya. Jika memang benar ucapan Ryuu soal ancaman mereka dari orang-orang terdahulu yang tak terima dengan reaksi mereka sebagai mata-mata terdahulu. Maka Ino pun juga wajib waspada.

“Orang-orang sialan!” kesal Ino sendiri. Kenapa harus ada halangan ketika mereka ingin bebas dari pekerjaan mata-mata ilegalnya dulu.

...***...

Di perusahaan Ji'Ez, beberapa jam sudah terlewatkan. Waktunya makan siang, sesuai perintah Koji, Akira tak boleh mencari alasan lain untuk tidak istirahat siang.

Tok! Tok! Tok! ketukan ringan di pintu membuat Koji sudah menebaknya akan sosok yang ingin menemuinya. “Masuk!” pinta si pirang memilih menghentikan percakapannya dengan Tomi yang saat itu juga ada di sana.

“Maaf Tuja Koji, aku datang ingin meminta izin untuk makan siang.” Ucap Akira dengan berani.

Pria itu hanya diam mengamatinya saja sehingga Tomi yang berdiri disebelah nya pun hanya bisa mengangkat satu alisnya bertanya-tanya???