Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan
Sampai saat ini misteri luka itu masih belum terpecahkan juga. Baron tak tahu apa alasannya, begitu pula dengan Nara. Kejadian ini terasa sungguh aneh bagi mereka. Baron yang merupakan ahli spiritual saja merasa kebingungan. Ia tak bisa memprediksi secara pasti apa alasannya.
Jadi untuk sementara waktu, gadis itu telah diputuskan untuk menjalani beberapa pengobatan. Yang jelas ia harus sembuh dahulu, sebelum mereka mencari tahu lebih dalam apa alasannya.
Ibu Nara dan Baron sepakat untuk menggabungkan pengobatan tradisional dengan medis. Baron juga sesekali akan memantau kondisinya dari sisi spiritual.
Mereka sudah mengatur jadwal bertemu dengan salah satu dokter langganan keluarga ini di sebuah klinik. Nara dan keluarganya selalu pergi ke sana jika terjadi sesuatu yang berpotensi mengancam kesehatannya.
Hari ini Nara akan pergi ke sana ditemani oleh Baron, sebab ibunya sedang sibuk mengurus kedai. Wanita itu tak punya banyak waktu untuk menemani anaknya. Sebab ia masih harus mengurusi kedainya sendiri.
Sementara Nara bersiap di atas, Baron menunggunya di kedai. Sesekali pria itu juga membantu Ibu Nara memproses beberapa pesanan di kedai. Chemistry antara Baron dan keluarga Nara sudah terbentuk dengan baik sejak hari pertama kepindahannya ke sini. Wanita itu bahkan sudah menganggap Baron seperti anaknya sendiri.
"Ini pesanan untuk meja nomer lima. Tolong antarkan ya," pinta Ibu Nara.
"Baiklah," balas Baron dengan singkat.
Pria itu kemudian mengantarkan beberapa pesanan ke meja yang di maksud.
"Permisi, ini pesanannya," sapa Baron lalu menata pesanannya di atas meja.
"Baron?" tanya wanita tersebut.
Pria yang dipanggil namanya itu mendadak terdiam sejenak. Sibuk mengamati seorang wanita yang duduk di hadapannya itu dengan seksama. Butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk mengenali wanita itu. Karena hampir seluruh permukaan wajahnya tertutup. Ia menggunakan topi, kacamata, masker, dengan syal juga.
"Oktavia?" tebak Baron.
"Sedang apa kau di sini?" tanya pria itu.
"Ada apa dengan wajahmu? Kenapa memakai pakaian serba tertutup seperti ini? Sekarang tidak sedang musim dingin," cecar pria itu.
Menurutnya gadis itu salah dalam berbusana. Ia tak hisa menyesuaikan gaya berbusananya dengan cuaca dan suhu hari ini.
"Aku baru saja perawatan. Dokter melarangku untuk terpapar sinar matahari secara langsung," jelas gadis itu.
"Oh begitu, baiklah," jawab Baron.
"Kalau begitu aku izin dulu, ada beberapa hal yang harus ku lakukan," sambungnya.
Untuk saat ini Baron tak mau terlalu banyak berinteraksi dengam gadis itu. Apa yang dikatakan Nara beberapa waktu lalu ada benarnya juga. Perlu dipertimbangkan. Baron dan Oktavia tak saling mengenal terlalu banyak antara satu sama lain. Sehingga ia tak bisa benar-benar memastikan apakah gadis itu benar orang baik atau tidak.
"Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa bisa sampai kemari?" gumam Baron.
Padahal beberapa waktu lalu pria itu sudah memintanya untuk pergi secara baik-baik. Lagi pula Oktavia hanya mereservasi hotel untuk menginap dua malam saja. Sekarang sudah hampir memasuki malam ketiga. Entah apa yang membuatnya betah berlama-lama di kota ini.
Tiba-tiba isi pikirannya buyar seketika saat melihat Nara turun dari tangga. Gadis itu sudah siap dengan setelan casual miliknya.
"Kau sudah siap?" tanya Baron untuk memastikan.
"Ya," jawab Nara singkat.
"Kalau begitu kita akan pergi sekarang," ucap pria itu.
"Tunggu lah di depan, aku akan berpamitan pada ibu lebih dulu," jelas Nara.
Baron mengangguk paham. Ia kemudian meletakkan nampan miliknya di atas meja tempat memesan. Pria itu beralih ke pintu depan kedai untuk menunggu Nara sesuai dengan permintaan gadis itu tadi. Sementara Nara sedang menemui ibunya di dapur.
"Bu, aku dan Baron berangkat dulu!" sahut Nara dari ambang pintu.
Wanita itu mendekati Nara dan meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu.
"Baiklah, hati-hati. Jangan lupa untuk menyampaikan segala keluhanmu pada Dokter Hara nanti," pesan wanita itu.
Nara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bu, selipkan uang ini di kembalian pelanggan meja nomer lima," pesan Nara balik.
"Kenapa?" tanya Ibu Nara.
"Aku merasa sedikit curiga dengannya sejak kemarin. Jadi, tolong selipkan saja. Akan ku ceritakan sisanya nanti kalau sudah pulang," jelas gadis itu dengan panjang lebar.
Belum sempat ibunya merespon penjelasannya barusan, Nara sudah buru-buru pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menghampiri Baron yang sudah menunggu.
"Hei!" sahut Nara sambil menepuk pundak pria itu.
Baron lantas menoleh dengam ekspresi datar andalannya.
"Sudah selesai?" tanya pria itu.
"Sudah," jawab Nara dengan apa adanya.
Nara dan Baron beranjak meninggalkan kedai sesaat setelahnya. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki sampai ke halte. Mau bagimana lagi. Tidak ada kendaraan umum yang melewati jalanan kecil seperti ini.
"Omong-omong, aku merasa curiga dengan pelanggan di meja lima tadi," ungkap Nara.
"Penampilan dan perilakunya sangat aneh," sambungnya.
"Itu oktavia," timpal Baron tiba-tiba.
Nara mengerutkan dahinya. Pandangannya semakin sempit saat mendengar nama gadis itu.
"Oktavia?" tanya Nara sekali lagi untuk memastikan.
"Iya," jawab Baron singkat.
"Apa yang ia lakukan di sana? Bagaimana dia bisa tahu kedai itu?" tanya Nara lagi.
Gadis itu mendadak memberikan beberapa pertanyaan tanpa jeda. Sepertinya ia cukup penasaran dengan hal barusan.
"Aku juga tak tahu. Sepertinya ia menemukanya setelah melihat rekomendasi kedai makan di sekitar hotelnya," jelas Baron.
"Memangnya hotel tempatnya menginap tak menyediakan makanan?" tanya Nara untuk yang kesekian kalinya.
"Entahlah…," kata Baron.
"Kenapa tidak bertanya langsung kepadanya saja kalau penasaran?" ucap pria itu kemudian.
Sepertinya ia juga mulai merasa lelah dengan pertanyaan bertubi-tubi dari Nara. Terlebih Baron juga tak tahu apa jawabannya. Jadi ia tak bisa menjawabnya dengan baik.
"Kapan temanmu akan kembali ke kota asalnya?" tanya Nara lagi dan lagi.
"Seharusnya kemarin adalah hari terakhirnya di sini. Oktavia hanya memesan penginapan untuk dua malam saja," jelas Baron.
Nara mengangguk sebagai bentuk respon. Namun, di dalam hatinya ia masih bertanya-tanya. Kenapa Oktavia masih berada di sini. Memangnya apa yang ia lakukan sehingga harus memperpanjang durasi penginapannya. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Nara percaya dengan itu.
Ia sudah melihat gadis itu datang saat masih membereskan dapur. Tepat sebelum dirinya naik ke atas untuk bersiap. Perasaannya mulai terasa tak enak. Mereka bilang, kita tak boleh sepele apa lagi sampai mengabaikan firasat buruk. Karena kemungkinan besar hal itu akan terjadi.
Rasa curiganya terhadap Oktavia, si ahli fengshui itu kini makin besar. Nara semakin yakin jika gadis itu memiliki niat terselubung. Dan yang paling mencuri perhatiannya adalah penampilan gadis itu tadi. Ia terlihat begitu mencolok di antara para pelanggan lainnya.