NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Pelajaran sekolah semakin sengit dilakukan seusai bel berdering nyaring memekak kuping-kuping kami. 

Suasana kelas tetap sama seperti biasa. Anak-anak sibuk mengerjakan soal yang diberikan, kami menjawab antusias, bertanya. Setiap hari harus dilakukan demi mendapatkan nilai yang nantinya jika telah berakhir masa belajar di kelas delapan, hasil angka di dalam rapot yang bagus nilainya...tidak akan menjerit kejang oleh yang membaca. Jika nanti sudah dibagikan. 

Kami bekerja keras, mengeluarkan seluruh ilmu di pikiran yang mengendap lama. Urat-urat pada pelipis kepala diperlihatkan jelas. 

Gita mengeluh, kepala menempel dekat lembaran buku yang bergerak diterpa angin. Menggaruk kepala karena tidak paham, Gita alihkan untuk melirik Salma yang sibuk sendiri. Sepertinya susah untuk diganggu, dan dia tidak akan mau menjawab. Jika Gita bertanya atau ingin mencontek pun, itu tidak akan merubah keadaan. 

Menit, dan menit terlewati secara langsung selama mereka dapat bernapas dalam satu ruangan.

Berusaha menuang tinta menuju kertas tetap tidak bisa dilakukan. Menulis apa saja sudah pasti salah. Menggunakan bahasa acak-acakan dengan sengaja akan tetap dimengerti oleh guru itu disana. Tidak ada celah lagi. 

Tetapi lihatlah wajah-wajah anak-anak muda disana. Masih awet muda, tapi mengapa selalu terjadi lipatan-lipatan wajah itu? Hei, lupakan saja. Itu seperti diri Gita yang juga tidak mengerti rumus apa yang cocok digunakan agar berhasil menemukan angka pas.

Karena sedari tadi semua murid sibuk menulis, dan menulis, guru matematika yang selalu diingat sebagai guru tegas, guru militer. Apa lagi? Oh, ya, guru tidak berperasa... Selalu menghantui kelas-kelas mana saja yang akan didatangi sesuai jadwal pelajaran. Dan sekarang adalah kelas kami. Jangan harap dapat tenang di dalam.

Ketukan penggaris panjang berkayu selalu dihentakkan di papan.

Kami terkejut, kaget. Jantung berdetak lebih kencang bekerja. Tangan berkeringat muncul di pagi hari. Kaki bergerak selalu di bawah meja.

Tertekan semua murid, sebanyak dua puluh lima orang.

Soal-soal pun telah ditulis, ditekan sengaja dari guru gemuk gemulai. Tiga soal menjadi babak rintangan pertama. Mudah, jika yang paham dapat mengetahui. Yang bodoh, akan kesulitan menjawab.

Jari sang guru berhenti, berputar badan mengawasi anak didik. "Ibu akan menunjuk tiga orang. Karena kemarin ibu sudah mengecek nilai kalian, ada beberapa anak yang mendapat nilai buruk dibawah tujuh puluhan. Banyak. Tidak hanya tiga anak saja. Ibu akan menunjuk sekarang untuk mengerjakan tiga soal ini. Siap-siaplah kalian."

Senyuman sumringah lebar ditunjukkan kepada kami.

Semakin tegang, semakin terasa aura pekat, hitam. Aura horror menyeramkan berlangsung sekarang.

"Atas nama Kael, Wahyu, dan satunya..." Bersambung panjang selama lirikan maut menargetkan bocah-bocah berseragam.

Gita meneguk air liur. Tegak duduk. Seperti berada di penjara saja.

Dua puluh lima murid melotot, menunduk takut. Menutup mata, berdoa agar diberi keselamatan untuk dijauhkan dari pilihan guru.

"Anak terlahir yang Ibu panggil adalah Gita."

"Apa?! Aku?!"

Semua orang dibiarkan di kursi mereka masing-masing, kecuali yang dipanggil maju. Menghembuskan napas berat telah dikeluarkan. Tenang rasanya. Mengelus dada, rasa lega timbul dengan senyuman.

"Ayo, cepat maju." Tepukan tangan dilakukan selama yang terpilih telah berdiri memajukan diri dengan kepasrahan.

Gita menggigit jari. Kesal diperlakukan tidak adil. Lainnya bahagia, sedangkan dirinya tampak memiliki kekesalan. Emosi. Menggengam tangan, tidak suka.

"Ayo satu lagi. Cepat. Cepat." Tepukan tangan terdengar lagi.

Salma melihatku ketika berdiri. Turut merasakan kesedihan. "Kamu pasti bisa, Git. Semangat."

"Jangan beri semangat sekarang, Sal." Melangkah mantap telah Gita lakukan menuju papan tulis yang telah diisi kedua siswa berseragam.

Guru matematika telah duduk mengipasi diri sendiri.

"Sejak kapan dia bawa kipas?"

"Jangan berdiskusi. Jawab sendiri-sendiri. Kalau tidak bisa, Ibu suruh berdiri di luar kelas." Guru matematika menambahkan peringatan.

"Baik, Bu," balas ketiga murid di depan. Menghadap soal yang disediakan.

Semua orang mengamati pekerjaan kami.

Setengah jam dilalui cukup lama sejak ketiga murid telah berdiri. Pegal, kepala pusing memikirkan, tetapi harus dilakukan untuk mencari cara jawaban.

"Sial, bagaimana aku bisa menjawabnya?" Gita menggaruk rambut. Tidak tahu angka yang diisi. Beberapa kali harus menghapus angka karena tidak sesuai. Dilakukan berulang kali.

Sebaliknya, anak laki-laki berambut keriwil mengembang hitam telah menyelesaikan satu soal. "Sudah, Bu!" Berbalik badan, memberikan spidol di atas meja.

Wahyu menyelesaikan soalan dengan mudah.

"Hei, kenapa harus dengan anak ini?" Gita berbisik di hatinya, melirik sebal kepada Kael. Wajah sombong terukir. Sedang diam mengerjakan soal.

"Apa lihat-lihat? Jangan nyontek kau itu," sungut Kael, tidak suka.

"Hei, kau jangan percaya diri. Pikiran kau saja yang begitu." Gita melirik pandangan menuju soal kosong lagi.

Kael diam, mencoret apa saja di dekatnya. Gita berusaha mengingat materi yang diberikan. Menulis lagi, menghapus. Menulis lagi. Dan seterusnya dilakukan.

Separuh perjalanan menghabiskan begitu banyak tinta spidol yang diperlukan.

Hampir satu jam dihabiskan dua remaja yang belum selesai menamatkan jawaban soal-soal itu.

"Soal semudah ini kok sampai satu jam belum selesai juga. Berhenti menulis. Kalian berdua. Sekarang!" Suruhan kencang mengejutkan Kael, dan Gita.

Kami berhenti, meletakkan spidol. Menunduk malu ditunjukkan sebagai bahan bukti bahwa mereka tidak bisa menjawabnya.

Sang guru matematika berdiri mendekat. "Langsung saja kalian berdiri di luar kelas. Ibu tidak tau kepala kalian dipenuhi oleh apa sampai-sampai tidak bisa menjawab dengan benar. Kalian juga berkelahi tadi. Sudah Ibu amati tadi."

"Ma-maaf, Bu," lirih kedua murid bersama-sama. Menunduk, berjalan menuju pintu.

Pintu menutup setelah dua murid yang terusir telah mengeluarkan diri.

Pelajaran diteruskan tanpa kehadiran dua pelajar dari pelajaran matematika.

Lorong panjang menjadi saksi berdirinya dua murid atas suruhan guru matematika. Semakin lelah dengan kaki terasa nyeri. Namun untungnya, kami dapat menghirup udara sejuk dari pohon-pohon hijau menjuntai tinggi.

Aku tidak bisa mengintip dari jendela itu dikarenakan terhalang papan di dalam kelas. Kami masih bisa mendengarkan suara yang dibawa oleh guru itu, yang meneruskan pelajaran.

Pelajaran matematika dilanjutkan bersama. Tanpa Gita.

Lorong panjang berkeramik sedari tadi telah terpijak kaki dari sepatu-sepatu hitam murid sekolah ini. Menunggu pergantian waktu selanjutnya. Mendengarkan apa yang bisa didengar. Begitu seterusnya.

"Jangan cari aku." Kael merendahkan suara, berbelok arah mengikuti arah lorong.

"Hei, kau mau kemana?" Gita terkejut karena laki-laki itu telah menjauh. "Hei! Kael!"

Kael tetap merapatkan mulut.

Gita telah menggelengkan kepala, menyerah akan sikap yang dimiliki murid laki-laki yang selalu bertemu tanpa adanya rencana. Jika menghadapi dia lagi, sudah pasti Gita akan gila.

Hingga suara bel dibunyikan, setelah guru matematika keluar mengajar, ia menegurku. Perempuan yang berdiri semangat hanyalah mendengarkan sembari mengangguk mengerti, dan mengerti.

"Dimana temanmu tadi?" Guru matematika mengamati seorang siswi berdiri sendirian.

Dengan cara berbohong, Gita menjawab. "Tadi dia sudah izin kepada saya. Katanya ke kamar mandi, Bu."

"Kamar mandi?"

"Iya, Bu."

"Sudah berapa lama anak itu pergi?"

"Belum lama ini, Bu. Sekitar dua menit yang lalu."

"Kenapa tidak diberhentikan? Kamu tau kan, anak itu masih harus dihukum?"

"Saya paham, Bu."

Gita diam, termangu karena melihat ancaman darinya. Seperti ada rasa kekesalan dari sepasang mata guru itu.

"Yasudah, langsung masuk ke kelas saja. Nanti selanjutnya akan Ibu suruh anak itu berdiri sendiri di dalam kelas. Dan juga, kamu, Gita. Lain kali pelajari matematika. Jangan tidak tau cara menjawabnya."

"Baik, Bu," ucap Gita, kembali semangat.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!