Song Lin Qian adalah Seorang pangeran yang terasingkan sejak masih kecil, dia harus menjalani kehidupan yang keras di dunia luar untuk mencari tahu akan jati dirinya yang sebenarnya.
Dengan berbekalkan jepit rambut peninggalan mendiang sang ibu, Song Lin Qian yang diasuh oleh sepasang pendekar suami-istri akhirnya turun gunung, dan demi mengetahui akan siapa dirinya yang sesungguhnya, Song Lin Qian harus menghadapi banyak masalah di dalam pencariannya.
Akankah Song Lin Qian berhasil dalam pencariannya? Ikuti alur cerita yang berjudul "PANGERAN PENDEKAR NAGA" hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adicipto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan yang di rencanakan
***
Suara alunan musik kecapi yang di sertai dengan tarian para wanita-wanita cantik membuat suasana di dalam istana sangat ramai, suara tawa dan teriakan sorak-sorai menikmati hiburan di depan mata para tamu undangan yang ada di dalam aula.
Setiap tamu yang datang selalu membawa hadiah kepada Pangeran Song Lin Qian serta tidak lupa mengucapkan selamat kepada Raja Song sekaligus mendoakan sang Pangeran agar bisa tumbuh menjadi pemuda yang diharapkan oleh Raja Song.
Pesta di Istana tentu di peruntukan untuk para tamu-tamu penting baik dalam maupun orang penting dari luar kerajaan. Namun bukan berarti rakyat kecil yang jauh tidak bisa menikmati acara bahagia tersebut.
Raja Song telah mengirimkan dana kepada para masing-masing pejabat Desa untuk membuat pesta, tidak lupa Raja Song juga memberikan sedekah kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan, seperti anak yatim piatu, para gelandangan, para pengemis serta para kakek-kakek jompo dan juga nenek-nenek yang sudah tidak mampu mencari Nafkah.
Saat ini di istana sudah kedatangan orang-orang yang paling disegani dan juga dihormati oleh Raja Song. Empat sosok ternama datang bersama dengan para murid-murid perguruan mereka masing-masing.
Dan tidak jauh di belakang rombongan perguruan itu, ada tiga Biksu yang juga ikut datang ke acara bahagia itu.
"Pendeta Bai Long, Guru Ling Ying, Tabib Li Xhiang, Pendekar Yan Bao, terima kasih atas kehadiran kalian," kata Raja Song yang menyambut kedatangan mereka secara langsung.
"Paduka terlalu sungkan! Selamat atas kelahiran Pangeran kecil, tolong terimalah sedikit hadiah dari kami untuk pangeran," kata salah satu pria paruh baya yang tubuhnya mengeluarkan bau obat.
"Terima kasih banyak Tabib Li," kata Raja Song kemudian para pelayan istana segera memindahkan semua hadiah dari mereka dari tengah jamuan.
"Mari silahkan duduk," kata Raja Song.
Raja Song kembali menyambut kedatangan ketiga Biksu, dan kali ini sikap Raja Song semakin ramah menyambut kedatangan ketiga Biksu tersebut.
"Amithafa! Kami perwakilan dari Biara Fu Zhong mengucapkan selamat atas kelahiran putra Paduka, Maha Guru kami tidak bisa hadir karena beliau sedang melakukan meditasi," kata salah seorang Biksu yang lebih senior dari kedua Biksu lainnya.
"Terima kasih banyak karena Maha Guru masih berkenan mengirim perwakilan untuk datang! Mari para Guru, silahkan duduk disana," kata Raja Song yang mempersilahkan kepada ketiga Biksu itu untuk duduk di tempat yang telah disediakan khusus untuk mereka.
Sebenarnya tidak perlu seorang Raja yang harus menyambut para tamu undangan, namun Raja Song memiliki sifat yang merakyat sejak dirinya belum menjadi Raja, dan sifat itu terus ada hingga dirinya sudah menggantikan ayahnya menjadi Raja.
Semua rakyat di seluruh Kerajaan Song sangat menyukai Raja Song Guo Li, tentu saja yang disukai adalah sifatnya yang merakyat.
"Yang Mulia, ini sudah waktunya!" kata salah satu penasehat yang berbisik kepada Raja Song.
Raja Song segera mengangguk dan kemudian dia berjalan ke kursi singgasananya, namun dia tidak menduduki Kursi nya.
Suara Musik dan tarian segera berhenti, dan semua orang sudah tidak lagi mengobrol saat Raja Song sudah berdiri di depan singgasananya.
"Hari ini adalah pesta untuk kelahiran putra ku yang aku beri nama Pangeran Song Lin Qian! Terima kasih atas kehadiran kalian di acara yang sangat bahagia ini, kami para keluarga Kerajaan mengharapkan restu kalian untuk Pangeran agar kelak dia bisa menjadi sosok yang bisa memakmurkan Kerajaan Song kita ini," kata Raja Song dan kemudian dia memberikan kode kepada para pengawal di belakang.
Permaisuri segera keluar dengan menggendong bayi itu, dan kemudian Permaisuri berdiri di samping Raja Song.
"Semuanya, silahkan kalian memberikan berkat kalian satu persatu kepada Pangeran Song Lin Qian," kata Raja Song.
Semua tamu undangan yang hadir segera berdiri, dan kemudian satu persatu para tamu undangan dari arah kanan mulai datang untuk memberikan berkat serta Doa kepada Song Lin Qian.
Setelah memberikan Hormat kepada Song Lin Qian yang terlelap tidur, mereka akan menyentuh keningnya seraya mengucapkan pujian Doa untuk bayi tersebut.
Setelah tiba giliran Biksu tiba, salah satu biksu itu segera memberikan hormat dengan cara mereka sendiri.
"Amithafa! Budha akan senantiasa membimbing jalanmu Pangeran Song," kata Biksu tersebut yang membuat Raja Song sangat bahagia atas doa biksu tersebut.
Biksu itu menggulung sedikit lengan bajunya lalu dia menyentuh kening Song Lin Qian, dan saat ibu jarinya bersentuhan dengan kening Song Lin Qian, tiba-tiba saja raut wajah Biksu itu berubah.
Mata Biksu itu terlihat kosong untuk sesaat sebelum akhirnya berubah dengan tatapan penuh kesedihan, dan setelah beberapa saat ruat wajah sang Biksu kembali cerah.
"Tidak semua jalan itu bersih, untuk bisa melewati jalan yang benar-benar bersih dari halangan, maka diperlukan usaha untuk membersihkan jalan itu dari duri, batu dan api, setelah semuanya di bersihkan, barulah jalan itu bisa di lewati dengan aman," kata Biksu itu yang membuat Raja Song dan Permaisuri kebingungan.
"Maksud Guru?" tanya Raja Song.
"Semua takdir sudah ada yang mengaturnya, kita sebagai manusia hanya bisa menghadapi dan menjalani takdir masing-masing, sebagai makhluk fana, kita hanya bisa membuat rencana dan harapan, tapi rahasia masa depan kita tidak tahu, semuanya akan kembali dari jalan pikiran yang akan kita lewati masing-masing," kata Biksu itu yang membuat Raja Song semakin tidak mengerti.
"Terima kasih atas pencerahannya Guru," kata Permaisuri dengan membungkukan setengah tubuhnya.
"Amithafa."
Biksu itu segera kembali ke tempat duduknya, sedangkan Raja Song yang masih tidak mengerti bertanya kepada Permaisuri dengan suara pelan.
"Apakah Ratu mendapatkan pencerahan?" tanya Raja Song.
Permaisuri tersenyum lembut sehingga membuat Raja Song yakin jika Permaisuri mengerti akan apa yang Biksu itu katakan, namun berikutnya Raja Song justru kaget saat Permaisuri menjawab dengan sangat pelan.
"Sama sekali tidak mengerti," jawabnya.
Raja Song hanya bisa mengumpat di dalam hatinya serta menatap Permaisuri dengan tatapan aneh yang membuat sang Permaisuri ingin tertawa melihat ekspresi wajah Raja Song, hanya saja dia berusaha untuk tidak tertawa.
Setelah semua tamu undangan memberikan restu dan doa untuk sang Pangeran, acara pesta kembali dilanjutkan, sedangkan Sang Permaisuri mengantarkan bayi itu kembali kepada ibunya untuk di beri ASI.
Banyak hidangan yang disuguhkan, baik itu berupa makanan serta minuman yang beralkohol, namun makanan dan minuman untuk ketiga Biksu yang tidak mau mengikuti acara pesta sangat berbeda.
Setelah hampir seharian menikmati Pesta yang sangat meriah di seluruh pelosok-pelosok desa, kini para Tamu Kerajaan sudah meninggalkan istana, dan situasi kembali seperti semula.
Malam harinya semua para pekerja hingga para pelayan istana membersihkan Aula Istana, sedangkan Lin Fei sedang duduk di dalam kamar menemani putranya yang baru saja selesai diberi ASI.
Dengan belaian penuh kasih sayang, Lin Fei mengusap rambut putranya yang hitam lebat serta halus itu dengan lembut seraya berkata, "Tidurlah yang nyenyak putraku, kasih sayang kami akan membawamu ke alam mimpi yang indah," kata Lin Fei.
Saat masih membelai putranya, suara ketukan pintu terdengar, anehnya biasanya seorang pelayan atau siapapun itu yang ingin masuk atau ada keperluan pasti akan mengetuk pintu sambil mengatakan akan siapa dirinya serta tujuannya, hal itu juga berlaku terhadap Raja.
Namun kali ini tidak ada suara siapapun selain ketukan pintu sehingga Lin Fei bertanya dari dalam, "Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tanya Lin Fei, namun dia tidak ada jawaban selain ketukan pintu kembali yang menjadi jawabannya.
Perasaan Lin Fei mulai tidak enak, dia mulai cemas dan segera mengangkat Song Lin Qian yang masih tertidur kemudian menggendongnya.
"Siapa diluar?" tanya lagi Lin Fei namun jawabannya masih sama yaitu sebuah ketukan pintu.
Lin Fei yang mulai khawatir segera mengambil beberapa barang di atas meja riasnya seraya menjepit rambutnya dengan jepit rambut terbuat dari giok berwarna Biru muda serta berbentuk ekor merak.
Lin Fei juga diam-diam menyelipkan pisau kecil di pinggangnya lalu menutupi pisau itu dengan gaun birunya, dan tepat saat dia sudah selesai menutupi Pisau nya, suara salah satu pelayan terdengar sedang menanyakan sesuatu di luar.
"Siapa kalian?"
"Ah! Tolong! Tolong! Ada… !"
Suara pelayan itu tiba-tiba menghilang dan kemudian suara teriakan lain dari beberapa prajurit juga mulai terdengar.
"Hai siapa itu?"
Setelah suara pertanyaan itu, terdengar lagi suara benturan pedang di depan kamar, dan Lin Fei melihat bayangan prajurit dan bayangan beberapa orang lain mulai bertarung.
Terdengar suara erangan serta darah yang mulai mengalir dari bawah pintu kamar yang terus mengalir kedalam. Raut wajah Lin Fei langsung pucat saat mencium bau amis serta darah yang mulai masuk, dan setelah itu rasa ke khawatirannya semakin kuat ketika Pintu kamar ada yang mendobrak.
Begitu pintu kamar terbuka, Lin Fei melihat orang-orang berpakaian tertutup dari wajah hingga kakinya, beberapa kepala prajurit juga menggelinding sehingga Lin Fei segera menjerit histeris.
"Cepat habisi dia dan juga bayinya sebelum para prajurit yang lain datang, kita harus bergegas karena Panglima Lian Bai tidak lama lagi pasti akan datang kesini," kata suara seorang wanita yang sepertinya dikenali oleh Lin Fei.
"Jiejie Yie Ling Yi! Apakah itu kamu?" tanya Lin Fei dengan suara gemetar dan takut serta curiga jika suara itu milik Yie Ling Yi.
Pemilik suara wanita itu menatap Lin Fei dengan tatapan terkejut seolah-olah yang dipanggil oleh Lin Fei memang dirinya, namun dia segera mengacuhkan pandangannya dan memerintahkan kepada orang-orang yang berpakaian serba tertutup itu untuk segera membunuh Lin Fei.
Lin Fei sekuat tenaga mengumpulkan keberaniannya untuk bisa lari serta menyelamatkan putranya, dia sadar jika yang mereka incar adalah dirinya serta bayinya.
Salah satu pembunuh melompat dan langsung berhenti tepat di hadapan Lin Fei, hal itu membuat Lin Fei panik dan berjalan mundur ke dekat jendela.
Pembunuh itu tanpa basa-basi langsung mengayunkan pedangnya yang diarahkan langsung ke kepala Lin Fei dan akan lurus mengenai tubuh Song Lin Qian.
Lin Fei segera menghindar ke samping sehingga dia berhasil selamat dari tebasan pedang pembunuh itu, namun itu hanya sesaat saja karena pembunuh yang lain kini sudah berhasil meraih selimut bayinya.
Bayi yang sedang tertidur lelap itu jelas terbangun karena guncangan dan sang bayi mulai menangis, sedangkan Lin Fei berusaha melepaskan tangan si pembunuh lain yang ingin merebut bayinya dari pelukannya.
Jarak antara dirinya dan pembunuh itu cukup dekat, melihat dirinya memiliki peluang untuk melukai pembunuh itu, Lin Fei segera mengeluarkan Pisau kecilnya dan entah kenapa tiba-tiba saja dia berani menancapkan Pisau itu tepat ke ulu hati si pembunuh yang ingin merebut bayinya.
Pembunuh itu langsung jatuh dan mulai kejang-kejang lalu tidak bergerak lagi. Melihat rekannya yang mati di tikam pisau, pembunuh yang lainnya langsung menyerang Lin Fei, sedangkan Lin Fei berbalik lalu dia mencoba untuk melompati jendela yang telah terbuka akibat terkena tebasan pedang sebelumnya.
Lin Fei memang berhasil melompat, namun di saat yang bersamaan, pedang si pembunuh sudah lebih dulu berhasil menusuk pinggangnya, hanya saja Lin Fei berusaha menahan rasa sakitnya dan sekuat tenaga lari dari sana mencari perlindungan.
Namun begitu dia berlari, ternyata sudah banyak mayat prajurit serta para dayang istana yang mati bersimbah darah, dan kekacauan itu rupanya sudah menyebar hingga ke Aula Istana, bahkan Panglima Lian Bai sendiri sudah bertarung sekaligus melindungi Raja dengan Sang Permaisuri.
Lin Fei ingin berlari ke arah Sang Raja yang sedang dilindungi oleh Panglima Lian Bai, hanya saja luka tusukan di pinggangnya membuat langkahnya melambat, dan tiga pembunuh sudah berhasil menyusulnya.
Lin Fei ingin berteriak memanggil Lian Bai, hanya saja nafasnya sudah sangat berat sehingga dia tidak mampu melepaskan teriakan. Mau tidak mau Lin Fei harus berlari ke arah lain walau dia sendiri tidak tahu apakah masih ada tempat yang aman atau tidak.
Lin Fei yang berusaha berlari mulai dihujani tusukan pedang dari belakang, hal itu menyebabkan Lin Fei muntah darah, namun dia masih dengan gigih menahan sakit itu demi menyelamatkan putranya.
"Hei! Putri Lin Fei dan Pangeran sedang dalam bahaya! Cepat kejar dan selamatkan Pangeran..!" salah satu prajurit yang sedang bertarung tidak sengaja melihat Lin Fei yang sedang dikejar-kejar oleh tiga pembunuh segera memberitahu yang lain, dan suara prajurit itu terdengar oleh Raja Song serta Panglima Lian Bai dan juga Permaisuri.
Panglima Lian Bai berusaha menyelesaikan pertarungannya agar secepatnya bisa menolong Lin Fei, namun kali ini dia sedang berhadapan dengan salah satu pembunuh yang memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi sehingga dia tidak bisa dengan mudah menyingkirkannya.
Raja Song segera meminta kepada Sang Permaisuri untuk lari kebelakang, karena di kamarnya masih aman, sedangkan Raja Song sendiri segera berlari melewati pertarungan para prajurit melawan orang-orang yang tidak diketahui dari mana asalnya tanpa peduli lagi akan keselamatan dirinya.
Raja Song berusaha secepat mungkin berlari untuk menyelamatkan Lin Fei dan putranya, namun dia dihadang oleh beberapa orang sehingga dia tidak bisa berlari, walau Raja Song masih cukup beruntung karena para Prajurit segera menolongnya, namun dia sudah tidak melihat Lin Fei lagi.
Sebenarnya Raja Song sendiri tidak tahu jika akan ada penyerangan, awalnya dia hanya mendengar suara teriakan dan keributan kecil. Namun saat dirinya akan pergi untuk melihat, tiba-tiba saja dia dihadang oleh orang-orang berpakaian serba tertutup, dan disaat yang bersamaan, Panglima Lian Bai yang juga berencana akan memeriksa sumber suara itu akhirnya harus melindungi sang Raja dan permaisuri, setelah itu orang-orang berpakain serba hitam itu semakin banyak yang berdatangan yang membuat peperangan di dalam istana pun tidak bisa dielakkan lagi.
Panglima Lian Bai yakin jika orang-orang misterius itu sudah lama menyusup di dalam istana, mungkin mereka sempat menyamar menjadi prajurit dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
Kebetulan malam ini banyak sekali para prajurit yang mabuk setelah seharian minum di acara pesta, dan hanya sedikit yang masih tersadar, itu sebabnya kekacauan itu tidak menguntungkan bagi istana, dan terlihat jelas jika itu adalah kekacauan yang direncanakan jauh-jauh hari.
Raja Song yang berhasil diselamatkan oleh beberapa prajurit hanya menatap ke arah menghilangnya Lin Fei yang di kejar-kejar oleh tiga orang pembunuh dengan tubuh lemas, dia takut kehilangan putra yang baru saja hadir di kehidupannya.
"Panglima Lian…! Lepaskan Panah petasan sekarang juga," seru Raja Song yang terlihat sangat marah.
Panglima Lian Bai segera melompat keluar lalu dia mengambil busur dan panah seraya meletakkan sesuatu di ujungnya, setelah menyalakan sumbu benda itu, Panglima Lian Bai segera melepaskan nya ke udara lalu suara Ledakan serta cahaya petasan yang sangat terang segera menarik perhatian semua orang.
Ledakan petasan itu sebenarnya adalah kode panggilan untuk para pendekar yang memiliki hubungan dengan kerajaan sekaligus sebagai pertanda jika sedang ada masalah besar yang terjadi di istana.