NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.5k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AMBAR & SRINTIL

Untuk sampai ke tempat ini harus melewati jalan berbatu sekitar seratus meter, kemudian bercabang, yang ke kiri adalah jalan menuju ke perkebunan, sementara yang lurus dan ada pintu pagar besi setinggi dada adalah akses masuk ke jalan menanjak, yang dilapisi aspal mulus, merupakan area pribadi Keluarga Gaganantara.

Biasanya, hanya orang-orang yang memiliki kepentingan saja berani datang berkunjung. Misalnya adalah sepasang suami-istri yang selama ini menjadi pengurus rumah.

"Entahlah." Diyan menjawab acuh tak acuh sambil menatap miris pada kedua gadis itu.

"Ya ampun. Lihat ini, kamu ganti baju?" Gadis berambut hitam berujar sarkas sembari menarik kerah kaus gadis lainnya "Oh, ya ampun, ya ampun! Rambutmu disisir juga. Kamu pikir dengan begini bisa menarik perhatian mereka, gitu?" Tawa mencemooh pun mengiringi perbuatan kasarnya. "Dasar ora ndue isin!"

Diyan terkejut saat gadis berambut pajang mendorong bahu gadis satunya hingga terhuyung ke belakang dan menabrak pagar tanaman. Dia pun segera melangkah cepat menapaki jalan menurun tanpa sempat dicegah oleh Bu Harnum.

Si bungsu itu memang pada dasarnya memiliki rasa keadilan yang sangat tinggi. Sering terlibat perkelahian dengan para preman karena tidak bisa mengabaikan penindasan dan pemalakan. Namun, karena kemampuannya membela diri sangat buruk, Arka juga harus sering turun tangan untuk membantu.

Entah bagaimana caranya, Arka selalu bisa datang tepat waktu bila adiknya butuh pertolongan. Sampai sekarang hal itu masih merupakan misteri buat Diyan.

"Selamat pagi." Alih-alih menegur tindakan kasar si gadis rambut panjang, Diyan malah basa-basi, menyapa ramah seolah tidak pernah menyaksikan kejadian barusan.

Mata gadis berambut panjang penuh permusuhan menatap tajam. Senyum Diyan seketika sirna, wajahnya mendadak kaku bagai beku, dan perasaan aneh seperti yang kemarin kembali dia rasakan. Jiwa gelisah, sangat gelisah hingga rasanya ingin segera menjauh dari jangkauan pandang gadis berambut panjang itu. Namun kakinya ...

Huh? Kenapa lagi ini? Diyan baru menyadari jika kakinya sulit digerakkan.

"Mbak Ambar, jangan!" Menggenggam lengan gadis yang dia panggil Ambar, Srintil memohon dengan suara bergetar.

Sesaat Ambar bergeming tidak mengindahkan permohonannya, tetapi tidak lama kemudian tiba-tiba dia memutus kontak mata, wajahnya pun terlihat semakin kaku dan perlahan memutar badan lalu pergi. Pergi begitu saja dengan langkah kaku seperti orang berjalan dalam tidur, tanpa mengajak Srintil bersamanya.

"Ada apa ini, An?"

Terlalu larut dalam suasana tegang, sampai-sampai sapaan halus pun membuat Diyan menjengit. Dia menoleh cepat dan langsung berhadapan dengan sang kakak. Saat tatapan bertemu, satu hal langsung terlintas di kepalanya. Bukankah kemarin juga begini? Gadis itu tiba-tiba bersikap aneh saat melihat Mas Arka, lalu bergegas pergi.

"Mas Arka pernah bertemu dengan gadis yang baru saja pergi itu?"

Sebelum pertanyaannya mendapat jawaban, Bu Harnum sudah menginterupsi, "Kalian ini ngapain, toh? Ada anak gadis kok dibiarkan kedinginan." Bu Harnum menarik kain yang membungkus bahu Diyan, lalu memberikan pada Srintil sambil berkata, "Ayo, masuk. Sarapan bareng."

"Sssri, namaku Sssri." Gadis itu sampai tergagap saking bahagianya. Wajah semringah dan matanya berbinar-binar cemerlang.

Bu Harnum tersenyum lembut. "Kita masuk dan ngobrol sambil sarapan. Gimana?"

Srintil mengangguk-angguk antusias, tanpa sungkan atau malu-malu berjalan mengikuti Bu Harnum. Dia terlihat lebih bersih dibandingkan yang kemarin. Kaus warna kuning dan celana pendek selutut yang dia kenakan terlihat cemerlang, bahkan rambut sepertinya juga disisir meski masih saja terlihat kusut.

"Kalian kenapa masih berdiri di situ?" Bu Harnum yang sudah beranjak duluan sambil merangkul Srintil, menyempatkan diri menoleh kembali pada kedua putranya.

Arka sudah hendak beranjak, tetapi Diyan menahannya. "Mas Arka belum jawab pertanyaanku, loh."

"Jawabannya eee-nggak ...."

"Tapi kok dia mesti tiba-tiba pergi pas Mas Arka datang?" Pertanyaan ini terkesan menuduh.

Arka menautkan alis. "Mesti? Memang wes berapa sering kita ketemu dia, huh?" Jarinya menyentil pelan dahi sang adik yang sedang memberinya tatapan lekat menuntut jawaban pasti.

Sambil mengelus dahi yang tidak sakit, dalam hati Diyan mempertimbangkan, apakah perlu menceritakan kejadian aneh barusan kepada kakaknya?

Pada akhirnya, dia memutuskan lebih baik tidak memberi tahu siapa pun dulu. Pikirnya, mungkin saja peristiwa tadi hanya halusinasi. Lagi pula, diceritakan pun belum tentu kakaknya akan percaya.

"Ayo masuk, An."

Diyan segera menyusul kakanya yang sudah berjalan lebih dahulu. Keduanya melangkah ringan bersisian tanpa menyadari ada seseorang yang sedari tadi diam-diam mengikuti jalannya peristiwa dan percakapan dari balik pagar tanaman. Seseorang yang seluruh tubuhnya terbungkus oleh pakaian hitam. Bahkan kepala pun ditutup tudung jaket hingga sebagian wajahnya terlindung.

"Akhirnya ... sangat dekat." Dia berujar dalam bisikan yang terdengar seperti desisan.

Sementara itu di dapur Keluarga Gaganantara, Bu Harnum tengah menyiapkan sarapan dibantu oleh Diyan. Si bungsu membantu bukan karena suka atau kerajinan, melainkan hanya untuk menghindari Srintil yang terus-menerus menatapnya dengan tingkat antusias yang berlebihan, seolah Diyan adalah benda paling menarik yang baru pertama kali dilihatnya.

Lagi pula, hati dan pikiran Diyan masih sangat terganggu dengan peristiwa yang baru saja dialaminya. Bahkan setelah membersihkan badan dan mencuci rambut, dia masih sedikit merasa gerah. Mata menyala sosok bertudung dan mata hitam Ambar yang menatap penuh permusuhan, terus terbayang di benaknya.

Aroma harum kopi menguar, sedikit menarik Diyan dari lamunan. Sayangnya, dia tidak suka minum cairan berwarna hitam itu dan lebih menggemari teh. Sekilas dia mengerling sang ibu, lalu kembali asyik sendiri.

Setelah menyelesaikan racikan kopinya, Bu Harnum menatap si bungsu yang malah asyik menyeruput teh sambil bersandar malas di dinding pembatas yang hanya setinggi dada.

"An, kamu ngapain, toh?"

"Nyeruput teh." Diyan menjawab asal-asalan sambil menatap cangkir tehnya, lalu beralih menatap sang ibu dengan bodoh. Pura-pura tidak mengerti kenapa masih bertanya, padahal sudah jelas terlihat dia sedang apa.

Gemas pada mode jail si bungsu, Bu Harnum pun memukul lengannya. "Bukan cuma kamu yang lapar. Ayo, bantu ibu bawa pisang gorengnya. Oh, iya, gelas teh itu punya Sri."

Alih-alih bergegas, Diyan malah mengerling ke arah meja makan. Sejenak pikiran kalutnya teralihkan oleh pemandangan yang cukup menarik. Di sana, ayahnya yang memang humoris sedang mengajak Srintil berkelakar, gadis itu terlihat sangat antusias dan normal, sangat berbeda dengan yang kemarin. Sementara itu, Arka hanya duduk bersandar memperhatikan mereka dan sesekali ikut tersenyum.

Sungguh perbedaan karakter yang sangat mencolok. Dengan ayah yang humoris dan ibu yang suka meledak-ledak, bagaimana bisa tercipta  Arka yang tenang dan tidak banyak bicara?

Membandingkan kecocokan kepribadian, tanpa sadar Diyan menyamakan sifat suka merajuknya dengan sifat ibu yang suka meledak-ledak.

"An, ayo, bawa teh sama pisang gorengnya."

Tanpa kata, Diyan menuruti perintah ibunya. Ketika dia mendekat, perhatian Sri serta-merta beralih padanya. Matanya berbinar, tampak kian cemerlang dan hidup. Dia tersenyum malu-malu bahkan pipinya pun merona saat Diyan mengambilkan pisang goreng untuknya.

"Ma-makasih."

Diyan tersenyum lebar dan berujar, "Kalau kurang boleh ambil lagi. Kok."

Wajah Srintil semakin sumringah, dengan semangt mengangguk-angguk sambil menggigit pisang gorengnya.

Senyum lebar Diyan, bagi Srintil sudah tentu hanya terlihat sebagai hal yang wajar. Namun, tidak begitu halnya dengan Arka yang sedari tadi selalu mengamati gerak-gerik sang adik. Diyan tadi bahkan buru-buru duduk di kursi sebelah Srintil, mendahului ibunya yang berniat duduk di situ. Dalam situasi normal, adiknya tidak akan pernah bertindak demikian. Meskipun keras kepala dan kerap merajuk, tetapi dalam hal-hal tertentu dia tetap tahu bagaimana bersikap sopan.

Sambil menikmati makanannya, tatapan Arka tidak lepas dari sang adik yang berpura-pura akrab dengan Srintil.

Arka tahu betul seperti apa tabiat adiknya. Meskipun mudah bergaul dan tidak pilih-pilih, tetapi tidak berarti semudah itu mengakrabkan diri. Apalagi sampai terkesan seperti begitu tertarik hanya dalam dua kali pertemuan.

"Sri, yang tadi itu siapa?"

Srintil berhenti mengunyah dan menatap terpaku pada Diyan yang terlihat biasa saja, asyik menikmati sarapan, seolah pertanyaan tadi tidak penting atau hanya basa-basi saja. Ketika Diyan menoleh ke arahnya dengan senyum lebar, Srintil buru-buru menunduk.

Kedua ujung bibir Arka berkedut mengukir senyum samar. Dugaannya benar, sang adik memang memiliki maksud. Tidak ingin tertangkap basah sedang menyimak, Arka pun berpura-pura menyeruput kopinya.

"Apa dia Mbakmu?" Bu Harnum yang tidak merasa curiga, bertanya lembut.

Srintil mengangkat wajah dan memandang Bu Harnum. Gadis itu benar-benar terlihat sangat lugu, tatapan matanya yang polos dan memelas bisa membuat siapa pun jatuh kasihan.

Di saat mereka sudah berpikir bahwa Srintil tidak akan menjawab, kepala gadis itu mengangguk sangat pelan dan terus menunduk. Bahkan saat meletakkan pisang goreng yang baru dimakan separuh ke atas meja, tidak sedikit pun mengangkat wajah. Tingkahnya mendadak menjadi lebih aneh, meremas-remas jemari di atas pangkuan dan tubuhnya mengayun ke depan-belakang dengan gerakan teratur.

Arka refleks menyipitkan mata. Dia menduga, gerakan yang dilakukan oleh Srintil adalah reaksi spontan yang merefleksikan kegelisahan hatinya. Gadis itu sepertinya telah banyak mengalami masa sulit. Jangan-jangan perilakunya yang terlihat seperti orang kurang waras adalah dampak dari apa yang telah dialaminya selama ini.

"Jahat, su-suka pukul, marah-marah, Mamat balas ... kelahi ...."

Empat pasang mata saling berpandangan bingung dan semakin bingung saat Srintil tiba-tiba berdiri.

"Pu-pulang."

Pak Satria pun berdiri. "Biar aku antar."

Srintil menggeleng cepat. "Bi-bisa sendiri, tau jalan pulang."

"Benar?" tanya Bu Harnum. Srintil kembali mengangguk cepat, lalu bergegas pergi.

Tidak ada yang berniat mengejar karena berpikir, Srintil pasti sudah sering kali berkeliaran di sekitar tempat ini. Oleh karena itu, tidak terlalu khawatir membiarkan gadis itu pulang sendiri. Toh, tadi dia juga datang sendiri.

Sebelum mencapai pintu utama, Srintil berbalik. "Ru-rumah kosong ... jangan datang ... ba-bahaya." Setelah itu, dia keluar dengan berlari-lari.

Keempat tuan rumah saling bertukar pandang bingung karena tidak mengerti apa maksud perkataannya.

"Apa di sini ada rumah kosong lain, selain yang di bukit kecil belakang itu?"  Arka bertanya sambil menatap ayahnya.

"Ada beberapa, tapi setahuku yang di atas bukit itu yang kata orang-orang angker."

Tiba-tiba Diyan menggeliat tidak nyaman, wajahnya meringis. "Gatal banget," keluhnya sambil menggaruk punggung.

"An ...." Bu Harnum segera bangkit dari duduk. Gerakannya sangat kasar hingga kursi yang tadi dia duduki roboh. Pak Satria pun bergegas menghampiri, wajahnya yang selalu tampak riang kini menegang.

Keduanya serempak menyingkap kaus yang dikenakan Diyan dan seketika itu juga mata melebar menatap nanar punggung si bungsu.

Arka tidak tahu apa yang terjadi, menatap heran dan dahi mengernyit. "Ada apa? Punggungnya kenapa?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Arka, Pak Satria dan Bu Harnum justru saling berpandangan dengan wajah risau.

"Gatal sekali, bantu aku menggaruknya." Diyan meringis, menggerak-gerakkan kedua bahunya kasar.

Arka hendak berdiri, tetapi Bu Harnum mencegahnya, "Lanjutkan makannya, biar ibu saja. Cuma bruntusan biasa, kok."

Setelah tersenyum pada si sulung, Bu Harnum memberi kode dengan ujung mata pada Pak Satria. Kode yang berarti memintanya tetap tinggal supaya Arka tidak mengikutinya ke kamar.

[Bersambung]

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!