Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 31
Setelah saling pandang selama sesaat, akhirnya salah satu pengawal menganggukkan kepalanya. Dia pun menerima cincin yang Angga berikan.
"Baik. Akan kami sampaikan titipan ini pada nona Zura. Sekarang, silahkan kalian pergi dari sini!"
"Baik."
"Tuan muda, ayo!"
Adya pun langsung membawa Angga menuju mobil. Namun, Angga tidak ingin Adya menemani dirinya sekarang. Angga ingin sendirian yang terpaksa membuat Adya tidak ikut pulang dengan mobilnya sekarang.
"Baiklah, tuan muda. Tuan muda bisa menyendiri tapi tolong izinkan saya mengobati memar yang ada di wajah anda itu. Sebentar saja, tuan muda. Tidak akan lama."
"Tidak perlu, Adya. Luka ini tidak ada sakit-sakitnya sama sekali. Jadi, tidak perlu diobati. Aku baik-baik saja. Jangan cemaskan diriku karena yang luka bukan fisik. Melainkan, hati."
Adya pun memahami apa yang Angga katakan. Dia cemas, tapi tidak bisa memaksakan atasannya untuk mendengarkan apa yang ia katakan. Jadinya, Adya terpaksa melepaskan Angga pergi membawa hati entah ke mana arah tujuannya itu akan pergi.
Di sisi lain, Zura sedang bicara dengan paman dan juga mama angkatnya. Sementara Lula sibuk dengan urusannya sendiri.
"Jangan terlalu cemas, mas Fadil. Keponakanmu itu tahu kok apa yang akan ia lakukan. Dia itu wanita kuat. Dia tahu ke mana langkah yang harus ia gerakkan." Hani dengan lembut membela Zura saat si paman memaksa Zura untuk menjauhi Angga.
"Aku tahu Zura wanita kuat. Tapi aku juga tahu, Hani. Dia itu adalah wanita berhati lembut. Dia mudah lupa dengan apa yang orang lain lakukan padanya. Aku tidak suka kalau dia disakiti lagi nanti."
"Paman. Aku tahu kok apa yang aku lakukan. Paman jangan cemas, aku pasti bisa jaga diri. Lagian, paman lupa aku yang sekarang bukan lagi aku yang dulu. Gak akan tergoda sama cinta."
"Mas Fadil, ih. Jangan buat anakku mati rasa juga dong. Aku tahu kamu cemas, tapi jangan buat anakku takut untuk jatuh cinta. Dia itu butuh cinta buat menemani hidupnya nanti. Dia kan masih sangat muda. Jadi masih sangat membutuhkan pendamping." Paman Zura malah dapat omelan dari Hani.
Seketika, dua orang yang tidak lagi muda itu terlihat sangat cocok jika di satukan dalam sebuah keluarga. Bukannya kesal dengan masalah yang telah terjadi, Zura malah tersenyum melihat tingkah paman juga mama angkatnya yang sedang beradu mulut untuk berjawab kata dalam memperdebatkan masalah yang sedang Zura hadapi.
Memang, jadi penonton terbaik adalah hal yang membahagiakan buat Zura sekarang. Karena melihat dua orang yang saling mencintai bicara itu adalah hal yang sangat luar biasa bagi Zura. Ingatannya pun kembali ke masa lalu. Di mana ibu dan ayahnya juga sering melakukan hal yang sama. Nanti, setelah perdebatan panjang, ujung-ujungnya, ayahnya lah yang akan mengalah dari ibunya.
Orang yang saling jatuh cinta itu berdebat memang dangat berbeda. Ada manis-manisnya di dalam perdebatan itu meskipun beradu mulut adalah hal yang tidak menyenangkan.
Perlahan, buliran bening jatuh dari mata Zura. Sontak, Hani yang melihat hal tersebut langsung mengalihkan perhatiannya dari apa yang sebelumnya mereka lakukan. Wajah cemas tak lupa Hani perlihatkan sambil bangun dari duduk untuk berganti posisi duduk ke samping Zura sekarang.
"Sayang. Kamu kenapa? Apa yang membuat kamu merasa tidak nyaman, Zu?"
"Zu. Kamu baik-baik saja, bukan? Apa perkataan paman membuat kamu terluka, nak?" Pamannya ikut berganti posisi sekarang.
Cepat Zura menyeka air matanya yang jatuh di pipi. Senyum indah ia perlihatkan.
"Mama. Paman. Aku gak papa kok. Aku hanya ... merindukan suasana keluarga. Aku merindukan ibu dan ayah. Kalian berdua terlihat seperti sepasang suami istri yang sedang beradu mulut tadi."
"Sayang." Hani berucap sambil menyentuh tangan anak angkatnya itu. Wajahnya pun terlihat sedikit merasa bersalah.
"Mm ... Zu. Karena kamu telah bicara begitu. Sebenarnya, paman punya sesuatu yang ingin paman katakan padamu."
"Tunggu! Apa ini waktu yang tepat untuk bicara, Mas Fadil? Rasanya, tidak deh."
Zura langsung melihat wajah paman juga mama angkatnya secara bergantian. Wajah keduanya terlihat menampakkan aura yang berbeda.
"Ayo katakan! Aku sangat ingin mendengarkan apa yang ingin paman katakan padaku. Semoga itu kabar bahagia yang akan membuat hati terobati dari rasa sedih," ucap Zura penuh harap.
Dua orang ini malah saling bertukar pandang. Kemudian, Hani menganggukkan kepalanya pelan. Wajahnya pun terlihat sedikit bersemu sekarang.
"Zu. Sebenarnya, paman ... punya rencana untuk ... untuk menikah dengan Hani."
Susah payah paman Zura menyelesaikan perkataan tersebut. Dia takut kalau niatnya akan membuat keponakannya tidak menyetujui karena punya alasan tersendiri. Makanya dia bicara dengan kata-kata yang sedikit terputus-putus akibat terlalu gugup.
Sebaliknya, ekspresi terkejut yang Zura perlihatkan malah semakin membuat perasaan gugup dalam hati dua anak manusia yang ada di samping Zura semakin membesar. Bahkan, wajah terkejut Zura itu sangat sulit untuk keduanya prediksi.
"Apa! Kalian ingin menikah?"
"Iy-- iya. Ba-- bagaimana pendapat kamu, Zu? Apakah bagus atau tidak. Jika tidak bagus juga kami akan-- "
"Paman ngomong apa sih? Paman ngga beneran punya niat buat nikahin mama. Ya Tuhan, aku sungguh sangat bahagia lho mendengar kabar ini."
"Jadi ... kamu setuju jika kami menikah?" Pamannya malah bertanya kembali untuk memastikan jawaban dari keponakannya itu.
"Tentu saja aku setuju. Bahkan, aku sendiri sudah berniat untuk menjodohkan kalian berdua. Karena aku yakin, mama adalah pilihan terbaik untuk paman."
"Jangan bilang begitu, Zu. Jangan buat mama jadi malu. Mama ngga muda lagi lho sekarang," ucap Hani berusaha menyembunyikan rasa bahagia dalam hatinya.
"Apa hubungannya muda dengan pernikahan, Ma? Saat menemukan pasangan yang tepat, usia bukanlah sebuah halangan."
"Mama tenang saja. Aku yakin kalau paman tidak akan mengecewakan mama. Karena aku tahu seperti apa pamanku ini, Ma."
"Kamu ini."
"Mama pasti membutuhkan kamu nanti kalau pamanmu itu macam-macam, Zu."
"Tenang saja. Aku akan berusaha sebaik mungkin kok agar tidak membuat ulah," ucap paman Zura sambil tersenyum.
Sungguh, hal itu sangat membahagiakan hati Zura sekarang. Akhirnya, paman dan mamanya akan bersatu dalam sebuah ikatan yang pasti. Sejujurnya, inilah yang sangat ia harapkan sebelumnya.
Zura pun meraih tangan kedua orang yang duduk di kedua sampingnya itu. Lalu, tangan itu Zura satukan di atas pangkuannya.
"Kalian harus bahagia, Ma, Paman. Aku mendoakan kebahagiaan untuk kalian berdua."
Keduanya tersenyum lebar. Lalu, mereka sama-sama memeluk Zura dengan erat.
"Kamu juga harus bahagia, Nak. Harus." Pamannya berucap dengan nada pelan.
"Iya, sayang. Kamu juga harus bahagia. Mama juga ingin melihat kamu berbahagia. Doa kami untukmu tidak akan putus. Kebahagiaanmu harus kamu raih."
Zura mengangguk pelan. Mereka bertiga terus berpelukan selama beberapa saat. Sementara itu, di sisi lain, Lula sedang sibuk mencari keberadaan Reno setelah acara selesai dan para tamu undangan bubar.