Kisah cinta diantara para sahabat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunshine_1908, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curahan Hati Jaryan - Menghilang
"Apakah namaku pernah ada dalam rencanamu Hazel?" Hazel terdiam.
Bukan.
Ia hanya tak memiliki alasan.
Memang benar jika ia menyukai Jishan, dan bodohnya, hanya Jaryan yang tahu tentang itu.
Memang benar jika ia hanya menjadikan Khaizan pelarian dari setiap permasalahannya. Masalah mentalnya, mungkin hanyalah sebagai alasan. Alasan agar ia bisa lebih dekat dengan Khaizan, sekaligus mengikis jaraknya dengan Jaryan.
Dan meskipun Jaryan tidak membahas masalah ini secara langsung, tapi Hazel cukup yakin jika Jaryan juga paham akan hal itu.
Menjadi salah satu wanita asing diantara tujuh sahabat. Hazel telah memberikan cukup banyak hal bagi mereka. Bahkan Jaryan takkan heran, jika suatu saat nanti ketujuh dari mereka akan saling memperebutkan Hazel dalam masalah cinta.
"Maafkan aku.." lirihnya dengan lelehan air mata yang tak lagi bisa ia tahan.
"Aku akan selalu egois dengan apapun kenyataanya Zel." ujar Jaryan bersungguh-sungguh.
"Aku akan selalu egois jika itu menyangkut kamu. Kamu yang hadir di hampir seluruh hidupku." kalimatnya terhenti sesaat. Ia kesulitan menahan tangisnya dan menahan agar suaranya tak lagi keluar dengan parau.
"Aku suamimu, suami sahmu. Kita sudah menikah dua kali." Lagi-lagi Jaryan kesulitan untuk berbicara.
"Jika kamu ingin berfikir bahwa pernikahan pertama kita tidaklah sah, karena kita masih di bawah umur. Maka aku telah menikahi mu kembali di saat usiaku sudah menginjak tujuh belas tahun."
"Aku bahkan sudah pernah menyentuhmu dan meminta hakku lebih dari itu. Aku akan selalu egois Zel. Selalu..." tangisan Jaryan pun akhirnya pecah.
Bahkan terdengar hingga keluar ruangan dan membuat langkah Adrian serta Ciara terhenti di ambang pintu.
"Aku rasa kita datang di waktu yang salah Ra." bisik Adrian kepada Ciara, namun tubuhnya masih tak bergeming. Ia terluka mendengar curahan hati Jaryan, namun dirinya juga masih begitu penasaran dengan apa akhir dari perdebatan mereka.
"Bahkan jika akibatnya adalah aku yang harus melawan mereka dan dianggap penghianat. Aku akan terima itu. Seegois itulah aku terhadapmu Nona Hazel Quincy."
"Dia masih sakit, apa gak baiknya di lerai saja?" diluar ruangan Ciara nampak tak kala cemas.
Gadis itu baru saja menjalani operasi dalam beberapa jam terakhir. Ini takkan baik untuk pemulihan nya.
"Biarkan Ra, mereka hanya mengutarakan isi hati mereka saja. Jika bukan sekarang, maka Jaryan akan terus menahannya entah sampai kapan."
Ciara menatap ke arah tangan Adrian yang masih menggenggam handle pintu. Tangannya nampak bergetar, ia seperti turut masuk dalam permasalahan mereka.
"Maafkan aku Kak, hiks." gadis di dalam terdengar semakin terisak.
"Aku akan memperjuangkan mu dengan cara apapun. Aku berjanji, Hiks." Hati Adrian semakin teriris ketika mendengarkannya, wajahnya berubah pucat dan Ciara yakin bahwa Adrian pun tidak dalam keadaan baik.
"Ayo, kita duduk disana." Ciara membawa Adrian ke arah kursi tunggu yang berada di ujung koridor.
Untungnya mereka berada di area VIP. Karena di setiap satu paviliunnya, hanya akan ada satu pasien, dan satu orang wali yang diizinkan berjaga.
Jadi mereka tidak perlu takut jikalau ada seorang asing yang akan mendengarkan percakapan Hazel dan Adrian dari arah luar. Area itu benar-benar dijaga ketat, takkan ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi diantara mereka.
"Perjodohan itu diatur oleh para tetua Ra, Hiks." Adrian mulai membuka kisahnya kepada Ciara.
"Andaikan saja aku adalah wanita, atau andaikan mereka memiliki seorang putri. Pasti bukan Hazel tapi aku yang akan dijodohkan."
Adrian nampak tak canggung lagi untuk membuka masalahnya di depan Ciara. Mereka sudah berteman sejak lama, dan Ciara juga satu-satunya orang yang sangat bisa ia percaya.
"Jangan menyesali apapun yang sudah terjadi. Harusnya kita membantu mereka Rian."
"Membantu apa? Semua sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan mereka sudah terlanjur hancur, Hiks." isak Adrian semakin menjadi.
"Nggak Kak, gue akan lakuin apapun untuk memperjuangkan dia. Melepasnya gak pernah masuk dalam plan." tanpa mereka sadari Jaryan ternyata telah keluar dan berdiri di hadapan mereka dengan matanya yang masih basah.
"Bahkan jika takdir berjalan sesuai apa yang lo bilang tadi pun. Gue akan tetap usaha."
"Andai bukan kita yang dijodohkan, melainkan lo. Gue akan tetap atur perjodohan gue sendiri. karena masalahnya bukan di keluarga, tapi hati gue."
"Jer..." Adrian bangkit dan berdiri di hadaoan Jaryan dengan kikuk. Ia tak tahu langkah apa yang harus ia lakukan disaat seperti ini.
"Kalau memang cuma nama Edgarda yang bisa bawa gue dekat sama dia. Maka gue akan pertahankan nama ini sampai titik darah penghabisan gue."
Jaryan pergi, tubuhnya menghilang dengan sempurna di balik bangunan megah rumah sakit itu. Entah kemana ia akan pergi kali ini Tapi itu semua malah membuat Ciara jadi harus berusaha ekstra dengan kembali memakaikan suntikan penenang untuk Nicya.
"Ini suntikan kedua di hari ini. Tadi Khaizan, sejam kemudian kamu. Andai saja aku bisa tidur di rumah dan bersikap acuh padanya. mungkin saat ini, suntikan ini masih untuk dia Ca." lirih Ciara setelah membuat Nicya kembali ke alam mimpinya.
"Hari yang berat untuk kalian semua."
Jaryan tidak muncul lagi setelah itu. Bak ditelan bumi, ia tak ada dimana-mana. Tidak di rumah sakit untuk merawat Hazel, tidak juga di bar Juan. Kediaman Edgarda apalagi. Apartemen pun nihil, Adrian maish harus bolak balik setiap harinya untuk mengambil keperluan Hazel dan jejak keberadaannya tak pernah ia temukan di sudut manapun di rumah itu.
"Lo kemana sih Jer?" gumamnya frustasi.
Sampai waktu dua minggu berlalu, dan Hazel di izinkan pulang kembali ke apartemen mereka Jaryan masih belum juga muncul.
"Kondisi kamu sudah sepenuhnya pulih, tapi Adrian masih terus pantau kamu. Aku memang gak menemukan adanya infeksi atau gejala tetanus di kamu Ca. Tapi kondisi kamu juga gak begitu baik, ingat pikiran akan sepenuhnya mengganggu kepada kesehatanmu." Hazel telrihat begitu sendu.
"Belajarlah untuk mengendalikan pikiranmu, aku yakin Jaryan hanya butuh waktu sampai akhirnya hubungan kalian membaik."
Pagi itu Hazel kembali ke apartemen bersama dengan Adrian. Mereka memilih untuk memesan makanan di luar, karena Adrian begitu sibuk hingga tak sempat untuk memasak makanan untuk Hazel.
"Aku langsung ke kampus ya Kak." pinta Hazel setelah menghabiskan makanannya.
"Kamu yakin gak apa-apa? Kamu baru sembuh lo."
"Lebih baik aku ke kampus dari pada galau di rumah. Lagian tugas di BEM pasti udah numpuk banget. Ada beberapa promosi yang seharusnya dilakukan oleh King dan Queen selama sebulan ini, dan waktuku selama dua minggu sudah terbuang sia-sia."
Adrian pun terpaksa menuruti keinginannya karena kondisi mentalnya lah yang terpenting saat ini. Adrian tidak ingin jika adik semata wayangnya itu akan kembali jatuh sakit hanya karena beban pikiran yang di tanggungnya.
Kampus Bina Prestasi.....
Pagi itu, para anggota dreamers menyambut kedatangannya di kampus secara bergantian. Namun tak ada Jaryan disana. Juan juga tidak.
Hazel tak memiliki tempat untuk bertanya, mengungkapkan kekhawatirannya kepada sang suami, karena belum ada yang tahu kalau suaminya itu sebenarnya adalah Jaryan.
Ren yang sebenarnya tahu pun hanya mengira bahwa mereka berangkat terpisah demi menghindari gosip semata.
"Aku ikhlas Ca." hanya itu kalimat yang bisa Hazel dengar dengan jelas.
Persis di saat teman-temannya memberikan dukungan juga pelukan untuknya, matanya masih sibuk berkeliling mencari keberadaan sang suami yang entah berada dimana.
"Itu dia!" teriak Caelen, begitu si bungsu berhasil menemukan keberadaan dari abangnya yang belum terlihat sejak dia minggu terakhir.
"Bang jery!" Hazel berlari dan memeluk tubuh Jaryan dengan begitu erat.
"Maafkan aku, aku berjanji akan memperbaiki semuanya." bisiknya di telinga Jery.
"Jangan gitu Jer, kita semua juga sama kagetnya kok. Kasian Cya kalau lo kayak gini." Khaizan akhirnya ikut buka suara untuk bisa mendamaikan keduanya.
Mungkin di dalam benak Khaizan, Jery hanyalah korban yang sama dengannya. Korban ketidak tahuan dan merasa bahwa segalanya masih berjalan seperti biasanya.
Andaikan ia tahu segalanya, akankah akhir dari kisah persahabatan mereka akan berbeda?