Seperti kata pepatah, "Setelah kehilangan, barulah dia menyadari perasaannya." Itulah yang dialami oleh Revandra Riddle, pria berusia 30 tahun yang menikahi Airin Castela dalam pernikahan kontrak selama 5 tahun. Pernikahan mereka terjadi karena perjodohan; kedua orang tua Revan sangat menyukai Airin, sementara Erika Queen, kekasih Revan, justru menjadi sosok yang dibenci. Untuk itu, demi memisahkan mereka berdua, orang tua Revan menjodohkan dirinya dengan Airin.
Namun, selama pernikahan itu, Revan tak pernah memberi hatinya pada Airin. Ia terus berlaku kasar dan dingin, menunjukkan kebencian yang mendalam terhadap istrinya. Namun, takdir seakan ingin memberinya pelajaran; suatu hari, Revan mengetahui bahwa Erika, sang pujaan hati yang ia lindungi selama ini, ternyata telah mengkhianatinya. Detik itu juga, Revan tersadar akan kesalahannya. Airin yang selama ini bersabar dengan segala perlakuan buruknya, justru merupakan wanita yang setia dan mencintainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gebi salvina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pagi itu, langit tampak mendung dengan hujan rintik-rintik yang mulai turun membasahi bumi. Di dalam kamar, Rianti masih bergelung dalam selimut tebalnya, mencoba menahan dingin yang menusuk tulang. Matanya perlahan terbuka, dan senyum manis menghiasi wajah cantiknya. Dengan semangat, Rianti bangkit dari tidurnya dan meregangkan tubuhnya yang kaku.
Mengenakan sandal kamar, dia berjalan menuju kamar mandi. Air dingin yang mengalir dari keran saat mencuci wajah dan menggosok gigi membuat Rianti merasa segar. Setelah itu, ia melangkah ke dapur untuk mempersiapkan sarapan paginya.
Di dapur, aroma coklat panas mulai menguar saat Rianti menakar bubuk coklat dan menuang air panas ke dalam gelas. Seiring dengan itu, ia mengambil sepotong roti dari lemari roti, mengoleskannya dengan selai, dan menempatkannya di atas piring.
"Dingin sekali!" gumam Rianti ketika dia berdiri di balkon kamarnya sambil memegang gelas coklat panas dan piring berisi roti. Piyamanya yang tipis seperti tak mampu menahan hawa dingin yang menusuk hingga ke kulit. Angin yang berhembus kencang membuat Rianti merapatkan selimutnya semakin erat.
"Alangkah senangnya jika bisa menikmati hari ini bersama seseorang yang spesial," pikir Rianti dalam hati sambil menyesap coklat panas yang membawa kehangatan pada tubuhnya. Dalam lamunan, ia membayangkan bersantai di dekat perapian bersama orang yang ia cintai, tertawa dan bercanda, melupakan dinginnya hari itu.
Airin tengah asik menikmati coklat panas ketika bel apartemen berbunyi. Ia meletakkan gelas di atas meja dan dengan langkah gembira, berjalan menuju pintu. Pikirannya langsung terarah pada sosok Daniel, kekasihnya yang mungkin datang berkunjung. Namun, begitu membuka pintu, semangat dan senyum Airin seketika menghilang.
Di depan pintunya, berdiri Farah, ibunya, dengan wajah yang dingin dan tanpa ekspresi. "Mama?" gumam Airin, bingung dan terkejut.
Tanpa berkata-kata, Farah langsung melangkah masuk ke dalam apartemen. Airin terdiam sejenak di pintu, berusaha mengatur nafas agar emosinya terkendali. Ia tahu, kedatangan Mamanya kali ini pasti tidak akan berakhir dengan baik. Namun, meski hatinya berdebar, Airin menutup pintu dan mengikuti ibunya ke ruang tamu.
Farah duduk di sofa dengan tatapan tajam, sementara Airin menempelkan tubuhnya di dinding, memandang mamanya dengan tenang. "Mama, ada apa?" tanya Airin dengan suara yang santai.
Farah menghela nafas, lalu menatap Airin dengan mata berbinar-binar kesal. "Kau benar-benar berani, ya, Airin? Mama tidak menyangka kamu akan se-sombong ini, jangan lupa butik itu bisa maju karena campur tangan Mama. Kau kira kau terlihat hebat dengan bertingkah seperti itu?"
Airin menelan ludah, mencoba menjaga emosinya tetap terkendali. "Mama, aku tidak mengerti Mama membicarakan apa, tolong bicara baik-baik supaya aku paham." jawab Airin dengan suara yang di buat tenang.
"Kau sangat tidak tau diri!" bentak Farah, membuat Airin terlonjak kaget. "Bagaimana bisa kau bersikap kejam pada adikmu sendiri? Apakah kau lupa semua yang telah Mama korbankan demi mendidikmu?"
Airin menundukkan kepalanya, tangannya mencengkeram erat pinggiran baju. Ia ingin menjelaskan semuanya pada ibunya, tetapi tahu bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat. Namun, di tengah keheningan yang menyiksa, Airin merasakan keberanian membara di dalam hatinya. Mungkin inilah saat yang tepat untuk berbicara.
Airin berdiri di depan Farah dengan wajah memerah. Emosinya meledak-ledak, tak mampu menahan rasa sakit yang menghujam hatinya. "Apa Mama takut suami mama meninggalkan mama kalau Kayla tidak bahagia? Dia anak tiri Mama, hanya demi kasih sayang suami mama, mama mengorbankan darah daging mama sendiri? Untuk apa? Mama takut jadi janda? Semua yang terjadi ini salah Mama!" teriak Airin dengan suara yang serak.
Mamanya, Farah, terdiam seribu bahasa, menatap putrinya yang sedang menangis dengan penuh emosi. Rasa bersalah mulai merayap di hatinya, tetapi ego dan keinginan untuk menjaga hubungannya dengan suaminya sekarang, Ayah Kayla, terasa lebih besar.
Farah menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab tuduhan Airin. Namun, ia teringat masa lalu, bagaimana dulu ia berselingkuh dengan Ayah Kayla dan akhirnya bercerai dari suami pertamanya, Papa Airin. Pikiran itu membuatnya merasa terpojok dan tak bisa berkata apa-apa.
Airin menyeka air matanya dengan lengan bajunya, sambil terisak-isak. "Andai dulu Mama tidak selingkuh, mana mungkin Papa akan meminta cerai, dan keluarga kita tidak mungkin terpecah belah seperti ini," ujarnya lirih. "Dan sekarang Mama sudah menikah dengan Ayah Kayla yang menjadi selingkuhan Mama dulu. Demi menjaga hubungan Mama dengan pria itu, Mama berusaha keras mengambil hati Kayla. Tapi apa Mama pernah peduli dengan perasaan anak kandung Mama sendiri?"
Farah menatap putrinya dengan mata yang penuh rasa bersalah, menyadari betapa egois dan keliru tindakannya selama ini. Namun, rasa takut kehilangan suaminya dan tak ingin menjadi janda membuatnya terus bersikeras melakukan apa pun demi menjaga hubungan dengan Ayah Kayla, bahkan jika itu berarti mengabaikan anak kandungnya sendiri, Airin.
Farah duduk di kursi dengan wajah pucat dan bibir yang gemetar. Airin, yang berdiri di hadapannya, menatap dengan mata berair, mencoba menelan rasa sakit yang melanda hatinya.
"Mama... apakah Mama pernah memikirkan aku sekali saja?" tanya Airin dengan suara lirih, hampir tak terdengar.
Farah menatap putrinya, lalu mengangguk lemah. " Tentu saja pernah, Sayang. Airin, bisakah kamu memahami Mama sekali ini saja? Iya, oke! Mama akui Mama tidak mau menjadi janda, dan memang benar, mama sangat bekerja keras demi mengambil hati Kayla, karena mama tau, ayahnya sangat mencintainya. Maka dari itu, Mama rela melakukan apa saja, asal dia tidak meninggalkan mama," ucap Farah dengan tatapan memohon.
Airin terpaku, ia menatap wanita yang melahirkannya itu dengan tatapan tidak percaya. Hatinya hancur mendengar pengakuan mamanya yang begitu terbuka. Airin merasa seolah dunianya runtuh, mengetahui mamanya melakukan segala cara untuk mendapatkan kasih sayang dari seorang pria yang bahkan bukan ayah kandungnya.
"Jadi ini keputusan Mama?" Tanya Airin, kali ini suaranya sedikit lebih keras, mencoba menahan air mata yang hendak jatuh. "Aku bisa mengerti, seseorang kadang harus bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Tapi, Mama... apakah Mama benar-benar rela mengorbankan kebahagiaan anak Mama sendiri demi itu?"
Farah menatap putrinya dengan pandangan sayu. "Airin, Mama minta maaf. Maafkan Mama, Sayang. Mama hanya ingin yang terbaik untuk kita semua. Mama, Kayla dan Om Rudi juga ingin kamu tinggal bersama kami, tetapi kamu terlalu keras kepala, dan tidak pernah mengerti tujuan Mama. Mama hanya mau kamu merasakan keluarga yang utuh, tidak kesepian seperti sekarang. "
Airin menatap ke arah jendela, menahan amarah yang menggebu-gebu di dalam dadanya. Senyum pahit menghiasi wajah cantiknya. Tangannya erat-erat mengepal, seolah ingin mematahkan apa yang ada di dalam genggamannya. "Baiklah, Ma," ucapnya dengan suara yang bergetar, "Aku akan mencoba memahami keputusan Mama kali ini. Jangan bicarakan soal keluarga padaku, tinggal bersama dengan kalian hanya akan menambah luka di hatiku, setiap kali melihat lelaki itu, aku akan terbayang bagaimana terlukanya Papaku yang Mama selingkuhi."
Air mata yang menggenang di sudut mata Airin mulai jatuh membasahi pipinya yang pucat. Farah, yang duduk di seberang ruangan, menatap putrinya dengan tatapan sedih dan menyesal.
"Airin, bisakah kita tidak membahas masa lalu lagi? Semua sudah terlanjur, Mama mohon kamu berhenti menebar kebencian pada Om Rudi, kenyataannya sekarang dia adalah suami Mama," ujar Farah lemah, seolah merasakan sakit yang sama yang dirasakan oleh Airin.
Airin menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya yang hampir meledak. "Om Rudi? Mungkin dia memang suami Mama sekarang, tapi bukan berarti aku harus menerima kehadirannya dengan tangan terbuka. Bagaimana Mama bisa melupakan begitu saja pengorbanan yang sudah diberikan Papa untuk keluarga kita? Apa yang Om Rudi miliki hingga Mama rela mengkhianati Papa?" Airin menjerit, suaranya pecah akibat emosi yang tak terkendali.
Farah menundukkan kepalanya, tak sanggup menatap wajah putrinya yang penuh kebencian. "Mama tahu, Airin. Mama tahu Mama telah berbuat salah. Tapi, apakah kamu tidak bisa memberikan kesempatan pada Mama untuk memperbaiki kesalahan ini? Untuk membuktikan bahwa Mama masih mencintai keluarga kita?"
Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosinya. "Semuanya sudah terlambat, Ma.Papaku sudah tiada, maaf mama, sudah tidak berarti lagi. "bisiknya lirih, sebelum berbalik meninggalkan ruang tamu, meninggalkan mamanya yang menangis terisak-isak.
...
Farah melangkah keluar dari apartemen Airin dengan langkah berat dan mata yang sembab. Hatinya terasa hampa, seperti tiada harapan untuk memperbaiki hubungan yang renggang dengan putri kandungnya itu. Begitu keluar dari lift, tak disangka Farah melihat sosok yang tak asing baginya.
"Revan?" Farah terkejut melihat mantan menantunya yang sudah lama tak berjumpa itu.
"Mama," Revan dengan sopan dan lembut meraih tangan Farah lalu mencium punggung tangannya. Sosok Revan yang hangat membuat hati Farah sedikit merasa lebih baik.
"Kamu mau menjenguk Airin?" tanya Farah sambil menyeka air mata yang menggantung di kelopak matanya.
Revan mengangguk, "Iya, Ma. Mama baru saja dari sana? Apa Airin sudah bangun?"
Farah mengangguk pelan, lalu menatap Revan dengan pandangan yang bercampur aduk. Dia merasa bersyukur masih ada orang yang peduli pada putrinya, meski kini Revan bukan lagi menantunya. Mereka berdua lantas melanjutkan obrolan singkat tentang kondisi Airin dan kekhawatiran yang mereka rasakan, seakan mencoba menemukan sedikit kebahagiaan di tengah duka yang menyelimuti hati masing-masing.
"Mama sangat berharap kalian berdua kembali rujuk," ucap Farah pada Revan, seraya menatap pria tampan itu dengan harapan.
Revan mengangguk sambil tersenyum senang, merasa beruntung bahwa mantan mertuanya ternyata masih berpihak padanya.
"Mama tenang saja, aku sedang berusaha menarik kembali perhatian Airin. Kami akan kembali bersama, jangan khawatir, Ma," ucap Revan sambil memegang tangan Farah, berusaha meyakinkan hati wanita paruh baya itu.
Farah mengangguk puas, wajahnya terlihat lega. "Nanti, bisakah kamu memberi pengertian pada Airin? Mama, Kayla, dan Om Rudi sangat ingin berhubungan baik dengannya. Tetapi kamu tahu sendiri, Airin sangat keras kepala dan tidak mau mendengarkan kami," lanjut Farah, suaranya lirih dan pilu.
Revan menghela napas, lalu menepuk bahu Farah pelan. "Aku akan bicara dengan Airin, Ma. Aku yakin, jika dia mendengar dari ku, dia akan lebih terbuka dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya," ujar Revan penuh keyakinan.
Farah tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Revan. Semoga Allah memberkahi usahamu ini dan kalian bisa kembali bahagia bersama," doa Farah dengan tulus, merasa bersyukur masih ada harapan untuk menyatukan kembali anak dan menantunya yang sempat terpisah.
***
Kalau Kayla hidup menderita maka Rudi akan turut menderita kemudian Ibu kandung Airin sakit hati ,
Biar Rudi tahu bagaimana derita Airin setelah kehilangan ibu kandung ketika melihat Kayla menderita , Biar Rudi dan Ibu kandung Airin merangkak di kubur Ayah kandung Airin demi memohon ampun ,
Dosa kita dengan Allah SWT itu mungkin di ampun tapi dosa kita dengan manusia bagaimana mahu mohon ampun kalau orang itu sudah tidak lagi ada di dunia .
glirn ga undang aja,bru hboh...ga ush ngrsa jd krban deh,sdngkn klian jg tau spa pnjhatnya....iri blang dong,ga ush ftnah2 sgla.....tar airin bongkar kbusukan bpkmu sm emak tiri trcntamu....