Kejadian di toko bunga sore itu menorehkan luka yang dalam di hati Alisa.
Erwin, duda kaya raya yang merupakan pelanggan setianya, tega merenggut mahkota kebanggaannya dengan paksa.
Dendam dan kebencian meliputi Alisa.
Berbeda dengan Erwin, dia justru menyesali perbuatannya.
Berawal dari rasa frustasi karena di vonis mandul oleh dokter. dia khilaf dan ingin membuktikan pada dunia kalau hal itu tidaklah benar.
Sayangnya.. pembuktian itu dia lakukan pada Alisa, gadis belia yang sepantasnya menjadi putrinya.Penyesalannya berubah simpati saat mengetahui Alisa bisa hamil karena perbuatannya. dia meminta Alisa mempertahankan benihnya itu.
Berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkan maaf Alisa, ibu dari calon anaknya. Mampukah Erwin mendapatkan maaf dari Alisa? kita ikuti kisah selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Valery bergegas kedepan dengan penasaran.
Dia melihat seorang pria tengah duduk dengan tenang di teras depan.
"Astaga, kenapa dia ada disini? gawat..!" ucap nya panik.
"Hei, apa yang kau lakukan di disini? Bagaimana kalau ada yang mengenalimu?" suaranya setengah berbisik.
"Maaf, saya juga terpaksa datang, habisnya, ibu tidak bisa di hubungi. Saya butuh uang, Anak saya sedang sakit dan butuh biaya..." jelas pria itu.
Valery merasa gemas dan jengkel pada orang itu.
"Tapi gak harus datang kesini juga...Ya sudah, pergi sekarang. nanti saya transfer"
"Benar, ya Bu.." Valery mengangguk dan menggiring pria itu keluar dari rumah.
"Lho, mana tamunya, Nya? Saya bikinkan minum." Parmi kebingungan.
"Sudah ku usir, Lain kali kalau ada orang yang tidak di kenal, jangan di terima." ucapnya ketus.
Hal itu di laporkan oleh Parmi kepada Alisa.
"Apalagi yang di rencanakan wanita itu?" tiba-tiba perasaannya tidak enak.
Ia teringat ancaman Valery terhadap Langit.
"Aku harus ambil resiko nya. Aku harus cerita semua yang terjadi padaku. Aku tidak mau Langit jadi taruhan atas masalah ini.
Alisa mengatur nafasnya sebelum mulai bicara di depan Erwin.
"Serius sekali, ada masalah apa?"
"Sangat serius, bahkan ini menyangkut hidup putraku, Om."
"Langit? Ada apa sebenarnya..?"
Alisa mulai dari kecurigaannya tentang Valery yang sengaja menciptakan masalah di perjalanan agar orang suruhannya bisa memancingnya keluar rumah. Dengan isu menghilangnya Erwin membuatnya panik dan menyetujui undangan orang yang tidak di kenalnya hingga berujung kejadian tidak mengenakan kan di kamar hotel. Alisa bersumpah kalau dirinya tidak sadar saat itu. dirinya sudah meminum sesuatu dari mereka.
Wajah Erwin terlihat tegang dengan pandangan mata yang sulit di artikan oleh Alisa.
Sekarang bukti rekaman itu di pakainya untuk menekan ku agar meninggalkan rumah ini dan juga anak ku. Kalau aku sampai tidak menyetujuinya, Langit akan jadi taruhannya.
Dan rekaman itu ada di ponsel yang di pegang Tante Valery...."
Alisa menyatukan kedua tangannya di dada.
Tangan Erwin mengepal menahan amarah. Di saat yang sama, Valery datang dan menghampiri mereka.
"kenapa, Mas, kau terlihat marah sekali?"
"Aku sudah tidak bisa berpikir, berkali-kali aku bilang, tapi Alisa tidak pernah percaya. Dia menuduh mu sudah melakukan kejahatan yang tidak masuk akal..!" Erwin berkacak pinggang di depan kedua wanita itu.
Alisa sendiri tertunduk lesu. Dia pasrah akan keputusan Erwin.
"Bahkan dia bilang kau mengancam akan menculik Langit kalau dia tidak menuruti mu. Bukankah itu sudah gila?"
Erwin benar-benar murka.
Valery merasa kaget karena Alisa berani berterus terang, tapi ia merasa senang juga karena ternyata Erwin memihaknya.
"Sebenarnya apa masalah mu dengan ku, Alisa? Sampai kau menimpakan fitnah keji seperti itu kepadaku? Mas, kau tau persis siapa aku? Aku sangat mencintai Langit seperti anak ku sendiri. Tapi Alisa selalu meragukan ku." Air mata Valery mulai ikut andil mendukung aktingnya.
Dia memandang Alisa dengan tatapan mengejek.
"Akhirnya kau tau apa posisimu di rumah ini. Walaupun aku bukan istri mas Erwin lagi, tapi tetap mejadi nyonya dan begitu selamanya..."
Senyuman samar terukir di sudut bibirnya.
"Aku sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi Om, tidak pernah percaya." ucap Alisa dengan bibir bergetar.
Erwin membuang wajahnya.
"Mas, apa rencanamu selanjutnya? maksudku, dengan Alisa."
"Aku akui aku sangat mencintainya, tapi melihat kekerasan hatinya aku juga tidak yakin dapat melanjutkan hubungan ini." ucapnya tertahan. Air matanya hampir saja tumpah.
"Kau dengar Alisa, mas Erwin sudah ragu padamu. Lalau apa yang membuatmu harus bertahan di rumah ini?"
"Apapun keputusan Om Erwin, Aku tidak akan keluar dari rumah ini kecuali membawa Langit." jawab Alisa tegas.
"Membawa anak ku? Alisa, kau belum lupa, kan kalau kau tidak menghendaki kehadirannya." ledek Erwin.
"Terserah apa kata kalian, tapi keputusanku tetap tidak berubah. Kecuali Langit ku bawa serta."
"Kau sudah sakit jiwa, ya? Sudah tidak di kehendaki di rumah masih saja ngeyel. Dimana harga dirimu?" ucap Valery sengit.dia merasa di atas angin karena Erwin membelanya.
"Sudah, biarkan saja dia dekat dengan anak nya. Tapi itu tidak berarti Langit akan memilihnya, Langit hanyalah putraku sendiri." ucap Erwin tegas dan meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Erwin, Valery tertawa sinis.
"Kau lihat apa akibatnya? Coba kau turuti permainanku dari awal, mas Erwin tidak akan membenci mu, Langit juga akan baik-baik saja." le"
deknya penuh kemenangan.
"Kau boleh tertawa sepuasnya. Aku yakin ada saatnya yang benar akan menang. Dan yang salah akan terlihat kesalahannya.
"Selamat menikmati kekalahan mu..." Valery meninggalkan Alisa sendirian.
Parmi yang menyaksikan peristiwa itu langsung menghampiri Alisa.
"Non, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mak lampir itu bisa memperlakukan Non Alisa seperti ini?" Parmi menangis melihat keadaan Alisa.
"Sudah, Bi. Jangan menangis. Bibik mendukungku itu sudah memberiku kekuatan .kalau Bibik menangis, aku juga akan ikut menangis." Alisa merangkul pelayannya itu.
"Tapi tidak biasanya Tuan semarah itu. Itu bukan sifat Tuan Erwin..." ucap Parmi heran.
"Sudahlah, mungkin juga dia sedang bingung."
***
Alisa merasa sedikit lega karena dengan kejadian itu, Valery tidak mungkin akan menganggu Langit.
Dia semakin congkak setelah Erwin memberinya dukungan.
"Bik Parmi, mana kopi untuk Tuan, biar aku yang antar ke kamarnya." ucapnya sambil melirik Alisa yang juga ada di situ.
Hati Alisa merasa sakit juga menyaksikan itu. Hari-hari indah yang di laluinya sebulan terakhir bersama duda keren itu cukup membekas di hatinya.
Alisa tidak bisa menyangkal kalau dirinya mulai jatuh cinta pada Erwin.
"Ternyata sakit rasanya menyimpan perasaan pada seseorang tapi tidak bisa bersamanya. Padahal dia ada di depan mata kita. Tapi, tidak apa, demi Langit, aku harus bertahan." Alisa mengusap sudut matanya.
"Dia tidak tau kalau Erwin juga sedang menyesali semua yang terjadi.
Dia masih terbaring di ranjang walaupun gari sudah terang. hal yang nyaris tidak pernah di lakukannya.
Valery mengetuk pintunya dengan pelan.
karena tidak ada jawaban, dia membuka pintu itu perlahan.
"Ya ampun, Mas.. Kau tidak kekantor hari ini?"
Valery menghampirinya.
"Aku sedang malas." jawab Erwin singkat dari balik selimut.
Valery hanyut dalam kenangan lampau, kamar itu adalah saksi bisu saat dia merasakan bagaimana perkasanya pria di hadapannya itu.
Hampir saja dia menyingkap selimut yang membungkus Erwin.
"Apa yang kau lakukan?" suara Erwin menyadarkannya.
"Maaf, Mas. aku terbawa suasana. Aku lupa dengan status. Kita saat ini." ucapnya tersipu.
Erwin mengangguk lega.
"Aku bawakan secangkir kopi hangat untuk mu."
"Terima kasih.."
Valery melangkah keluar dengan wajah memerah menahan malu.
"Tenaaang Valery... Tidak apa-apa. Dia kaget karena belum terbiasa, tapi lama-lama akan terbiasa juga. kau tau bagaimana pria, mereka tidak akan bisa menahan hasrat yang satu itu. apalagi saat ini hubungannya dengan Alisa sedang bermasalah." Valery menghibur dirinya sendiri.
Erwin sendiri sedang menyesali keadaan.
"Alisa, kenapa kau memaksaku melakukan ini, ini sangat berat buatku.."
Erwin menyeka sudut matanya, ia terbayang hari-hari indah bersama istri kecilnya yang manja itu. Tapi walaupun satu rumah, sekarang mereka di pisah kan oleh jarak.
"Semoga badai ini segera berlalu..." doanya dalam hati.
Valery benar-benar bertingkah. Dia mengobrol alih semua tanggung jawab seakan dia nyonya di rumah itu.
"Bik, hari ini kau masak kesukaan Tuan,yang enak, ya...!" Parmi hanya bengong melihatnya.
Dari dapur dia langsung ke kamar Langit.
"Sus, habis mandiin Langit, pakaikan baju yang ini..." dia meletakkan sweater di ranjang.
Tapi Non Alisa sudah mengambilkan baju yang harus di pakai Den Langit, Nya." jawab Suster.
Valery berbalik badan. Dia menatap Suster dengan bengis.
"Kau berani membantah perintah ku? Kau harus tau, sebentar lagi, akulah nyonya di rumah ini."
Suster tertunduk ketakutan.
Hal itu tidak membuat Valery puas.
Dia hampir saja melayangkan tamparannya. Tapi Alisa datang dan menangkap tangannya.
"Jangan ikut campur. Biar aku beri pelajaran Suster kurang ajar ini." seru Valery.
"Kau tidak berhak mengatur segala sesuatu yang bersangkutan dengan Langit. atau kau akan tau siapa sebenarnya Alisa yang sedang kau hadapi.."
"Kau mengancamku?" Valeri meledeknya.
"Ini bukan ancaman, tapi peringatan.. Kau boleh berkuasa di rumah ini. Tapi tidak di kamar anak ku..!" ucap Alisa tegas.
Valery geram. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Alisa.
"Kau belum tau amarah seorang dari ibu.." timpal Alisa lagi.
Saat itu Erwin datang ketempat itu.
Valery cepat merubah mimik wajahnya menjadi sedih.
"Lepaskan aku.., sakit Alisa..!" rintihnya meringis.
"Lepaskan dia, Alisa...! Ini rumah, bukannya hutan dimana kau bisa berbuat semau mu."
Alisa melepaskan tangan Valery dengan airmata yang menggumpal.
Valery langsung pergi sambil menggerutu.
"Erwin menatap Alisa dengan amarah dan rindu yang membara. Begitupun Alisa. dia hanya bisa pasrah saat pria itu berbalik dan meninggalkannya tanpa bersuara satu patah katapun.