Lea Miranda tak pernah menyangka, di usia pernikahannya yang Ke 12 tahun, ia mendapatkan ujian yang begitu berat. Yaitu, dikhianati oleh suami dan sahabatnya sendiri, Arya Dan Chelsea.
Awalnya, Lea memutuskan untuk bercerai dan merasa tak sudi melihat suami dan sahabatnya itu ketika mengetahui perselingkuhan mereka. Namun, ia berubah pikiran ketika teringat bagaimana ia dan Arya membangun rumah tangga, dan bagaimana mereka berjuang dari nol hingga mereka berada di titik yang sekarang.
Akhirnya, kini Lea memilih merebut suaminya kembali. Ia bertekad akan kembali membuat Arya bertekuk lutut di hadapannya dan menghempaskan Chelsea dari hidup mereka.
Bisakah Lea melakukan itu?
Bagaimana caranya ia merebut kembali suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkySal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama Masih Berlanjut
"Kamu capek ngurus anak-anak, ya? Lebih gampang cari uang 'kan dari pada mengurus mereka?"
Arya tak bisa menjawab pertanyaan Lea, meskipun jawabannya tentu saja 'iya'.
Lea menghela napas berat, ia pun menarik tangan Arya dan membawa suaminya itu duduk di ranjang.
"Mas Arya!" Lea menggenggam tangan suaminya itu sambil tersenyum lembut. "Aku mohon sabar sebentar, ya." Ia meminta dengan nada yang sangat lembut nan manis.
"Aku sudah tandatangan kontrak, aku nggak mungkin berhenti gitu aja, Mas, kamu pasti faham aturan bekerja, kan?"
Arya hanya bisa membuang napas kasar, bahkan ia menarik tangannya dari tangan Lea, dan ia membuang pandangannya dari Lea.
"Aku tahu kamu capek," kata Lea masih dengan sangat lembut. "Aku juga dulu merasa capek banget, Mas, aku juga pengen ngeluh sama kamu. Tapi saat aku melihat wajah kamu saat kamu tertidur lelap, aku nggak jadi ngeluh karena aku tahu kamu pasti capek juga bekerja di luar," papar Lea panjang lebar yang seketika membuat Arya kembali menatapnya.
"Aku juga pengen marah sama-sama anak saat mereka rewel dan nakal, menjadi ibu rumah tangga itu capek lahir batin, Mas, tapi saat aku melihat mereka tersenyum dan tertawa, lelehku jadi hilang." Lea melanjutkan sambil tersenyum hangat.
Arya tak menanggapi apa yang Lea ungkapkan, tapi ia mulai memikirkan Kata-kata istrinya itu. Dan Arya tahu itu benar, ia pun juga selalu ingin marah pada mereka, tapi saat melihat mereka tersenyum dan tertawa, Arya seperti mendapatkan obat penghilang lelah.
"Kamu sabar sebentar, ya. Kontrak kerjaku cuma dua tahun kok," kata Lea.
"Cuma dua tahun?" pekik Arya dengan mata yang melebar.
"Iya, kenapa?" tanya Lea sembari beranjak dari ranjang, kemudian ia menghapus make up-nya di meja rias.
"Apa aku harus nggak kerja selama dua tahun?" ketus Arya.
"Ya bukan begitu juga kali, Mas!" kekeh Lea. "Kamu bisa kerja kapan pun dapat pekerjaan."
"Lalu siapa yang akan mengurus Darrel dan Jihan?" Arya mendekati Lea, ia menatap wajah istrinya itu yang terlihat tetap cantik meskipun make up-nya sudah dihapus.
Dalam hati Arya bertanya, kenapa ia baru sadar istrinya itu masih sangat cantik padahal sudah melahirkan dua anak. Usianya juga tidak lagi muda, tapi potongan rambut Lea yang hanya sebahu itu membuat penampilan Lea seperti anak muda.
"Minggu depan Bibi balik kerja, Mas, aku juga akan mencari baby sitter untuk Jihan kalau memang kamu dan Chealse nggak bisa mengurus Jihan."
"Bukan nggak bisa," bantah Arya meskipun dengan ragu.
"Mas?" Tiba-tiba Lea menatap Arya dengan serius. "Sudah seminggu lebih Chelsea di sini, gimana? Apa anak-anak nyaman sama dia? Soalnya ... kata Darrel kadang dia kasar." Lea berkata dengan suara rendah di akhir kalimat, tapi sorot matanya cukup tajam.
Sementara Arya tidak tahu harus berkata apa.
"Kalau memang Darrel salah, ya ngga apa-apa dia dimarahin tapi ada batasnya," kata Lea lagi. "Tapi kalau hanya karena hal sepele anakku di bentak, aku nggak terima, Mas, Darrel bukan anak yang nakal kok. Aku tahu dia bisa di nasihatin baik-baik, dan aku nggak pernah bentak mereka. Anak itu kalau dibentak akan melawan sama kita, kalau disayang, bicara baik-baik, pasti nurut."
"Aku tahu," sahut Arya lirih. "Chelsea mungkin hanya belum terbiasa mengurus mereka."
"Makanya aku kasih dia kesempatan biar anak-anak terbiasa sama dia, bagaimana pun dia akan jadi ibunya," tukas Lea dengan dingin, dan sama sekali tidak ada ketulusan di mata wanita itu.
"Dan kalau terjadi sesuatu sama aku, atau aku meninggal nanti, maka yang akan jadi tempat bersandar Darrel dan Jihan ya ibu keduanya-Chelsea. Iya, kan?"
"Lea!" Arya tiba-tiba langsung memeluk Lea. "Jangan bicara tentang kematian, kami nggak akan sanggup kehilangan kamu," ucap Arya dengan tulus.
Lea memegang lengan Arya yang memeluknya, ia mengusap lengan suaminya itu dengan lembut kemudian berkata, "Kamu bisa kok hidup tanpa aku, buktinya kamu bisa melabuhkan hati kamu ke Chelsea. Jadi, kalau aku pergi masih ada Chelsea yang akan jadi teman hidup kamu."
"Jangan berkata begitu," lirih Arya. Meskipun ia sendiri mulai bertanya-tanya, kenapa ia bisa melabuhkan hatinya pada Chelsea?
Arya tahu ia masih sangat mencintai Lea, tapi ia ... terjebak dalam rasa nyaman yang disuguhkan oleh Chelsea.
"Oh ya, sebenarnya aku... aku mau bilang kalau aku harus ikut Farel ke luar kota," ujar Lea kemudian yang seketika membuat Arya terbelalak. "Besok pagi berangkat, mungkin hanya 2 atau tiga hari."
"Lea?" Arya langsung merengek, antara kesal, marah, dan dan berbagai perasaan lainnya menyatu dalam hatinya.
Sementara Lea justru terkekeh melihat reaksi Arya itu.
"Mas, besok itu sabtu, besoknya lagi minggu. Chelsea libur 'kan? Kalian berdua bisa bekerja sama menjaga Darrel dan Jihan," saran Lea. "Dan satu hal lagi, Chelsea itu wanita dewasa, dia seharusnya bisa menjaga anak. Dan aku sampai merestui kalian menikah itu demi anak-anak kita loh, masa kamu mau istri kamu nggak sayang sama dan nggak bisa mengurus anak kamu, Mas?"
Arya membuang napas kasar, ia tampak sangat kesal dengan keputusan Lea tapi ia tidak bisa berkata apa-apa.
...🦋...
Akhir minggu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi Chealse, apalagi setelah seminggu dia berikut dengan pekerjaan.
Namun, hari tenang, hari bersenang-senang atau hari istirahat yang Chealse bayangkan hanya lah harapan semata.
Pagi-pagi buta Lea sudah pergi ke luar kota, bahkan saat Darrel dan Jihan masih tidur.
Alhasil, ketika dua bocah itu bangun tidur, Chelsea yang harus mengurus mereka, sementara Arya masih belum juga keluar dari kamarnya.
"Tante Chil, Darrel lapar," rengek Darrell.
"Jihan mau mandi, Tante Chill!" teriak Jihan sambil menggaruk kepalanya.
"Sabar, ya, sabar!" seru Chelsea yang kini memanggang roti.
"Tente, Jihan mau pup!" rengek Jihan sambil memegang perutnya.
"Iya, tunggu sebentar, Sayang," pinta Chelsea.
"Tante Chill, susunya mana? Darrel biasanya minum susu setiap pagi!" ujar Darrel.
"Sabar dong, Darrel, Tante lagi siapin satu-satu ini!" ujar Chelsea yang berusaha tenang.
Sejujurnya, ia sudah sangat pusing dan ingin sekali memarahi Darrel yang tidak bisa diam dan sabar, padahal menurut Chelsea anak itu sudah besar dan bisa mengerti. Namun, Chelsea mencoba menahan diri. Karena jika Arya tahu dia marah pada anak-anaknya, hubungan mereka bisa semakin renggang.
Roti untuk sarapan sudah siap, dan kini Chelsea membuat susu untuk dua bocah itu.
"Tante, susu Darrel dan Jihan itu beda!" seru Darrel karena Chelsea membuatkan susu yang sama untuk mereka.
"Ah, sama saja," sahut Chelsea.
"Nggak, Tante, Jihan nggak suka susu Darrel, Jihan suka yang cokelat," papar Darrel, tapi Chelsea enggan menanggapi ucapan bocah itu.
"Ayo, kalian sarapan dulu. Nanti Jihan mandi setelah sarapan, ya."
Jihan mengangguk, ia pun meminum susunya tapi kemudian ia mendorong gelasnya itu menjauh saat menyadari itu bukan susu yang biasa dia minum.
"Itu bukan susu Jihan!" seru Jihan.
"Sama aja, Jihan, ini juga enak." Chelsea mengambil gelas itu dan memaksa Jihan meminumnya. "Coba dulu, Sayang."
Jihan menutup mulutnya rapat-rapat, ia juga menggelengkan kepalanya. Namun, Chelsea justru mengambil sendok, kemudian ia memegang pipi Jihan.
"Coba dulu, ini juga enak," kata Chelsea yang masih memaksa Jihan minum susu menggunakan sendok.
Mau tak mau Jihan membuka mulutnya, dan ia meminum susu itu meskipun sambil menangis.
"Tante Chill, jangan begitu!" teriak Darrel cemas, bahkan bocah itu sudah akan menangis melihat Jihan yang dipaksa seperti itu.
"PAPA!!!" Darrel berteriak lantang memanggil ayahnya.
"Darrel, apa sih?" tegur Chelsea.
"Jihan, jangan nangis, Sayang." Ia mengusap air mata Jihan. "Tante bukannya mau bikin Jihan sedih, Tante cuma mau Jihan tahu susu itu juga enak," ucapnya dengan lembut.
Namun, Jihan justru semakin menangis.
"HUUUAAAA!"
"Papa!"
"Mama!"
Chelsea panik karena Jihan menangis semakin kencang
"Jangan menangis, Jihan!" desis Chelsea. Namun, bocah itu seolah tak mendengar. Hingga tanpa sadar Chelsea mencubit paha Jihan. "Mau berhenti menangis atau tidak?"
"CHEALSE!"