HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Perasaan ini tak pernah Ibra rasakan sebelumnya. Gugup dan takjub yang berbeda, pria itu terdiam kala mempelai wanita berjalan ke arahnya dengan didampingi Siska dan Lorenza.
Kecantian Kanaya beratus kali lipat di mata Ibra, entah mengapa dunianya justru mendapat kejutan seluarbiasa ini. Ibrahim Megantara, untuk pertama kalinya mata itu mengembun kala menatap seorang wanita.
"Ya, Tuhan, apa benar dia istriku?"
Kekaguman Ibra berbeda, entah karena di dalam diri Kanaya ada kehidupan lain atau memang dirinya menginginkan Kanaya apapun keadaannya.
Kebaya putih, sesuci manik indahnya yang Ibra percayakan pada teman-teman Kanaya. Meski sempat perang batin bersama Siska dan Lorenza, pada akhirnya mereka bedualah yang berperan sebagai keluarga Kanaya.
Tidak ada kekurangan di wajah wanita ini, lagi-lagi Ibra terpesona pada wanita yang sebentar lagi akan menjadi miliknya.
"Tenang, Tuan," tutur Gavin mengingatkan, tampaknya kegugupan Ibra terlalu kentara dan membuat pria itu mendapat perhatian khusus dari Gavin.
Ibra mengangguk, ekor matanya terus saja menantikan Kanaya yang sejak tadi belum tiba di sisinya. Lama sekali, ternyata benar jalan pengantin lebih lama dari siput sakit, pikir Ibra.
Jantungnya kini lebih berdebar lagi, kala Kanaya sudah duduk di sisinya, Ibra merasa pasokan udara di tempat ini seakan tak cukup untuknya.
"Bagaimana, sudah bisa kita mulai?" Penghulu di hadapannya membuka pembicaraan, dan Ibra lagi-lagi hanya mengangguk pelan.
Tangannya dingin, padahal selama 29 pria itu belum pernah merasakan hal sedemikian rupa sebelumnya.
Kanaya sekilas menatap calon suaminya, sejak tadi Ibra tampak tegang dan berusaha mengatur dirinya. Dan itu bukan dirasakan Ibra seorang, melainkan Kanaya juga.
Wali hakim, alangkah sakitnya hati Kanaya kala yang menjabat tangan calon suaminya adalah orang lain ssmentara kedua kakak kandungnya masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja.
Penolakan Abygail dan Adrian tak ada penawaran, keduanya benar-benar enggan tak peduli bagaimanapun Mahatma meminta mereka untuk berpikir sebelum mengambil keputusan kala itu.
"Saudara Ibrahim Megantara saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Kanaya Alexandra binti Iman Chandrawyatama dengan mas kawin cincin berlian 1,689 gram dan uang tunai senilai 260.000 USD dibayar tunai!!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Alexandra binti Iman Chandrawyatama dengan mas kawim cincin berlian 1,689 gram dan uang tunai senilai 260.000 USD dibayar tunai."
Dalam satu tarikan napas dan Ibra melakukannya sekali tanpa kesalahan. Pria itu menghela napas lega sembari memejamkan mata ketika dia mampu mengucapkannya tanpa jeda.
"Bagaimana para saksi, Sah?"
"SAH!!"
Detik dimana Ibrahim Megantara berhasil mengikatnya dalam lingkaran suci. Tanpa perintah, pria itu mendaratkan kecupan hangatnya di kening Kanaya. Kecupan yang bukan pertama kali, namun Ibra tetap merasakan getaran tak terkira kala keduanya bersentuhan.
"Terima kasih, Kanaya," batin Ibrahim enggan melepaskan kecupannya, rasanya masih tak percaya dia berada di posisi yang tak pernah dia bayangkan sama sekali.
-
.
.
.
Mahar di luar nalar, bukan hanya para tamu undangan dari pihak luar saja yang menganga. Siska dan Lorenza bahkan tak percaya jika mahar yang Ibra berikan akan sebesar itu.
"Za, nggak salah denger kan?" bisik Siska bahkan susah payah menyesuaikan napasnya.
"Enggak, Siska ... sudah kuduga mas Ibra bukan orang sembarangan, Crazy rich ibu kota ini mah!!" seru Lorenza tak kalah terkejutnya.
260.000 USD, bukan rupiah, siapapun tentu akan terfokus dengan jumlah maharnya. 1600 tamu undangan, gedung mewah dan ini baru akad, belum resepsinya Gavin persiapkan dengan matang.
"Kenapa berasa nggak mungkin ya, Za."
"Ya apaan dah, udah jelas depan mata 260.000 USD tunai!! Dan kamu lihat sendiri gimana mereka setelah mendengar mahar yang mas Ibra ucapkan," tutur Lorenza benar-benar merasa bahwa ini adalah kegilaan paling luar biasa.
Mungkin-mungkin saja sebenarnya, tapi mereka tidak akan mengira jika Ibrahim menunjukkan berapa tebal dompetnya. Untuk siapa dia perlihatkan sebenarnya, yang jelas Ibra melakukannya demi membuat Kanaya merasa jika dirinya memang berharga.
Di antara para tamu, terdapat senyum bahagia seorang Mahatma menyadari gadis kecil yang dulu kerap mengaduh sakit padanya dan memanggil papa meski bukan darah dagingnya tengah tersenyum haru di sisi pria yang memilihnya.
"Pa, pulang."
Berbeda dengan putri kandungnya, Khaira merasa menyesal nekat ikut ke tempat ini. Iri? Tentu saja, bahkan di saat seperti ini Khaira merasa Kanaya lagi-lagi mengalahkannya.
"Pulang? Kakakmu baru selesai akad pulang bagaimana?" Mahatma benar-benar tak suka dengan sikap putrinya, tak hanya putrinya yang begini, kedua putra dan istrinya juga sama.
"Iyaa pulang," jawab Khaira singkat, hendak beranjak dan meninggalkan tempat ini.
"Tidak ada yang boleh pulang!! Bersyukur Ibra masih ingat kalian setelah semua yang terjadi pada Kanaya." Rahang Mahatma mengeras, dia tak pernah marah jika belum kelewatan, untuk kali ini dia harus tegas.
"Papa jangan keras-keras," desis Abygail menatap sekelilingnya khawatir, sungguh dia benar-benar khawatir semua pandangan tertuju pada mereka.
Adrian sejak tadi terdiam, wajahnya merah padam sembari terus mengalihkan fokusnya ke telepon agar tak terlalu malu. Entah kenapa saat ini dia merasa dipeluk rasa yang tak bisa ia defenisikan.
Tak hanya Adrian, Gibran jangan ditanya. Pria itu mencuri pandang pada Kanaya yang tengah duduk sebegitu manisnya di sisi Ibra. Menyesal tentu saja, pria itu hendak berontak rasanya.
"Kalian yang diam!! Bisa kan tenang dulu," ucap Mahatma tak peduli walau Abygail memintanya untuk diam.
"Khaira tolong ikuti Papa, jangan membantah dulu," titah Abygail berharap Khaira tenang, karena memang anak itu yang membuat ulah sehingga Mahatma kesal luar biasa.
TBC
Gimana puas? Kasih hadiah kawinan kalau puas, harini aku libur jadi double crazy up (6 eps) Semoga bisa ya sampe malem.