Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# BAB 4: KIREINA LARASATI, WANITA YANG SEHARUSNYA JADI ISTRI
Tiga hari udah berlalu sejak malam pertama itu.
Tiga hari Alviona mengurung diri di kamar tamu lantai dua—kamar yang kata Daryon "kamarnya." Kamar yang dingin, steril, kayak kamar rumah sakit. Gak ada dekorasi. Gak ada kehangatan. Cuma tempat tidur single, lemari kecil, dan jendela yang ngeliatin taman luas yang sepi.
Tiga hari dia cuma keluar buat ke kamar mandi. Tiga hari dia makan dikit banget—cuma beberapa suap—karena tenggorokannya kayak kesumbat setiap kali dia coba nelan makanan.
Lebam di tubuhnya mulai memudar. Tapi yang di dalam... masih utuh. Masih sakit.
Daryon? Gak pernah muncul lagi sejak pagi itu. Gak pernah ketuk pintu. Gak pernah tanya kabar.
Kayak Alviona beneran cuma barang yang udah dipake, terus disimpen, dilupain.
---
Sore itu, Alviona akhirnya nekat keluar kamar. Bukan karena pengen. Tapi karena dia butuh minum, dan air di kamarnya udah habis.
Dia turun tangga pelan-pelan, langkahnya hati-hati, masih berasa sakit di beberapa bagian tubuh. Dia pake kaos putih oversized dan celana panjang—baju paling simpel yang bisa nutupin semua bekas luka di tubuhnya.
Mansion sepi. Cuma terdengar suara pelayan di dapur yang lagi beberes sesuatu.
Alviona jalan ke arah dapur—tapi tiba-tiba...
Suara tawa.
Tawa perempuan yang merdu, riang, familiar banget dengan rumah ini.
Alviona berhenti.
"Daryon, kau ini... masih saja begitu..."
Suara itu datang dari ruang tamu.
Alviona melangkah pelan, ngintip dari balik dinding.
Dan dia melihat...
Daryon.
Duduk di sofa panjang, setelan kantor masih rapi, tapi posturnya santai. Dan di sampingnya—terlalu deket—duduk seorang wanita.
Wanita yang cantik banget.
Rambut panjang terurai halus, wajahnya sempurna kayak model majalah, kulitnya putih bersih, bibir merah merona, tubuhnya proporsional dengan dress merah elegan yang pas banget di tubuhnya. Dia duduk dengan anggun, satu kaki dilipat di atas kaki lainnya, tangannya... menyentuh lengan Daryon sambil ketawa kecil.
Alviona gak pernah ngerasa sejelek ini.
"Kau keterlaluan, sayang," ucap wanita itu manja, suaranya lembut tapi penuh percaya diri. "Sudah seminggu kau tidak menghubungiku."
Daryon tersenyum tipis—senyum yang gak pernah dia kasih ke Alviona.
"Aku sibuk, Kireina."
Kireina.
Nama itu asing, tapi entah kenapa terasa... penting.
"Sibuk dengan apa? Atau... sibuk dengan siapa?" Kireina nyeletuk dengan nada menggoda, tapi matanya... tajam. "Kudengar kau sudah menikah."
Daryon gak jawab langsung. Dia cuma minum kopinya pelan.
"Itu cuma formalitas."
"Formalitas?" Kireina nyengir tipis. "Kau menikahi gadis itu, Daryon. Bukankah itu lebih dari sekadar formalitas?"
"Kau tau kenapa aku menikah dengannya." Daryon natap Kireina datar. "Keluargaku butuh 'citra.' Dan keluarganya butuh uang. Simple."
Kireina ketawa—ketawa yang terdengar merdu tapi mengejek.
"Kasihan gadis itu. Menikah dengan pria yang bahkan tidak mencintainya."
"Sama seperti aku tidak mencintainya," jawab Daryon enteng, tanpa beban. "Dia tau dari awal ini cuma kontrak."
Kireina tersenyum puas. Tangannya naik, menyentuh pipi Daryon dengan lembut—sentuhan yang intimate, familiar.
"Kau tetap milikku, kan?"
Daryon gak jawab. Tapi dia juga gak nolak.
Dan Kireina mencium pipinya—lama, posesif—sambil berbisik sesuatu yang bikin Daryon tersenyum tipis lagi.
Alviona gak bisa ngeliat lebih lama lagi. Dadanya sesak. Napasnya pendek-pendek. Dia mau mundur—
KREK.
Lantai parket berbunyi.
Kireina langsung noleh. Matanya—mata tajam berwarna cokelat terang—langsung menemukan Alviona yang berdiri canggung di balik dinding.
"Oh?" Kireina berdiri anggun, senyumnya melebar. "Sepertinya ada tamu kecil."
Daryon noleh. Wajahnya datar, gak ada ekspresi apapun waktu ngeliat Alviona.
Gak kaget. Gak bersalah. Gak peduli.
Kireina berjalan anggun ke arah Alviona—langkah kakinya smooth, tubuhnya tegak penuh percaya diri. Dia berhenti tepat di depan Alviona, tingginya sedikit lebih tinggi karena pake heels.
Alviona cuma bisa berdiri kaku, gak tau harus ngapain.
"Jadi kau... Alviona Mahira Prasetya?" Kireina natap Alviona dari atas sampai bawah—perlahan, menilai, meremehkan.
Alviona gak bisa jawab. Suaranya hilang.
Kireina tersenyum tipis—senyum yang keliatan manis, tapi matanya... dingin banget.
"Manis sekali..." ucapnya pelan, nada suaranya kayak lagi ngomong sama anak kecil. "Masih anak-anak."
Kalimat itu ditusuk kayak pisau.
"Kireina," panggil Daryon dari sofa, nada suaranya datar. "Sudah cukup."
"Aku hanya menyapa istrimu, sayang." Kireina noleh ke Daryon sambil senyum, terus balik lagi ke Alviona. "Dia istrimu kan? Aku harus sopan."
Tapi gak ada kesopanan di mata Kireina. Cuma penghinaan.
Kireina melangkah lebih deket—terlalu deket—sampai Alviona bisa ngerasain parfumnya yang mahal dan mewah. Dia membungkuk sedikit, berbisik pelan tepat di telinga Alviona:
"Dia mungkin menikahimu, tapi setiap malam... dia membayangkan wajahku."
Bisikannya lembut. Tapi kata-katanya kayak racun yang langsung nyebar ke seluruh tubuh Alviona.
Kireina mundur, tersenyum lagi—senyum menang—terus balik ke Daryon.
"Aku pergi dulu, sayang. Ada acara malam ini." Dia nyium pipi Daryon lagi—di depan Alviona—tanpa rasa malu sedikit pun. "Telepon aku nanti malam, ya?"
Daryon cuma ngangguk kecil.
Dan Kireina pergi dengan anggun, high heels-nya berbunyi di lantai marmer, meninggalkan aroma parfum mahal yang menguar di udara.
Pintu mansion tertutup.
Keheningan menggantung berat.
Alviona masih berdiri di situ, tubuhnya kaku, napasnya pendek-pendek. Tangannya mengepal erat.
Daryon berdiri dari sofa, membereskan jas-nya dengan santai, kayak gak ada yang salah.
"Kau dengar dari tadi?" tanyanya datar, tanpa noleh ke Alviona.
Alviona gak jawab. Dia gak bisa.
"Kireina Larasati. Dia... teman lama." Daryon akhirnya noleh, tatapannya dingin. "Dan kau gak perlu tau lebih dari itu."
Dia jalan melewati Alviona—gak peduli, gak lirik—menuju tangga, mungkin mau ke kamarnya.
Tapi sebelum dia naik tangga, Alviona akhirnya nemuin suaranya.
"Dia... selingkuhanmu?"
Suaranya pelan. Hampir berbisik. Tapi cukup keras buat Daryon denger.
Daryon berhenti. Gak noleh.
Keheningan sebentar.
"Itu bukan urusanmu."
Dan dia naik tangga, meninggalkan Alviona sendirian di ruang tamu yang dingin.
---
Malam itu, Alviona gak bisa tidur.
Dia rebahan di tempat tidur kecilnya, natap langit-langit putih yang polos, pikiran berkecamuk.
*"Dia mungkin menikahimu, tapi setiap malam dia membayangkan wajahku."*
Kalimat Kireina terus berputar di kepala.
Terus.
Terus.
Terus.
Sampai Alviona ngerasa sesak. Sampai air matanya keluar lagi—tapi kali ini diem. Gak ada isak tangis.
Cuma air mata yang jatuh ke bantal.
Dia memeluk lututnya, tubuhnya meringkuk kecil di tempat tidur yang terlalu luas buat dirinya yang terasa... terlalu kecil di dunia ini.
Besok, dia harus bangun lagi.
Besok, dia harus hidup lagi di mansion ini.
Di mansion yang ada Daryon.
Di mansion yang Kireina bisa datang sesuka hati.
Di mansion yang dia... bukan siapa-siapa.
Cuma bayangan.
Cuma pengganti.
Cuma istri palsu.
---
**[ END OF BAB 4 ]**
---
#