Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. TIDAK NYAMAN
Pagi di kediaman Morelli berjalan seperti biasa; riuh, hangat, dan selalu berakhir dengan salah satu dari dua hal: Hans menggoda Elena sampai wanita itu mendelik kesal, atau Theo berlari-lari sambil tertawa karena merasa menang dari kedua orang dewasa itu. Dan pagi ini ... ya, semuanya terjadi sekaligus.
Elena memasukkan berkas-berkas yang tadi pagi dibutuhkan Hans ke dalam tas jinjing kulit cokelat muda miliknya, sambil sesekali mendengar Hans mengomel pada Theo karena bocah itu memakai dasi Hans seperti syal superhero.
Theo berputar-putar di ruang keluarga. "Lihat, Mama! Aku seperti pahlawan super yang siap terbang!"
Hans menghela napas panjang. "Kau lebih terlihat seperti pahlawan super yang siap diculik karena memakai dasi mahal Papa seperti kain lap."
"Elena," Hans menoleh pada istrinya, "tolong katakan pada anakmu ini bahwa dasi itu harganya tidak masuk akal hanya untuk dijadikan kostum superhero."
Elena menahan tawa sambil mengancingkan kemeja putih tipis suaminya yang dipadukan dengan setelan jas dan celana hitam elegan, memberi Hans aura profesional dan berkharisma.
"Theo, Sayang ... jangan pakai dasi Papa ya. Dia bisa pingsan nanti," kata Elena.
"Aku tidak akan pingsan," gerutu Hans sambil meloncat kecil mencabut dasinya dari leher Theo, "tapi aku bisa mati mendadak kalau dia membuat dasi mahal terseret ke kolong sofa lagi."
Theo hanya tergelak, lalu kabur ke kamar mandi sambil berteriak, "Papa cerewet!"
Hans menatap anak itu dengan wajah tak percaya. "Dia benar-benar anakmu."
Elena menyipitkan mata. "Anakmu juga , Hans."
Pria itu mendekat, mencolek ujung hidung Elena lembut. "Kalau marah seperti ini, aku suka sekali."
"Pergi sana, kah harus menafkahiku," canda Elena seraya mendorong dada Hans, tapi sudut bibirnya tidak bisa berhenti naik.
Hans tertawa kecil lalu mengecup kening istrinya sebentar sebelum mengambil jaket kerja.
"Aku pergi dulu, Love," ucap Hans.
Namun saat pria itu hendak keluar pintu, Elena menemukan sebuah map biru tergeletak di sofa. Ia membukanya, dan langsung teringat Hans sempat mencarinya pagi tadi.
"Hans! Kamu butuh ini, kan?" kata Elena mengingatkan.
Hans berhenti di ambang pintu, menoleh, dan mendekat. Ia menatap map itu lalu memijat pelipis. "Astaga ... iya. Itu sangat penting. Bagaimana aku bisa lupa?"
"Karena tadi sibuk bertengkar dengan Theo tentang dasi," ujar Elena datar.
Hans mendelik seolah ingin membantah, tapi akhirnya angkat tangan. "Baik. Itu masuk akal."
Elena menggeleng sambil terkekeh. "Ya sudah, kau pergi saja ke kantor. Aku dan Theo nanti menyusul ke sana. Bocah itu harus dijinakkan dulu."
Hans menatap Elena lama, senyum hangat muncul di wajah pria yang setengah dunia takut padanya.
"Hati-hati di jalan nanti," ucap Hans lembut.
"Kau juga," balas Elena dengan senyumnya.
Dan hari mereka pun dimulai.
Elena harus mengurusi Theo yang seakan memiliki energi tidak habis-habisnya. Namun tawa san rasa bahagia Elena tertuang setiap saat bersama Theo. Tidak peduli seberapa nakal seorang anak, tetap saja itu jadi kebahagiaan seorang ibu merawat mereka. Dan Elena bersyukur ia diberi kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan ini.
Sampai akhirnya Elena dan Theo berangkat ke kantor Hans untuk janji makan siang mereka di sebuah restoran italia favorit Hans dan Elena.
Ia berkendara dengan santai sambil mendengarkan celotehan Theo yang penuh dengan tanya dan tinggi rasa penasaran. Namun Elena meladeni dna menjawab semua pertanyaan Theo dengan cukup baik.
Kantor Morelli Corp. tampak megah seperti biasa, bangunan tinggi dengan kaca hitam yang memantulkan cahaya matahari. Mobil Elena berhenti tepat di depan lobi. Begitu ia turun, semua mata otomatis tertuju padanya.
Elena, dengan gaya sederhana tapi elegan, berjalan masuk bersama Theo yang sejak tadi tak berhenti mengagumi gedung itu.
"Wah ... Mama, kantor Papa masih besar seperti biasa!" seru Theo dengan suara yang nyaring dan polos.
Beberapa resepsionis tertawa kecil melihat kelucuan bocah itu. Mereka menyambut Elena dengan begitu ramah. Dan dibalas senyum dengan Elena, tatapan tak lepas dari Elena, terpana.
Bukan karena mereka tidak pernah melihat wanita cantik. Tapi karena Elena Morelli, seperti yang semua orang tahu, adalah sosok yang pernah hampir hancur oleh skandal Raven Wattson. Semua kantor ini tahu kabar tentang masa lalunya, tentang fitnah yang kejam, tentang rumor kemandulan yang pernah jadi bahan gosip murah para pekerja industri.
Dan sekarang?
Wanita itu tetap berdiri tegak dengan aura yang membuat mereka semua terdiam.
Cantik. Dewasa. Lembut tapi tegas. Elegan tanpa perlu ekspresi berlebihan. Sama seperti sang Elena Alvarez yang menjadi perbincangan di kalangan bisnis; cantik dan cerdas.
Tentu saja ada yang mencoba sarkas atau bisik-bisik di belakang. Tapi Hans Morelli, CEO mereka sudah memeringatkan bahkan mengancam semua orang yang kedapatan mencibir Elena.
"Sebut satu kata buruk tentang istri saya ... bahkan sepatah kata 'mandul' yang terucap hanya dalam gumaman, dan hidup kalian akan berakhir dengan cara yang membuat kalian menyesal seumur hidup," kata Hans pada rapat internal
Itu bukan ancaman kosong, dan semua orang tahu itu. Hans salah satu orang yang ditakuti di dunia bisnis, karena siapa pun yang membuat Hans marah maka tidak ada tempat di Los Angeles yang akan menerima mereka bekerja bahkan untuk sekedar jadi penjaga toko swalayan.
Karena itu, setiap tatapan hari ini hanya berisi kekaguman, atau paling tidak, penghormatan untuk seorang Elena.
Elena tidak menyadari hal itu. Ia sibuk menggandeng tangan Theo yang memutari lobi seperti anak ayam lepas kandang.
"Mama! Ada air mancur kecil di dalam gedung! Aku mau lihat!"
Elena terkekeh. "Nanti, Sayang. Sekarang kita harus ke lantai atas dulu. Papa menunggu."
Mereka naik lift. Theo sibuk menekan tombol angka dan menggedikkan kakinya karena tidak sabar.
Begitu pintu lift terbuka, lantai eksekutif menyambut mereka dengan aroma kopi mahal dan ruangan putih elegan yang sunyi.
Beberapa karyawan yang lewat langsung menunduk sopan. "Selamat datang, Mrs. Morelli."
Elena hampir tersedak. Ia belum terbiasa dipanggil begitu. Namun ia membalas sapaan mereka dengan ramah.
Theo melambai pada semua orang seperti selebriti kecil, membuat beberapa staf tersenyum tidak bisa menahan gemas.
Di depan ruangan Hans, Elena terpaku sejenak.
Sekertaris Hans, wanita muda berambut pirang dengan kemeja krem ketat dan rok yang terlalu pendek untuk kantor seformal ini, sedang berdiri sambil membawa beberapa berkas.
Dan Elena menangkap sesuatu yang aneh.
Wanita itu terlalu condong pada Hans.
Terlalu dekat.
Terlalu manis suaranya ketika berbicara.
Elena mengangkat sebelah alis. "Oh? Jadi begitu, ya," gumamnya pelan.
Theo tiba-tiba memekik, "Papa?!"
Hans yang sedang menerima berkas langsung menoleh. Dan seketika, wajah dingin bisnisnya runtuh, digantikan senyum hangat yang hanya Elena dan Theo bisa dapatkan.
Sekertaris itu memalingkan wajah sebentar, sedikit terlihat tidak senang karena suasana manis itu.
"Elena? Theo?" Hans berdiri, suaranya berubah lembut. "Masuklah, kenapa berdiri di sana saja."
Sekertaris itu menunduk sopan. "Saya permisi, Mr. Morelli."
Sekertaris itu berjalan melewati Elena sambil tersenyum singkat.
Terlalu manis.
Terlalu sopan.
Terlalu ... dibuat-buat.
Elena mengamati langkah wanita itu, tidak melepas pandangan hingga pintu tertutup.
Hans mengernyit. "Ada apa dengan wajah itu?"
Elena memeluk tasnya, memasang wajah datar. "Aku tadi melihat serangga."
Hans langsung tegang. "Serangga? Di ruangan ini?"
"Iya," jawab Elena.
"Aku akan minta OB membasmi seluruh lantai kalau perlu." Wajah Hans begitu serius sampai Elena ingin tertawa.
Elena mencebik. "Tidak usah. Sudah menghilang."
Hans tidak paham, tapi ia tidak memaksa. Ia mengangkat Theo dan mendudukkannya di sofa.
"Sekarang," ujar Hans sambil memeluk Elena, "apa kita pergi sekarang, Love?"
Elena mengambil sesuatu dari tasnya menyerahkan map kepada Hans. "Sebelum itu ... ini tertinggal."
Hans memelototkan mata. "Astaga ... kau penyelamat hidupku."
"Sudahlah," ujar Elena sambil mendorong dadanya, "jangan dramatis."
Hans terkekeh, lalu mencium pelipis Elena cepat-cepat, membuat wajah wanita itu memerah.
Theo berseru, "Papa, Mama malu!"
Elena menepuk paha Hans. "Sudah, jangan goda aku di kantor."
Hans tersenyum seperti anak nakal. "Kalau begitu nanti saja di rumah."
Elena memukul lengan Hans dan dibalas tawa pria itu.
Hans membersihkan mejanya sebentar lalu berkata, "Kalau begitu ayo kita makan siang. Aku sudah muak dengan tumpukan berkas itu."
Theo langsung melompat dari sofa. "THEO SETUJU!"
Hans tertawa kecil. "Tentu saja kau setuju, Little Devil."
Elena tersenyum hangat melihat Hans dan Theo yang berujung adu mulut.
Rumah tangga mereka mungkin penuh pertengkaran kecil setiap hari. Namun cinta di dalamnya tidak pernah goyah.
Benar, 'kan?
kalo aku di depa Hans : Hans itu di gendong bukan malah dituntun woyyy, udah kesakitan itu paokkk, kapan sampe rumah sakit nya kalo di tuntun begitu, biar tambah bingung Hans nyaa 🤣🤣🤣
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
bab ini aku terhura 🥹
mirisnya hidup mu.