"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Gigitan dari sungai air mata
Salah satu wajah di dalam sungai itu tiba-tiba melompat keluar dan menggigit pergelangan kaki Baskara dengan sangat kencang. Rasa sakit yang tajam seperti ditusuk ribuan jarum panas merambat naik melalui pembuluh darahnya hingga membuat seluruh tubuhnya kaku seketika.
Baskara menunduk dan melihat wajah yang menggigitnya memiliki mata yang sudah memutih tanpa kelopak serta kulit yang terkelupas berantakan. Ia berusaha mengibaskan kakinya namun mahluk itu justru semakin dalam menancapkan taringnya yang hitam dan berbau busuk secara terus-menerus.
Darah segar mulai mengucur dan menetes ke dalam aliran sungai yang penuh dengan jiwa-jiwa kelaparan yang sedang menunggu giliran mereka. Arini tetap berdiri tenang di ujung jembatan tanpa sedikit pun berniat untuk menolong rekannya yang sedang bertaruh nyawa.
"Arini, tolong aku! Mahluk ini mencoba menyeretku masuk ke dalam sungai terkutuk ini!" teriak Baskara dengan suara yang parau.
Arini hanya menatap dengan mata hitamnya yang kosong sambil memutar jarum tulang di jemarinya yang pucat secara perlahan-lahan. Ia tampak tidak peduli dengan teriakan minta tolong dari laki-laki yang sejak tadi mengikutinya dengan penuh rasa percaya diri yang mulai luntur.
"Jangan pernah meminta tolong kepada mereka yang sudah tidak memiliki hati untuk merasa iba," bisik Arini dengan nada bicara yang sangat dingin.
Baskara terpaksa menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram wajah mahluk itu dan berusaha menariknya agar lepas dari pergelangan kakinya yang kini sudah mati rasa. Ia merintih kesakitan saat kulit jari-jarinya bersentuhan dengan lendir amis yang menyelimuti seluruh kepala mahluk penghuni sungai tersebut.
Suara berderit dari bambu jembatan yang mulai rapuh terdengar semakin nyaring setiap kali Baskara melakukan gerakan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa jika ia tidak segera melepaskan diri, maka jembatan ini akan patah dan menenggelamkannya ke dalam pelukan maut.
"Lepaskan aku, wahai mahluk busuk yang tidak tahu malu!" bentak Baskara sambil menghantamkan pundaknya yang mulai tumbuh daging baru ke arah wajah mahluk tersebut.
Hantaman itu membuat mahluk tersebut terlepas dan jatuh kembali ke dalam sungai dengan suara ceburan air yang terdengar seperti jeritan ribuan manusia. Baskara segera merangkak menjauh dari tepian jembatan dengan napas yang memburu dan keringat dingin yang membasahi seluruh permukaan wajahnya.
Ia melihat luka di pergelangan kakinya tidak mengeluarkan darah merah melainkan cairan hijau bening yang berpendar secara berulang-ulang di bawah cahaya remang. Arini berjalan mendekati Baskara dan menginjak luka tersebut dengan sepatu botnya yang keras tanpa ada rasa belas kasihan sedikit pun.
"Rasa sakit ini adalah cara hutan mengenali keberadaanmu sebagai bagian dari ekosistem mereka yang baru," ucap Arini sambil menekan lukanya semakin dalam.
Baskara mengerang kesakitan dan mencoba menepis kaki Arini namun tubuhnya mendadak lemas seolah seluruh tenaganya telah dihisap oleh tanah yang ia pijak. Ia melihat pemandangan di sekeliling jembatan mulai berubah menjadi sebuah labirin pepohonan yang memiliki bentuk menyerupai usus manusia yang raksasa.
Pepohonan itu berdenyut secara berirama dan mengeluarkan suara detak jantung yang sangat keras hingga membuat telinga Baskara mulai mengeluarkan darah segar. Arini menarik kerah baju Baskara dan memaksanya untuk berdiri kembali meskipun kakinya sudah tidak mampu lagi menopang berat badannya.
"Ke mana lagi kamu akan menyeretku pergi setelah menghancurkan seluruh tubuhku seperti ini?" tanya Baskara dengan tatapan mata yang penuh dengan keputusasaan.
Arini tidak memberikan jawaban secara langsung melainkan hanya menunjuk ke arah sebuah pohon yang paling besar di tengah labirin tersebut. Pohon itu tidak memiliki daun melainkan ribuan telinga manusia yang terus bergerak seolah sedang mendengarkan setiap bisikan yang ada di dunia nyata.
"Kita akan pergi ke tempat di mana setiap rahasia yang kamu sembunyikan akan terdengar oleh sang penguasa tertinggi," jawab Arini sambil menyeret tubuh Baskara yang lunglai.
Mereka mulai memasuki area yang dipenuhi oleh akar-akar gantung yang terasa sangat lengket dan berbau seperti cairan lambung yang sangat asam. Baskara merasa ribuan mata mulai mengintip dari balik celah-celah usus kayu yang terus berdenyut dengan kecepatan yang semakin meningkat secara terus-menerus.
Setiap kali Baskara mencoba berbicara, suara yang keluar dari mulutnya justru berubah menjadi suara tangisan bayi yang sangat memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Ia merasa identitas manusianya perlahan mulai terkikis dan digantikan oleh sesuatu yang sangat purba dan sangat haus akan penderitaan.
"Jangan biarkan aku berubah menjadi salah satu dari mahluk-mahluk menjijikkan ini, Arini!" rintih Baskara dengan suara yang tidak lagi ia kenali sebagai suaranya sendiri.
Arini berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari jalinan rambut manusia yang masih basah oleh keringat dan minyak yang berbau sangat tengik. Ia menyentuhkan batu mustika merah ke arah jalinan rambut tersebut hingga pintu itu terbuka perlahan dan memperlihatkan ruangan yang sangat luas.
Di dalam ruangan tersebut, Baskara melihat barisan jam dinding yang sangat banyak dengan jarum yang semuanya bergerak ke arah yang berbeda-beda secara berulang-ulang. Waktu seolah menjadi sesuatu yang sangat tidak berarti di tempat ini karena masa lalu dan masa depan tampak saling bertumpang tindih.
Baskara melihat bayangan dirinya sendiri yang sedang mempersiapkan peralatan penyelamatan di kantor pusat tim sebelum mereka berangkat menuju hutan ini. Ia berteriak memanggil dirinya sendiri di masa lalu namun bayangan itu tidak mendengar dan justru terus melangkah masuk ke dalam kendaraan.
"Kamu sedang melihat awal dari akhir perjalananmu yang menyedihkan ini," bisik Arini yang kini berdiri tepat di belakang punggung Baskara yang gemetar.
Baskara mencoba berlari menuju bayangan masa lalunya namun sebuah rantai yang terbuat dari tulang belakang manusia mendadak menjerat lehernya dengan sangat kuat. Rantai itu menariknya menuju ke arah tengah ruangan di mana terdapat sebuah meja operasi yang terbuat dari batu nisan yang sangat dingin.
Sesosok pria tua dengan pakaian seragam yang persis dengan milik Baskara tampak sedang terbaring di atas meja tersebut dengan perut yang sudah terbuka lebar. Baskara menyadari bahwa pria tua itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan ayahnya yang telah lama menghilang dalam misi yang sama.
"Ayah? Apakah itu benar-benar ayah yang selama ini aku cari ke mana-mana?" tanya Baskara dengan air mata yang mulai jatuh membasahi lantai yang penuh dengan ulat.
Pria tua itu perlahan membuka matanya yang sudah tidak memiliki bola mata dan hanya menyisakan daging merah yang terus berkedut secara berulang-ulang. Ia mengangkat tangannya yang sudah membusuk dan menunjuk ke arah perutnya yang terbuka di mana terdapat sebuah jam pasir yang berisi darah.
Pria tua itu meraih tangan Baskara dan memasukkannya ke dalam perutnya yang terbuka secara paksa.