Maula, harus mengorbankan masa depannya demi keluarga.
Hingga suatu saat, dia bekerja di rumah seorang pria yang berprofesi sebagai abdi negara. Seorang polisi militer angkatan laut (POMAL)
Ada banyak hal yang tidak Maula ketahui selama ini, bahkan dia tak tahu bahwa pria yang menyewa jasanya, yang sudah menikahinya secara siri ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Merasa di abaikan, Wina yang naik pitam, melangkah lebar menyusul Maula kemudian menarik rambutnya yang tergerai.
"Aww.. Ibu, sakit bu!" Maula berusaha melepas cengkraman Wina di rambutnya.
"Dari mana kamu dapat uang itu, hah?" Tanya Wina sinis.
"Sudah ku bilang aku dapat pinjam dari teman"
"Ibu nggak percaya" Tangan Wina semakin kasar menarik rambut Maula, dan dia seketika menjerit.
"Sakit, bu!"
"Ibu nggak peduli" Sambarnya kilat. "Jawab jujur kamu dapat uang sebanyak itu dari mana?"
"PINJAM KE TEMAN" Tegas Maula, seraya meremas pergelangan tangan Wina hingga kukunya menggores kulit Wina.
"Kurang ajar sekali kamu, Maula" Wina melepas jambakannya.
"Saya tegaskan sekali lagi ya, bu.. Aku dapat pinjam dari teman, ibu mau percaya, mau enggak, terserah ibu"
"Kalau gitu mana sisanya?"
"Sisanya mau buat beli obat ayah"
"Terus adikmu, dia harus bayar kuliah, Maula"
"Iya, sudah aku sisihkan juga, ibu nggak usah khawatir"
"Mana? Sini biar ibu yang pegang buat obat ayah kamu dan juga biaya kuliah Naomi"
"Nggak perlu, aku bisa membeli obat ayah sendiri, untuk biaya kuliah Naomi biar aku yang datang ke kampusnya"
"Kamu nggak percaya sama ibu?" Sepasang mata Wina melotot tajam.
"Sudah ya bu, aku mau masak"
"Kasihkan dulu uangnya!"
"Aku nggak pegang cash, bu"
"Ambil ke ATM sekarang juga!"
"Maaf nggak bisa"
"Nggak bisa kenapa? Kamu takut uangnya di pakai ibu, hmm..? Kamu pikir siapa yang mengurus ayahmu selama ini? Siapa yang bantu ayah kamu bangun tengah malam buat ke toilet? Harusnya kamu berterimakasih sama ibu karena sudah bersedia merawat ayahmu, coba kalau ibu nggak bantu, mana bisa kamu kerja, kuliah, berangkat pagi pulang dini hari"
"Aku kan kerja buat Naomi juga bu" Sergah Maula tak terima. "Ibu pikir siapa yang biayain kuliah Naomi? Aku bahkan rela menunda kuliahku supaya Naomi bisa kuliah lebih dulu, tapi apa yang Naomi balas? Bukannya giat belajar biar lulus secepatnya, Naomi malah seenaknya sendiri, bahkan sampai sekarang sidang skripsi pun belum juga lulus, ngapain saja dia selama kuliah?"
"Jaga mulut kamu, Maula!"
"Harus jaga mulut yang gimana? Memang kenyataannya begitu kan? Di saat aku bekerja banting tulang buat keluarga ini, Naomi malah bersenang-senang tanpa peduli jerih payahku seperti apa, menghambur-hamburkan uang untuk membeli gaya hidup? Ibu juga yang selalu boros-boros beli sesuatu yang nggak begitu penting. Coba ibu posisikan diri ibu di posisiku, ibu pasti muak, bu"
Tanpa basa basi, tangan Wina spontan melayang dan mendarat di pipi Maula.
Maula sendiri langsung menyentuh pipi bekas tamparan sang ibu.
Bukan yang pertama, tapi kali ini cukup keras hingga darah segar merembes dari sudut bibir Maula yang imut.
"Kurang ajar kamu Maula! Apa begini balasan kamu terhadap orang yang sudah merawatmu sejak kecil, dan ketika ayahmu sakit-sakitan, siapa yang menjaganya, AKU, Maula, AKU?" Entahlah, sepasang mata Wina mungkin sudah memerah menahan marah.
"Ibu kan istrinya, sudah menjadi kewajiban ibu mengurus suami"
Wina tersenyum sinis. "Kalau ibu mau, ibu sudah meninggalkan ayahmu sejak dulu, tapi karena ibu kasihan padamu dan ayahmu, jadi nggak ibu lakukan"
"Ibu peringatkan padamu, Jangan coba-coba melawanku, Maula" Tutur Wina, melanjutkan kalimatnya.
"Asal kamu tahu, dari sejak ibumu mengandungmu, masalah ayahmu datang bertubi-tubi, bahkan ketika kamu lahirpun kamu membuat ibumu tiada, sampai ayah kandungmu sendiri nggak segan mengataimu anak pembawa sial"
Mendengar kalimat Wina, tanpa sadar air mata Maula menetes. Bukan sedih karena teringat sang ibu yang sudah tiada, akan tetapi merasa tak percaya jika seorang ayah tega mengatai darah dagingnya sendiri dengan sebutan anak pembawa sial.
Padahal selama ini, Maula sudah mati-matian untuk menjadi anak yang bisa di banggakan, menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.
Dan di luar dugaan, ternyata ayahnya justru setega itu.
Benarkah??
Maula bertanya dalam hati.
"Kenapa menangis?" Ketus Wina, melihat Maula tak mengatakan apapun.
"Dari pada kamu diam nggak ada gunanya begitu, mendingan kamu pergi ke ATM, dan ambil sisa uangnya, biar ibu yang pegang"
Jujur ada amarah tertahan di hati Maula untuk sang ayah, tapi ia berusaha untuk tidak mempercayai omong kosong Wina. Bisa jadi Wina hanya mengada-ngada saja.
"Kenapa masih diam? Cepat pergi sana!"
Maula yang sebelumnya sudah mampir ke ATM sebelum pulang, tanpa pikir panjang langsung beranjak dari hadapan Wina.
Dari pada bergelut dengan perasaan dan juga prasangka, Maula akhirnya memberikan jatah obat untuk ayahnya, juga biaya kuliah untuk adiknya.
"Ini untuk beli obat ayah" Maula menyerahkan beberapa lembar uang pada Wina yang saat ini sudah duduk di ruang tv. Wina menerimanya dengan senyum sumringah.
"Ini untuk biaya kuliah Naomi, dan ini untuk kebutuhan sehari-hari. Aku minta ibu jangan terlalu boros ya!"
"Nah gitu dong, kamu bisa sarapan pagi-pagi kan karena ibu yang masak" Celetuk Wina.
"Ayah dimana?" Tanya Maula datar tanpa ekspresi.
"Ayahmu lagi kerja tuh, di suruh sama bu Iin buat nyabutin rumput liar di halaman rumahnya"
"Ayah kerja? Bukannya harus istirahat dulu selama beberapa minggu?"
"Ayahmu yang mau, katanya dari pada nggak ngapa-ngapain, badan tambah pegal, jadi ya mau aja"
Tak ingin berdebat lagi, Maula memilih ke kamarnya untuk beristirahat sambil memikirkan bagaimana supaya ia lepas dari bayang-bayang pria semalam.
Kepalang jatuh, uang itu hanya tersisa lima juta di rekeningnya, itu artinya dia harus menemai pria itu sampai sembilan malam jika tidak berhasil mengembalikan uang tersebut.
Tapi sebisa mungkin Maula akan mengupayakan agar Mr F mau menerima tawarannya.
Mendesah pelan, tangan Maula reflek mengusap wajahnya. Sekelebat ucapan Wina teringiang di telinganya.
"Anak pembawa sial?" Gumam Maula. "Benarkah sikap ayah yang cuek padaku dan hanya bicara seperlunya selama ini, itu karena kehadiranku telah merenggut ibu dari hidupnya?"
"Enggak!" Maula menangkis prasangkanya di iringi gelengan kepala. "Ayah nggak mungkin seperti itu, dia ayahku, darah ayah mengalir di tubuhku, nggak mungkin beliau tega mengataiku anak pembawa sial. Pasti ibu yang sudah mengarang cerita"
"Dia kan tidak suka padaku"
Maula bergerak, merebahkan diri di atas tempat tidur.
Kembali pikirannya melayang-layang kali ini jatuh pada kejadian semalam.
Membayangkan bagaimana saat dia melayani pria tak di kenal itu, sungguh membuat hati Maula teriris.
Kini dia sedikit merasa jijik pada dirinya sendiri.
Sesuatu yang seharusnya ia berikan hanya untuk suaminya kelak, malah di ambil oleh pria beristri yang entah dari mana asal usulnya.
sama aku pun juga
next Thor.... semakin penasaran ini