Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putusin Hana!
Hana baru saja keluar dari kelas saat suara seseorang memanggil namanya.
"Hana!"
Langkahnya terhenti. Ia menoleh dan melihat Dion berdiri di tengah lorong kampus dengan wajah tegang. Hatinya berdebar tak nyaman.
"Kita perlu bicara," kata Dion, suaranya dingin.
Hana ingin mengabaikan, tapi tatapan Dion begitu tajam seolah menuntut jawaban. Dengan napas berat, ia melangkah ke arah Dion. Marini yang ada di sebelahnya ikut waspada.
"Apa lagi yang mau kamu bicarakan, Dion?" tanya Hana dingin.
"Mau apa lo?" kata Marini kesal.
Dion tertawa kecil, tetapi tak ada kebahagiaan di sana. "Aku cuma mau kasih tahu satu hal. Ayahku tidak akan pernah meninggalkan ibuku. Kamu tahu kenapa mereka tidak pernah cerai?"
Hana diam, tapi hatinya mulai merasakan firasat buruk.
Dion mendekat, menatapnya tajam. "Karena ibuku adalah cinta pertama ayahku."
Marini yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, langsung mengerjap. "Tunggu, tunggu... Lo bilang apa? Om Dominic itu... papa lo?"
Suasana menjadi hening. Hana merasakan dunia seakan berhenti berputar.
"Seriusan? Lo nggak becanda, kan?" Marini menatap Hana dengan mata membesar, lalu kembali ke Dion.
Dion mendengus. "Kenapa gue harus bercanda soal ini?"
Hana melangkah mundur, tubuhnya mendadak terasa lemas. "Nggak mungkin... ini nggak mungkin..."
Dion tertawa sinis. "Kamu pikir ini lelucon? Kamu pikir aku bohong?"
Hana menggeleng cepat. Ia tidak bisa menerima ini. Dominic tidak pernah mengatakan hal ini. "Apa benar ibunya Dion cinta pertama Domi?"
"Bagaimana mungkin... pria yang selama ini dicintai Hana ayah dari mantan kekasihnya?" Marini nampak shock.
"Kamu tahu apa yang lebih lucu?" lanjut Dion. "Aku memang pernah selingkuh, aku memang salah. Tapi ternyata aku hanya meniru ayahku sendiri. Dia juga nggak pernah bisa lepas dari ibuku. Kamu pikir dia akan memilihmu, Hana?"
"Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku dan Dominic." Hana menatap Dion dengan mata berkaca-kaca.
Dion mendengus. "Benar, aku nggak tahu. Tapi aku tahu satu hal pasti. Pada akhirnya, ayahku akan selalu kembali ke ibuku."
Marini menggigit bibirnya, menatap Hana dengan cemas. "Han, lo baik-baik aja?"
Hana menggeleng. Dadanya terasa sesak. Tanpa menjawab, ia berbalik dan berlari meninggalkan mereka.
Marini berteriak memanggilnya, tapi Hana tidak peduli. Ia butuh waktu. Butuh udara. Butuh menjauh dari kenyataan pahit ini.
Air matanya mengalir.
"Dominic... kenapa kamu nggak pernah cerita?"
Di belakangnya, Dion hanya tersenyum miring.
"Lihat saja, Hana. Secepat apa kamu bisa bertahan di antara kami."
Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Dion duduk dengan wajah gelisah. Tangannya mengetuk meja dengan tidak sabar, sementara matanya terus mengawasi pintu masuk.
Beberapa menit kemudian, Sarah masuk dengan langkah cepat. Wajahnya penuh kemarahan dan keputusasaan. Ia langsung duduk di depan Dion tanpa basa-basi.
"Lo pikir gue bakal diem aja? Gue hamil anak lo, Dion!" bentaknya tajam.
Dion mendesah panjang. Ia sudah menduga pertemuan ini tidak akan berjalan dengan baik.
"Gue udah bilang dari awal, Sarah. Gue nggak siap punya anak. Kita nggak pernah serius."
Sarah menatap Dion dengan tajam, matanya memerah. "Lo enak ngomong gitu! Lo enak karena lo nggak harus ngerasain apa yang gue rasain sekarang!"
Dion mengusap wajahnya. Ia sedang dalam masalah besar, dan sekarang ini datang lagi seperti bom yang siap meledak.
"Gue nggak bisa tanggung jawab, Sarah. Gue bahkan belum beres dengan masalah gue sendiri!"
Sarah mendengus, tangannya mengepal. "Lo pikir ini cuma masalah lo doang? Gue ini yang harus hamil! Gue yang harus nanggung semuanya sendiri!"
Dion mulai kehilangan kesabaran. "Terus lo mau apa? Gue udah bilang, gue nggak mau punya anak dari hubungan ini!"
Sarah menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Gue nggak butuh lo. Gue cuma mau lo tahu, kalau lo nggak mau tanggung jawab, gue bakal cari cara sendiri."
Dion terdiam. Ia tidak suka nada ancaman dalam suara Sarah.
"Lo mau apa?" tanyanya, curiga.
Sarah menatapnya tajam. "Kalau lo nggak mau tanggung jawab, gue bakal datengin orang tua lo."
Darah Dion seketika berdesir. "Jangan macam-macam, Sarah."
Sarah tertawa sinis. "Gue serius, Dion. Kalau lo nggak mau nikahin gue atau setidaknya kasih gue kepastian, gue bakal kasih tahu semuanya ke nyokap lo dan ayah lo!"
Dion mengepalkan tangan. Ini adalah hal terakhir yang ia butuhkan sekarang. Masalahnya dengan Hana dan Dominic saja sudah cukup rumit, dan sekarang Sarah datang membawa bom waktu baru.
"Lo beneran mau ngancam gue?" suara Dion rendah, berbahaya.
Sarah menatapnya, tidak gentar sedikit pun. "Bukan ancaman, Dion. Ini peringatan."
Dion menatap wanita di depannya dengan penuh kebencian. Ia tidak pernah menganggap serius Sarah. Bagi Dion, Sarah hanya pelampiasan sesaat, seseorang yang memberinya perhatian ketika ia kehilangan Hana. Tapi sekarang, ia harus menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.
Ia berdiri, menatap Sarah tajam. "Kita lihat aja, siapa yang bakal menang dalam permainan ini."
Sarah tersenyum dingin. "Gue nggak main-main, Dion. Kalau lo pikir gue bakal nyerah, lo salah besar."
Dion berbalik dan pergi, meninggalkan Sarah yang masih duduk di kursinya.
Di dalam hatinya, Dion tahu, hidupnya baru saja bertambah rumit.
---
Sarah duduk di dalam kamarnya, matanya menatap hasil USG yang ada di tangannya. Kehamilannya semakin besar, dan perutnya mulai terlihat jelas. Ia mengusap perutnya dengan penuh emosi, antara marah, kecewa, dan takut.
"Kamu nggak akan lahir tanpa ayah, Nak. Aku nggak akan biarin itu terjadi." gumamnya.
Ia tahu Dion tidak akan mau bertanggung jawab, tapi ia juga tahu satu hal: keluarga Dion pasti peduli dengan nama baik mereka. Apalagi ibunya, Rina, yang selalu menjaga citra keluarga di mata publik.
Sarah menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia membuka kontak dan mulai mencari nomor seseorang yang sudah lama ingin ia hubungi. Beberapa detik kemudian, ia menekan tombol panggil.
"Halo, Tante Rina? Ini aku, Sarah. Aku mau bicara soal Dion… dan anak yang aku kandung."
Sore itu, di rumah keluarga Dion, Rina baru saja menerima telepon dari Sarah. Matanya menyipit, emosinya mulai naik. Ia tidak percaya anaknya bisa sebodoh itu, menghamili seorang wanita yang bahkan bukan bagian dari keluarga mereka.
"Bu..." Dion yang baru pulang ke rumah langsung disambut dengan tatapan tajam ibunya.
"Duduk!" suara Rina terdengar dingin.
Dion mengerutkan kening, tapi ia tetap duduk di sofa. Ayahnya, Dominic, juga berada di ruangan yang sama, menatap Dion tanpa ekspresi.
"Kamu bisa jelaskan ke Mama, apa yang terjadi dengan perempuan bernama Sarah?" Rina menyilangkan tangan di dadanya, menunggu jawaban.
Dion mendesah panjang. "Mama denger dari mana?"
"Sarah sendiri yang telepon Mama." Rina bersandar di sofa, nadanya penuh tekanan.
Dion mengepalkan tangan. Ia tidak percaya Sarah benar-benar melakukan ini.
"Jadi, benar? Kamu menghamili dia?" suara Rina meninggi, tajam menusuk telinga.
Dion hanya bisa berdiri diam, menatap lantai, mencoba menghindari tatapannya yang penuh emosi.
"Ibu, dengerin dulu..." suara Dion nyaris lirih, berusaha mencari celah agar bisa menjelaskan, meskipun ia tahu, tak ada penjelasan yang cukup baik untuk keadaan ini.
"Dengar apa lagi, Dion?! Perempuan itu hamil anak kamu! Dan sekarang dia mau kamu bertanggung jawab!" Suaranya menggema di ruangan.
Dion merasakan tubuhnya semakin berat, seolah seluruh beban dunia berada di pundaknya. Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi. Semua terasa kacau. Hidupnya seperti lepas kendali, tak ada pegangan.
"Aku nggak mau nikah sama dia, Bu," ucap Dion akhirnya, mencoba menjelaskan, meski rasanya usaha itu tak akan berarti.
Rina membelalakkan matanya, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anaknya.
"Oh, jadi kamu pikir kamu bisa kabur begitu aja?!" suara Rina semakin tajam, menusuk lebih dalam.
Ayahnya yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba ikut bicara. Suaranya datar, tapi penuh wibawa, seolah tak memberiku ruang untuk melarikan diri dari kenyataan.
"Dion, kamu tahu apa konsekuensi dari perbuatan kamu?" tanyanya sambil menatap mata Dion.
Dion mencoba membaca pikirannya melalui tatapannya, tapi hanya kekosongan yang ia lihat di sana atau mungkin itu hanya pantulan dari dirinya sendiri. Ia balas menatap Dominic, suaranya terhenti sejenak sebelum akhirnya terlontar apa yang ia pendam selama ini.
"Aku nggak cinta sama Sarah. Dia cuma pelarian, Yah. Aku nggak bisa menikahi seseorang yang nggak aku cinta." Kata-kata Dion berderai keluar seperti pintu air yang akhirnya terbuka.
Namun, saat mengucapkannya, ia sadar tidak ada yang peduli soal itu di sini. Apa pun yang ia rasakan sekarang hanyalah kepentingannya, tidak relevan di mata mereka.
Rina tertawa sinis, sebuah tawa yang begitu asing tapi entah kenapa sangat familiar dalam kesakitan ini.
"Lucu. Kamu pikir Sarah peduli soal cinta? Dia cuma peduli sama tanggung jawab kamu! Dia bilang dia nggak mau besarin anaknya sendirian, Dion!" kata Rina, penuh nada mengejek sekaligus kecewa.
Dion menutup mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa ia lupakan saat terbangun nanti. Namun tidak. Rasanya seperti lingkaran neraka yang menelan bulat-bulat.
Semakin ia mencoba melarikan diri, semakin kuat rasa terjebak itu. Ia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari semua ini.
'Tuhan, kenapa aku tidak berpikir sebelumnya? Kenapa semua pilihan yang tersisa kini hanya membuatku semakin terpuruk?'
Sementara itu, Sarah duduk di dalam taksi yang melaju menuju rumah keluarga Dion. Wajahnya penuh keyakinan—ia siap memperjuangkan masa depan anaknya.
Hari ini, semua akan berubah.
"Baiklah aku akan tanggung jawab!" kata Dion mantap.
"Baguslah, itu namanya pria sejati!" sahut Dominic.
"Tapi Ayah harus memutuskan hubungan dengan Hana!"
Bersambung...