Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Akan Menikah
Mata Nara membulat sempurna bahkan sampai membuat mulutnya terbuka saat mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Vian. Suara tegas dari lelaki itu mampu membungkam perdebatan para warga. Dengan menegakkan duduknya, mengangkat kepalanya, menatap setiap mata para warga, Vian mengulang kembali ucapannya.
"Kenapa kalian diam, kami akan menikah, bukankah itu yang kalian inginkan?".
Bagaimana mereka tidak terdiam setelah mendengar suara tegas Vian, sorot mata tajam, serta aura dingin yang terpancar dari dirinya, membuat mereka seakan membeku.
Deg.. , seketika itu juga jantung Nara seakan berhenti berdetak saat mendengar ucapan Vian untuk kedua kalinya, benarkah ia akan menikah dengan orang yang baru di kenalnya?.
Nara memandang Vian, dari sorot mata Nara, Vianr mengerti jika gadis itu mempertanyakan pernyataannya. Dengan menatap mata Nara, Vian tersenyum dengan menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan Nara tentang keputusan yang ia ambil.
"Ehemm..ghem... ,". Pak Arya mencoba menetralkan keterkejutannya "Baiklah, mereka sudah memutuskan untuk menikah, jadi mari kita menuju Balai Desa untuk melakukan pernikahan malam ini, salah sepertinya pagi ini", ralat Pak Arya setelah melihat jam dinding yang tergantung di tembok menunjukan pukul tiga dini hari. Para warga pun mulai meninggalkan kediaman Nara dan berjalan menuju ke Balai Desa.
Tak ada persiapan apapun, tak ada kehadiran orang tua, tak ada dekorasi pernikahan dan tak ada gaun pengantin, pernikahan macam apa ini? Sangat jauh dari pernikahan impian Nara. Gadis itu menatap ke sekeliling, melihat banyak warga yang mengelilinginya ,dia seperti sebuah tontonan yang menarik bagi warga. Malu? pasti, itulah yang dirasakan oleh Nara sekarang. Nara mencoba meyakinkan diri, ini semua sudah jalan hidupnya.
"Aku harus ikhlas, menerima semua ini", kata Nara dalam hati. Nara hanya mampu tersenyum sinis, menertawakan nasibnya, sambil menahan air matanya agar tidak keluar.
"Nak, Ibuk pakaikan ini ya", ucap Bu Indi sembari membentangkan sebuah selendang di atas kepala Nara dan juga Vian.
Nara hanya mengangguk kecil dengan senyuman kecil yang ia perlihatkan kepada Bu Indi. Hanya beliaulah yang masih memperlakukan Nara dengan baik, tidak seperti warga lainnya yang terus memandangi dan mencemoohnya.
Walaupun Vian lupa ingatan tapi dia tahu kalau dirinya seorang muslim, karena ia pernah diperlihatkan KTP miliknya oleh ibunya. Ijab qabul pernikahan dimulai, Vian memberikan mahar berupa gelang tali dengan sebuah liontin kecil berwarna putih yang melingkar di pergelangan tangannya, karena hanya itu yang ia punya sekarang.
"Sah", satu kata yang ia dengar dari para warga setelah Vian mengucapkan ijab qabul membuat Nara tidak mampu menahan air matanya lagi, ia menagis.
"Selamat atas pernikahan kalian, sekarang kalian sudah sah sebagai pasangan suami istri, tetapi pernikahan kalian baru sah secara agama, akan lebih baik kalau kalian segera mengurus pernikahan ini secara hukum", ucap seorang Ustad sekaligus tetua yang dihormati di daerah ini.
Pernikahan dadakan kini telah usai, sepanjang jalan Nara maupun Vian hanya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka tak berjalan sejajar, melainkan Nara di depan dan Vian mengikuti di belakangnya. Vian berjalan dengan sedikit tertatih, jujur lelaki itu masih merasakan sakit di kepala tetapi ia berusaha menahannya.
Disisi lain, Nara tak pernah membayangkan akan menikah secepat ini. Yang ditakutkan Nara adalah Ibunya, bagaimana jika Ibunya tau? Bagaimana ia akan menjelaskannya? Nara takut mengecewakan Ibunya. Ibu Nara hanyalah seorang petani, penghasilan sehari-hari hanya dari menjual hasil bumi, seperti daun pisang, jagung, kelapa dan sebagainya. Selain itu beliau juga memelihara hewan ternak seperti ayam dan kambing. Beliau menghidupinya, menyekolahkannya sampai lulus Sekolah Menengah Atas, dengan jerih payah sendiri. Nara ingat ketika ia akan pergi ke kota ini, beliau sampai menjual tiga kambingnya untuk biaya Nara kesana.
"Ibu, maafkan anakmu ini yang tidak berbakti".
Air mata Nara tak terbendung lagi. Vian mengetahui kalau Nara tengah menangis, terlihat dari gerakan tangannya yang digunakan untuk selalu mengusap wajah dan pundaknya yang terlihat gemetar, naik turun. Vian merasa bersalah, seharusnya ia tidak meminta ditolong waktu itu, pasti semua tidak akan terjadi, ingin rasanya Vian menarik perempuan yang telah berstatus istrinya itu masuk ke dalam dekapannya, memeluk dan menenangkannya, tapi dia tidak berani.
Sesampainya di rumah, tanpa sepatah kata pun, Nara lalu masuk ke kamarnya sendiri, saking kalut pikirannya ia sampai melupakan keberadaan Vian. Tanpa mau mengganggu Nara, lelaki itu memilih duduk di kursi ruang tamu, mungkin Nara butuh waktu sendiri, pikirnya.
"Apa yang seharusnya aku lakukan kedepannya? Aku sedang kehilangan ingatanku, astaga aku bahkan lupa nama orang tuaku, kenapa aku tidak memperhatikan saat mereka berbicara kepadaku kemarin? Aku telah menikah, aku telah menjadi seorang suami, tetapi aku tidak mempunyai apa-apa, lalu apa yang bisa aku berikan kepadanya? Bagaimana caranya untuk menghidupinya? Kenapa aku tadi begitu yakin saat menikahinya? Sekarang dia sudah sah menjadi istriku, hidupnya sudah menjadi tanggung jawabku, sebaiknya aku ajak dia bicara besok pagi".
Vian mencoba merebahkan dirinya di kursi ruang tamu, berharap jika dengan begitu ia bisa mengistirahatkan badan serta pikirannya.
"Astaga ini sofa atau batu!", keluhnya, sambil bergerak-gerak, membolak-balikkan badannya mencari posisi yang enak. Di rasa sudah mendapat posisi yang enak, Vian memejamkan matanya. Sementara itu, didalam kamarnya, Nara sudah terlelap dengan jejak air mata yang masih membekas di wajahnya.
••
Minggu pagi dengan suasana yang cerah, sepasang suami istri paruh baya sedang meminum teh di halaman belakang sambil berbincang.
"Paa, gimana? apa ada kabar dari Johan mengenai putra kita?", tanya Arin dengan wajah yang terlihat khawatir.
"Coba lihat ini Ma", ucap Agam sembari menyerahkan ponselnya dan langsung di terima oleh Arin.
"Video apa ini Pah? kok gak jelas kaya gini gambarnya, orang nikah ya Pah?". Arin bertanya penasaran sambil terus menonton videonya,dan hanya ditanggapi senyum oleh Agam.
"Astaga Pahh, ini Vian…….maksudnya apa ini Pahh?".
Nampak keterkejutan di wajah Arin setelah mengetahui siapa objek yang berada di dalam video tersebut, berbeda dengan Agam yang dengan santai meminum tehnya, lalu menoleh tersenyum ke arah Arin.
"Pahh, jawab. Kenapa malah senyam, senyum, senyam, senyum? Ihhh",.
"Iya, itu Vian Mah, dia sudah menikah semalam".
Agam lalu menjelaskan semua kejadian pada malam Vian diculik, diselamatkan oleh seorang gadis, lalu penggrebekan dan berakhir pernikahan, dari mana Agam tahu, jelas dari Johan, pria yang Agam suruh untuk menjaga Vian dari jauh.
"Kalau begitu kita jemput mereka sekarang Pa".
"Tidak Ma, biarkan seperti ini dulu. Selain untuk melindungi Edgar, Papa berharap dengan adanya gadis itu dapat merubah sikap Edgar Ma".
Mendengar ucapan suaminya, Arin hanya bisa mengangguk pasrah, lagi pula keputusan ini juga hal yang baik untuk putranya.
••
"Hoam". Nara mengerjapkan matanya, menatap ke sekeliling kamar tidurnya, ia duduk dan bersandar di kepala ranjang.
"Apa semalam aku tidak ganti baju?", ucap Nara saat ia melihat pakaian yang masih di kenakan nya. Nara ingat sepulang kerja semalam, ia memakai kaos lengan panjang dan celana jeans dan pagi ini dia masih mengenakannya. "Aku juga masih pakai sepatu", ucapnya lagi saat melihat bagian kakinya yang tak tertutup selimut, tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
"Astaga aku melupakannya", dengan tergesa-gesa ia menyibak selimut dan turun dari ranjang.
Gubrak .
"Ahh.. sial, kakiku".
Karena tidak memperhatikan langkahnya ia menginjak tali sepatunya sendiri , alhasil Nara terjatuh. Segera ia bangun dan membuka pintu, keluar dari kamar. Pandangannya langsung tertuju kepada seseorang yang tengah duduk di kursi ruang tamu, seorang lelaki tampan, dengan memakai kaos hitam, celana pendek dan perban yang masih melingkar di kepalanya. Vian menengok ke arah Nara berdiri dengan tersenyum manis.
"Selamat Pagi".
Nara menatap wajah Vian tanpa berkedip. "Astaga tampan sekali, benarkah dia suamiku? Ini nyata atau cuma mimpi", gumam Nara dalam hati sambil menepuk-nepuk pipinya. Gadis itu memang tak terlalu memperhatikan wajah Vian semalam.
"Hey... Are you okey?"
"Ahh..ya ", jawab Nara sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia lalu menghampiri Vian dan duduk dihadapannya.
"Baju siapa yang kamu pakai?", tanya Nara yang baru sadar dengan penampilan Vian yang sudah tidak memakai pakaian Rumah Sakit lagi.
"Entah, tiba-tiba ada mengirimkannya kesini". jawab Vian dengan santai.