Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03 - Nikahi atau Mati!!
Jantung Aruni berdegup tak karu-karuan, tenaganya yang tadi bahkan sanggup untuk melukai Rajendra seketika musnah sudah.
Bagaimana tidak? Yang kini dihadapannya bukan pegawai hotel atau orang asing, melainkan Bagaskara, calon suaminya.
Tak sendirian, tapi juga bersama Daddy-nya yang tampak kecewa. Lebih buruk dari pada mimpi buruk malam kemarin, napas Aruni seperti berhenti beberapa saat.
Habislah sudah impiannya, kecil kemungkinannya semua ini bisa berjalan baik-baik.
Bagas mendekat, tatapan pria itu tertuju ke sekeliling kamar. Dia tampak menyimpulkan apa yang terjadi dari sesuatu yang jelas terlihat.
Pakaian yang berserakan di lantai persis pasangan saat memadu kasih dengan cara terburu, dan posisi mereka saat ini tak ubahnya bak pengantin baru.
"Kak Bagas, aku bisa jelas-"
"Diam!! Aku tidak memintamu bicara, Aruni!!" Suara berat itu memotong pembicaraan Aruni, membuatnya tidak bisa bicara lagi.
Terpaksa, mau tidak mau Aruni hanya bisa diam dan menunggu diizinkan untuk bicara lagi.
Perlahan, Bagaskara mendekat dan Aruni menunduk dalam. Dia takut sekali bahwa pria itu akan memukulnya, tapi yang terjadi justru berbeda.
Pria yang bahkan belum pernah melihat rambutnya itu terdiam, dan hanya bisa menghela napas panjang.
Tak berselang lama, Daddy-nya muncul dengan membawakan jubah mandi sebagai penyelamat utama.
"Pakai bajumu lebih dulu, Aruni." Aruni menatap Renaga - daddy-nya dengan hati yang terluka.
Sama sekali dia tidak memiliki cita-cita untuk menyakiti hati sang ayah. Namun, di posisi ini Daddy-nya masih bersikap baik, suaranya juga masih tetap hangat.
Tanpa peduli dengan keberadaan Rajendra yang masih diam di tempat tanpa rencana lain, Aruni memunguti pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaian itu kamar mandi.
Sewaktu di kamar mandi, Aruni juga menyempatkan diri untuk melihat kondisi wajahnya. Dia tidak tertarik untuk mandi lebih dulu, pikirannya tak setenang itu jujur saja.
Namun, meski dia tidak mandi, tapi gadis itu sengaja berlama-lama dan berharap Rajendra diserang habis-habisan di sana.
Minimal, pria itu mau mengaku tentang apa yang terjadi. Dia yakin, Daddy-nya tidak akan tinggal diam setelah apa yang dilakukan Rajendra.
Beberapa saat menunggu, tapi yang Aruni dengar justru percekcokan seperti tengah bertengkar hebat.
Dan, begitu keluar dia mendapati Rajendra yang justru tengah dihajar habis-habisan oleh Bagaskara.
Saat ini, Rajendra sudah mengenakan pakaian, mungkin dipaksa sewaktu Aruni masih di dalam.
"Dasar anj!! Papa tidak pernah mengajarimu jadi bina-tang, Rajendra!!" teriak Bagaskara menggema, Aruni yang mendengar sampai bergidik ngeri.
Di sisi lain, Daddy Aga terlihat diam dan tak berusaha memisahkan mereka. Atau mungkin, sebenarnya dilarang Bagaskara, sungguh Aruni tidak tahu juga.
"Sudah kukatakan aku hilang kendali, Kak, mana aku sadar kalau yang masuk calon Kakak ipar."
Bugh
Bugh
Bugh
Sedikit demi sedikit, Aruni mulai bisa menangkap penjelasan Rajendra di sela-sela pukulan dan amukan yang dilayangkan padanya.
Meski napasnya masih tersengal dan tubuhnya gemetar, sebagian kata-kata Rajendra berhasil menembus gumpalan emosi yang mengurung pikirannya.
Dari yang dia dengar, Aruni bisa menarik satu kesimpulan, kemungkinan besar, Rajendra telah mengingat sesuatu. Mungkin, dia benar-benar kehilangan kendali waktu itu.
“Kehilangan kendali? Lalu sekarang Katakan padaku ....” Suara Bagaskara menggelegar, penuh amarah yang ditahan. Sorot matanya menusuk. "Apa yang kau lakukan padanya? Hah?!”
Rajendra menunduk. Sorot matanya berubah sendu saat menatap Aruni, yang kini sudah rapi seperti saat pertama kali ia masuk ke kamar itu.
Tidak ada lagi tatapan kosong dari orang yang sedang hilang kesadaran. Kali ini, Rajendra benar-benar sadar. Dan dengan suara pelan namun mantap, dia menjawab.
"Aku menodainya, Kak."
Pengakuannya begitu yakin, dan hal itu membuat Daddy Aga memalingkan muka. Sementara itu, Aruni yang mulai bisa berpikir tenang setelah sempat menyendiri di kamar mandi kemudian menyela.
"Maaf sebelumnya, tapi ... tentang itu, aku tidak yakin."
"Maksudmu?" Daddy Aga bersuara manakala putrinya angkat bicara.
Ada secercah harapan bahwa yang dia pikirkan tak segelap itu. "Iya, Dad, aku baru menyadari sesuatu dan agaknya, dia tidak sampai menodaiku."
Bukan tanpa alasan kenapa Aruni mengatakan hal itu, tapi dia merasa bahwa yang dia alami hanya sekadar kaku dan sakit kepala, tidak ada rasa sakit di area sensitifnya.
Beberapa saat mereka terdiam, sampai akhirnya Daddy Aga kembali bersuara dan kali ini mengatakan pendapatnya. "Kalau begitu, untuk lebih pasti bagaimana jika kita visum saja?"
"Visum?" Kening Bagaskara berkerut seketika.
"Iya, setidaknya ... dengan itu, kesucian Aruni masih bisa dibuktikan, Bagas."
.
.
“Tidak perlu.”
Satu kalimat pendek itu membuat Aruni spontan mendongak. Bola matanya membulat, menatap lekat-lekat ke arah Bagaskara yang berdiri tegak di sisi ruangan. Ada nada dingin dalam suara laki-laki itu, calon suaminya sendiri dan itu cukup mengejutkan.
“Tidak perlu?” ulang Daddy Aga, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Suaranya mengandung nada heran dan sedikit cemas, khawatir ia salah menangkap maksud ucapan Bagaskara.
Bagaskara menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah perlahan mendekati mereka. Tubuhnya masih menyisakan sisa-sisa emosi yang belum sepenuhnya reda.
Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanan tampak sedikit bergetar, mungkin akibat tenaga yang ia habiskan untuk menghajar Rajendra hingga nyaris tak berdaya di sudut ruangan. Wajahnya penuh Guratan amarah dan kekecewaan.
“Bagaimanapun juga … Aruni sudah terjamah,” ucapnya akhirnya, suaranya berat dan terdengar getir. “Hitungannya, dia sudah tidak bisa dikatakan suci lagi, Pak Aga.”
Gleg.
Aruni menelan ludahnya dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering, seolah semua air liur mendadak menghilang.
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena keterkejutan yang begitu menyesakkan dada. Ucapan Bagaskara bagaikan pisau yang mengiris pelan-pelan, tajam dan menyakitkan.
Dia tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka. Calon suaminya akan mengatakan itu dengan sedingin es. Memang benar, mungkin ada kekecewaan di hatinya. Tapi Aruni tak pernah membayangkan bahwa kekecewaan itu akan berubah menjadi penghakiman sekejam ini.
Perubahan sikap Bagaskara terasa mencolok. Laki-laki yang semalam masih menanggapi kata pamitnya dengan kelembutan dan penuh kasih, kini berubah menjadi sosok yang nyaris asing baginya. Sorot matanya gelap, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang belum sempat diobati.
Lalu, Bagaskara membalikkan badan dan menatap tajam ke arah Rajendra yang kini tersandar lemah di lantai. Wajahnya penuh memar, darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya. Tapi tatapan Bagaskara tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.
“Dan untuk kau, Rajendra,” ucapnya sambil menunjuk tajam ke arah pria itu. Dadanya naik turun, napasnya berat menahan emosi yang kembali menyala. “Pilihanmu cuma dua. Nikahi dia … atau mati!!”
.
.
- To Be Continued -