Kasih, perempuan muda berusia dua puluh tahun terpaksa menggantikan Mia anak sang kepala desa lebih tepatnya tetangga Kasih sendiri untuk menikah dengan Rangga. Karena pada saat hari H, Mia kabur untuk menghindari pernikahannya.
Mia menolak menikah dengan Rangga meskipun Rangga kaya raya bahkan satu-satunya pewaris dari semua kekayaan keluarganya. Penolakan Mia di karenakan ia tidak suka melihat penampilan Rangga yang cupu dan terlihat seperti orang dungu.
Kasih yang di ancam oleh kepala desanya mau tak mau harus menggantikan Mia. Semua Kasih lakukan demi ketentraman hidup ia dan ibunya yang sudah sepuluh tahun menjanda. Lalu, apakah Kasih dan Rangga akan jatuh cinta? Apakah pernikahan Kasih dan Rangga akan bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 04
"Astaga, sampai kapan aku harus menghadapi sikap mas Rangga yang kekanakan seperti ini?" Batin Kasih yang tak berani bicara secara langsung. Biar bagaimana pun keadaan Rangga, Kasih tidak ingin menyinggung perasaan suaminya.
Bagaimana Kasih tidak pusing, saat ini Rangga sedang bermain bola sendirian seperti anak kecil.
Tanpa terasa air mata Kasih menetes, buru-buru ia menghapusnya.
"Kasih,...!!" Panggil Rangga.
"Iya mas, ada apa?" Tanya Kasih dengan suara yang sedikit bergetar.
"Ayo main bola!" Ujar Rangga semakin membuat hati Kasih kacau.
"Mas, main bolanya udahan ya. Sudah sore. Yuk mandi," ajak Kasih.
Rangga berhenti, pria ini menatap langit sore yang semakin meranum.
"Aku ingin mandi air hangat!" Ujar Rangga.
"Iya. Aku siapin airnya dulu," sahut Kasih yang bergegas pergi ke kamar.
Sampai detik ini belum ada rasa cinta yang tumbuh di hati Kasih. Pernikahan terpaksa yang ia jalani hanya semata-mata menyelamatkan ibu dan adiknya saja dari ancaman pak Rahman.
Makan malam, seperti biasa Kasih akan mengajari Rangga cara makan yang benar. Sesekali Rangga melirik ke arah Kasih, entah apa yang sedang ia rasakan saat ini.
Setelah memastikan Rangga makan dengan benar, Kasih kembali ke kursinya dan mulai memakan makanannya sendiri.
"Kasih punya pacar?" Tanya Rangga tanpa basa basi.
Kasih mendongak, menatap wajah Rangga sambil menguyah makanannya.
"Kenapa memangnya?" Tanya Kasih heran dengan pertanyaan Rangga.
"Kalau di tanya jawab aja. Jangan bertanya balik!" Sentak Rangga membuat Kasih terdiam sejenak.
"Kalau aku punya pacar, memangnya kenapa?"
"Kau dan aku sudah menikah. Apa kau akan kembali dengan pacar mu?" Rangga bertanya balik.
"Tidak!" Jawab Kasih singkat.
"Kenapa?"
"Karena aku sudah menikah!" Jawabnya tegas.
"Tapi aku seperti ini," ujar Rangga semakin membuat Kasih heran.
"Seperti apa maksudnya?"
"Orang-orang suka mengatai ku tonggos dan dungu. Apa kau tidak malu?"
"Terserah apa kata oranglah. Aku tidak peduli," jawab Kasih.
"Pacar mu di mana?" Tanya Rangga penasaran. "Harus dia marah kalau kamu menikah sama aku."
"Dia kuliah di kota. Udah ah, jangan di bahas. Aku gak selera makan!" Ujar Kasih kemudian beranjak dari duduknya.
Rangga hanya diam saja sambil memperhatikan punggung Kasih. Tanpa di ketahui oleh Rangga, Kasih menangis di kamar.
"Dito pasti sudah tahu kalau aku sekarang sudah menikah. Dia pasti marah besar," ucap Kasih yang teringat akan kekasih hatinya yang sedang kuliah di kota.
"Kamu nangis?" Tanya Rangga mengejutkan Kasih.
Buru-buru Kasih menghapus air matanya.
"Gak kok!" Jawabnya bohong.
"Dasar pembohong!" Seru Rangga.
"Ya, kenapa kalau aku bohong?" Tanya Kasih dengan nada tinggi. "Aku capek. Biarkan aku tidur!" Ujarnya yang langsung menarik selimut menutup seluruh tubuhnya.
"Kamu sudah membentak suami mu. Harusnya kamu minta maaf," ucap Rangga benar-benar menguji kesabaran Kasih. "Kasih, ayo cepat minta maaf!"
Kasih membuka selimutnya lalu berkata.
"Ya. Aku minta maaf. Aku salah sudah membentak mu!"
Rangga tersenyum lebar, pria ini langsung menghidupkan lagu nina bobo seperti malam sebelumnya. Jujur saja, Kasih nyaris gila karena hampir setiap malam ia mendengar lagu ini.
"Sampai kapan YA TUHAN," ucap Kasih dalam hatinya.
Seperti biasa, mereka tidur di ranjang yang sama tapi dengan selimut yang berbeda. Rangga belum sekali pun menyentuh Kasih, entahlah apa pria ini paham akan hubungan suami istri.
Malam telah berganti pagi, seperti biasa bu Erni mengantarkan kue-kue buatannya ke warung langganan.
Senyum semangat bu Erni mendadak lenyap saat ia mendengarkan ucapan dari bu Wiwin.
"Bu Erni, padahal keluarga Raharja itu kaya. Masa sih gak di kasih uang untuk pegangan hidup?" Tanya bu Wiwin. "Suruh tu si Kasih minta."
"Maaf ya bu Wiwin. Saya tidak pernah mengajarkan anak saya untuk meminta-minta. Lagian, apa ibu tidak malu berkata seperti itu pada saya?" Balas Bu Erni.
"Ya ampun janda miskin satu ini belagu banget. Harusnya kalian berterimakasih pada keluarga ku. Berkat Mia, Kasih bisa mendapatkan suami yang kaya raya."
Bu Erni hanya bisa bergeleng kepala, menanggapi orang seperti bu Wiwin hanya bisa bikin sakit kepala. Ia bergegas masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan ocehan bu Wiwin.
"Bu Wiwin kenapa sih suka banget ngusik keluarga kita bu?" Tanya Nada kesal.
"Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."
"Tapi bu, mbak Kasih kasihan bu. Dia harus menikah dengan laki-laki yang tidak dia cinta."
"Mbak mu sudah berkorban untuk kita. Setidaknya kita jangan memberatkan pikiran mbak mu ya."
"Pak Rahman benar-benar keterlaluan. Dia sudah banyak mengorbankan orang lain demi ambisinya."
"Huuuus,....jangan ngomong seperti itu. Kalau dia dengar habislah kita!"
Nada mendadak diam, ia benar-benar kesal pada keluarga Rahman.
Sementara itu, Kasih yang harus menemani Rangga perkebunan jeruk.
Lagi dan lagi, telinga Kasih harus mendengar hinaan dari beberapa orang yang berselisih jalan dengannya dengan Rangga.
"Kasih, ya ampun kamu mau aja ama modelan begitu. Nikah sama abang yuk, ganteng abang loh dari si tonggos itu."
"Sama abang aja Kasih. Kebun abang luas, wajah abang juga ganteng!" Sahut salah seorang lagi.
"Luas mana sama kebun mas Rangga?" Tanya Kasih, "kalau masih kalah jauh. Gak usah kebacotan!"
"Kasih, udah ayo....!!" Rangga menarik tangan Kasih, mengajak istrinya melanjutkan perjalanan.
"Gitu aja marah. Heran sama kamu, di pelet uang ya sama si tonggos dungu ini?"
Nafas Kasih keluar masuk tak beraturan, wanita ini mengambil batu kemudian melemparkannya ke arah beberapa pria yang sedang duduk-duduk itu.
"Sekolahin tu mulut. Jangan suka menghina fisik orang. Kek sempurna aja!"
"Udah ayo....!!"
Rangga menarik tangan Kasih secara paksa, akhirnya Kasih dan Rangga kembali melanjutkan perjalanan menuju perkebunan.
"Kasih, ibu mu masih jualan kue. Katanya suami mu kaya, kenapa tidak di beri uang yang banyak?" Tanya salah seorang ibu-ibu yang sedang duduk-duduk santai di depan rumahnya bersama beberapa ibu-ibu lainnya.
"Ibu-ibu, dari pada kalian duduk-duduk tidak jelas dan suka menggosipi kehidupan orang lain, ada baik kalian menyikat wc masing-masing biar bersih!" Sahut Kasih yang benar-benar kesal.
"Hiidiih,...si Kasih kalau di kasih tahu kok gitu sih jawabnya. Kamu gak kasihan sama ibu yang setiap hari harus bangun subuh bikin kue kemudian di jual. Punya suami kaya harusnya di andalkan dong!"
"Kok kasihan sama ibu saya?, ibu tuh yang harusnya di kasihani. Suami ibu pengangguran dan ibu juga pengangguran, tapi masih sempat-sempatnya duduk santai dan ghibah seperti ini. Gak malu sama panci di dapur?"
"Kasih, udah ayok. Jangan di dengerin. Kalau kamu lawan semua, kapan kita sampai ke perkebunannya?"
Sebenarnya Kasih belum puas melawan ibu-ibu durjana ini. Tapi, mau tidak mau ia harus menurut dengan omongan suaminya.