Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Masa Lalu Pilihan Mertua
Arman duduk di kursi kantor kecil di kamarnya, menatap layar ponsel dengan pandangan berat. Ia baru saja mengirim pesan ke Raya:
“Besok siang kita ke kantor KUA. Aku udah atur semuanya. Setelah itu, aku akan cari kontrakan buat kamu.”
Rasa lega bercampur gelisah. Bukan karena pernikahannya yang akan datang, tapi karena nama Diva yang terus berputar di benaknya.
Ia membuka galeri ponsel, menatap foto pernikahan mereka dulu. Diva tersenyum malu, sementara dia menggenggam tangan perempuan itu dengan penuh keyakinan.
"Maaf ya, Div… Aku cuma nggak mau semua jadi semakin kacau."
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu… keputusannya bukan untuk menyelamatkan siapa pun tapi untuk menghindari pilihan yang sulit.
*****
Di kamar, Arini duduk bersandar di dinding, koper terbuka, sebagian baju sudah tertata.
"Kalau aku pergi sekarang, dan Kak Diva nggak tahu apa-apa... dia bakal dikhianati dalam diam."
Arini berdiri, mondar-mandir.
Ia masih ingat jelas kata-kata ibunya: "Sudah, kamu jangan ikut campur. Ini urusan rumah tangga Abangmu, bukan kamu."
Tapi ia juga tahu, diam berarti membiarkan ketidakadilan terjadi. Ia membuka pesan lama dari Diva, membaca ulang:
“Makasih ya Rin, udah selalu ada.”
"Aku nggak bisa pergi. Bukan sekarang. Kak Diva harus tahu semuanya sebelum semuanya terlambat."
"Besok, aku akan bicara langsung ke Kak Diva. Aku nggak peduli dimarahin ibu. Aku nggak bisa lihat dia disakiti lebih dari ini."
Arini berdiri di halaman rumah, menjauh dari jendela kamar ibunya. Tangan gemetar saat ia menekan nama "Kak Diva" di layar ponsel.
Nada tunggu terdengar cukup lama.
Lalu…
“Halo?”
Suara Diva di seberang, terdengar tenang tapi terasa jauh.
“Kak… ini Arini…”
Hening sebentar, Arini menarik napas panjang.
“Aku harus jujur. Malam ini… ibu dan Bang Arman akan ke rumah Raya. Mereka bawa maksud untuk lamaran.”
Di ujung sana, suara Diva terdiam.
“Kak, aku tahu aku terlambat bilang… tapi aku nggak tahan lagi lihat semuanya kayak gini. Bang Arman… dia nurutin ibu. Dia pikir dengan menikah diam-diam, Kakak nggak akan sakit. Tapi Kak, Kakak berhak tahu.”
Terdengar isakan tertahan. Diva tak berkata sepatah kata pun, hanya keheningan yang membuat Arini menyesal tak lebih cepat bicara.
“Maaf ya, Kak. Maaf banget…”
Klik. Panggilan terputus. Arini terdiam menatap layar.
---
Malam Lamaran Rumah Raya
Bu Susan mengenakan kebaya sederhana, wajahnya terlihat puas. Arman hanya diam di samping, mengenakan batik gelap. Ia tak tersenyum, tapi juga tak menolak.
Mereka tiba di rumah Raya. Raya menyambut dengan senyum lebar, ibunya ikut menyambut Bu Susan dengan hangat.
“Langkah baik ini akhirnya datang juga,” ujar ibu Raya.
“Kita semua tahu Raya dan Arman memang jodoh yang tertunda.”
Bu Susan tersenyum manis, matanya berbinar.
“Saya ingin segera mengikat niat ini. Biar nanti tinggal cari waktu untuk akadnya.”
Raya mencuri pandang ke arah Arman.
“Kamu siap kan, Man?”
Arman mengangguk perlahan.
“Iya… siap.”
Tapi di hatinya, suara Diva tak berhenti menggema.
Rumah Kak Dira
Suara isakan keras membelah keheningan kamar. Diva terjatuh di lantai, lututnya lemas seolah tak sanggup menopang tubuh. Telepon genggamnya terlempar ke sisi tempat tidur, layar masih menyala dengan nama Arini.
Diva memeluk dirinya sendiri, menggigil. Napasnya sesak, dada terasa seperti diremas tanpa ampun.
"Kenapa... kenapa aku nggak cukup?" bisiknya di sela tangis.
"Apa salahku...?"
Kak Dira yang mendengar tangisan dari luar langsung bergegas masuk.
“Diva!” serunya panik, lalu tanpa ragu memeluk adiknya yang menggigil di lantai.
“Sstt… aku di sini, aku denger semuanya…”
Diva hanya menangis, lebih keras dari sebelumnya. Beban yang selama ini ia pendam akhirnya tumpah, luka yang ia tutupi kini terbuka lebar.
“Kak… dia mau nikah, diam-diam… sama Raya… agar ibunya… bahagia… seolah aku nggak pernah ada.”
Kak Dira mengelus punggung adiknya, menahan air mata sendiri.
“Kamu nggak salah, Div. Mereka yang salah. Tapi kamu harus kuat. Jangan biarkan mereka hancurin kamu lebih dalam.”
Rumah Arman
Malam itu, Arman pulang dengan wajah lelah. Lamaran diterima, semuanya berjalan sesuai keinginan ibunya. Bu Susan bahkan langsung di ruang tengah dengan wajah berseri.
“Alhamdulillah ya, Man. Akhirnya bisa juga kita satukan kamu dengan Raya. Sekarang kamu tinggal fokus cari tempat untuk dia nanti setelah menikah.”
Arman mencoba tersenyum, tapi di dalam dadanya terasa hampa.
Ia masuk ke kamar. Duduk di atas ranjang. Lalu memejamkan mata. Hening.
Tak ada suara Diva. Tak ada aroma parfumnya. Tak ada kertas catatan kecil di meja kerja seperti biasa. Semua terasa kosong.
Ia membuka laci… lalu menemukan bingkisan kecil. Surat dari Diva yang sebelumnya ia simpan, tapi belum ia hancurkan. Ia buka kembali. Dibacanya lagi…
“Bang Arman, kalau suatu hari aku tidak lagi ada di sisi abang… itu bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku sudah mencoba, dan abang memilih menutup mata.”
Tangan Arman gemetar.
Ia baru sadar malam ini, bukan hanya lamaran yang terjadi.
Ia baru saja kehilangan rumah tangga yang dulu ia jaga.
Tapi sekarang… sudah retak.
Dan bisa saja… tak akan kembali utuh.
Bagus, kita bisa selipkan keduanya dalam satu alur yang saling melengkapi. Yuk kita lanjut:
---
Rumah Kak Dira
Diva duduk di balkon kecil rumah kakaknya. Matanya sembab, tapi kini lebih tenang. Secangkir teh hangat di tangan, ia menatap langit pagi yang mendung.
Sisa tangis semalam masih terasa, tapi tidak lagi membuatnya lemah.
Kak Dira menghampiri, membawa selimut.
“Udara pagi ini agak dingin, jangan masuk angin.”
Diva tersenyum tipis.
“Makasih, Kak. Aku udah mikir semalaman…”
“Dan?”
“Aku nggak akan lari lagi. Aku akan tetap di sini. Aku akan menunggu Arman… untuk memilih. Tapi kali ini, kalau dia tetap diam, itu artinya dia memang melepaskanku.”
Kak Dira mengangguk pelan.
“Apapun keputusannya, kamu harus tetap utuh, Div.”
Rumah Arman
Arini sedang memasukkan pakaian ke dalam koper kecilnya. Suara gesekan resleting terdengar saat ia menutupnya. Bu Susan masuk ke kamar.
“Lho, kamu mau ke mana, Rin?”
“Kembali ke kota, Bu. Masih ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan. Lagian… aku juga udah cukup lama di sini.”
Bu Susan menatapnya curiga.
“Kamu nggak betah, ya?”
Arini tersenyum, tapi tak menjawab. Hanya berkata:
“Titip salam buat Bang Arman.”
Saat di halaman, Arman sempat menemuinya.
“Rin, kamu beneran mau balik?”
“Iya, Bang. Aku butuh jarak. Tapi bukan untuk lari.”
Arman menunduk, suara Arini pelan tapi menusuk:
“Kak Diva nggak salah, Bang. Dan ibu juga nggak sepenuhnya benar. Tapi aku… nggak mau lihat kak Diva terluka lebih dari ini. Aku pamit.”
Arini melangkah pergi, meninggalkan Arman yang diam terpaku.
Sore Hari Dua Rumah yang Penuh Diam
Diva berdiri di depan kaca, mengenakan pakaian rapi. Ia menatap bayangannya sendiri. Tak ada lagi isak. Hanya tekad.
"Aku siap. Jika kamu datang, aku akan mendengarkan. Tapi jika tidak... aku juga siap untuk pergi.”
Sementara itu di kamar Arman, ia menatap dua buah nama dalam benaknya: Raya dan Diva.
Satu di masa lalu yang penuh tuntutan.
Satu di masa kini yang pernah ia abaikan.
Hatinya gelisah. Tapi waktu terus berjalan.