Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mansion
Setelah segala tetek bengek urusan administrasi rumah sakit selesai, barulah siang itu Jelita benar-benar bersiap meninggalkan ruangan VIP yang selama beberapa hari menjadi tempat peristirahatannya.
Mama Acha membereskan barang-barang kecil ke dalam tas selempang, sementara Jelita duduk di tepi ranjang dengan wajah yang sedikit lelah tapi bersemangat. Senyumnya terus mengembang meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ia benar-benar ingin pulang.
Papa Rendy menghampiri dengan koper kecil di tangannya dan wajah agak tergesa.
“Sayang,” ucapnya sambil mencium kening Jelita, “Papa gak bisa ikut ngantar kamu pulang. Harus langsung ke bandara sekarang juga.”
Jelita mengangkat wajah, menahan sedikit kecewa. “Hah? Sekarang banget, Pa?”
“Iya, sayang. Klien dari luar negeri baru landing, dan Papa harus ikut pertemuan penting tiga hari, mungkin seminggu paling lama,” jelas Papa Rendy.
“Maaf ya, Lita, Papa gak bisa nemenin kamu sampai rumah,” ucap Papa Rendy lagi, suaranya penuh sayang.
Lalu Papa Rendy menoleh pada Mama Acha. Tatapan mereka saling bertemu, dan seolah sudah terbiasa, Mama Acha hanya menghela napas lalu tersenyum.
“Kamu berangkat aja. Aku dan Jelita bisa pulang sendiri, Aku suruh mang Maman jemput ke lobi.” katanya tenang.
Tapi sebelum benar-benar pergi, Papa Rendy melangkah ke arah sang istri, menariknya dalam pelukan hangat di depan Jelita yang langsung meringis geli.
“Duh, Papa Mama pelukan aja depan anak,” celetuk Jelita.
Papa Rendy terkekeh, lalu mencium kening Mama Acha penuh cinta. “Biarin, bentar lagi LDR seminggu, harus diisi vitamin rindu dulu.”
Mama Acha tersenyum malu, tapi wajahnya berseri. “Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa makan.”
“Siap, Bu Sekretaris sekaligus istri tercinta,” kata Papa Rendy sambil mengedipkan mata.
Setelah satu kecupan terakhir di pipi istrinya, ia pamit dan melangkah pergi. Jelita dan Mama Acha saling pandang, lalu tertawa kecil bersama.
“Sweet banget sih Papa. Kayak sinetron.”
“Makanya kamu cepet sembuh. Biar bisa drama juga sama calon kamu nanti,” balas Mama Acha sambil nyengir.
“Calon yang mana, Ma?” tanya Jelita sambil menaikkan alis, suaranya pelan tapi cukup jelas untuk terdengar di lorong rumah sakit yang mulai lengang.
Mama Acha terkekeh. “Yang mana aja boleh. Yang penting perhatian, sayang sama kamu, dan... bisa bikin kamu ketawa tiap hari.”
Jelita pura-pura cemberut. “Aduh, berat banget kriterianya. Kayak nyari malaikat.”
Mama Acha menyenggol pelan lengan putrinya. “Makanya jangan banyak milih, nanti keburu diambil orang.”
Mereka pun tertawa pelan bersama, suasana di antara ibu dan anak itu terasa hangat. Tanpa sadar, langkah mereka sudah hampir sampai di lobi rumah sakit. Matahari siang menyambut mereka lewat kaca-kaca besar, membuat suasana sedikit lebih cerah.
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam elegan berhenti di depan pintu utama. Seorang pria paruh baya turun dari kursi sopir, mengenakan topi khas dan seragam hitam rapi. Senyum ramahnya langsung merekah saat melihat keduanya.
“Mang Maman!” seru Mama Acha.
“Assalamualaikum, Nyonya. Non Jelita. Alhamdulillah, sehat-sehat semua ya,” ucap Mang Maman sembari cepat-cepat membuka bagasi, lalu mengambil koper kecil dan tas selempang milik Jelita.
“Waalaikumsalam, Mang,” jawab Jelita, tersenyum lebar. “Udah lama nungguin?”
“Enggak, Non. Tadi Mang Maman muterin rumah sakit dulu, takut Non-nya udah nunggu di tempat lain.”
Setelah memasukkan barang-barang ke bagasi, Mang Maman membuka pintu belakang dengan sopan.
“Mari, Nyonya, Non. Hati-hati duduknya ya, Non. Biar nyaman,” katanya perhatian.
Jelita tersenyum kecil sambil duduk di jok belakang. “Makasih, Mang.”
Mama Acha ikut duduk di sampingnya. Setelah pintu ditutup, mobil pun perlahan meninggalkan rumah sakit.
Di dalam mobil, suasana terasa hangat dan ringan. Mama Acha yang duduk di samping Jelita, membuka obrolan sambil memperhatikan detail baju yang dikenakan putrinya.
“Lita, kamu tuh cocok banget loh pakai warna soft gini. Bikin kamu kelihatan kalem tapi tetep manis.”
Jelita menunduk sedikit, menatap baju warna pastel yang ia kenakan. “Hmmm, iya kah ma?”
“Dulu kamu sukanya warna gelap mulu. Hitam, abu, navy. Sekarang kita coba ubah koleksi di lemari, ya. Mama mau nemenin kamu belanja online nanti sore!”
Jelita terkekeh pelan. “Aduh, bisa-bisa seharian duduk depan layar. Tapi boleh juga sih, kita cari baju couple aja, Ma.”
“Ooh, kamu ngajakin mama couple-an?” Mama Acha langsung tersenyum lebar. “Mama terharuuu!”
Mereka berdua tertawa kecil, tawa yang tulus dan ringan, hal yang sudah lama tak terdengar di dalam mobil itu.
Dari kaca spion, Mang Maman sempat melirik ke belakang. Wajahnya yang biasanya datar kini membentuk senyum kecil.
Dalam hati, ia merasa hangat. Saat tadi tiba di rumah sakit dan memberi salam, Mang Maman sempat terkejut saat Jelita membalas dengan ramah. Biasanya, gadis itu hanya diam atau sekadar mengangguk tanpa ekspresi. Tapi tadi, beda. Bahkan saat diajak bicara, Jelita menjawab dengan antusias. Senyum pun tak pernah absen dari wajahnya.
Sekarang, ia melihat Nyonya dan nona muda itu berbincang hangat, membicarakan baju, belanja, dan tawa yang menyambung di antara mereka. Sebuah pemandangan yang langka selama beberapa bulan terakhir.
Entah ini harus Mang syukuri atau sedihkan, pikir Mang Maman dalam hati. Tapi yang jelas, Mang seneng. Non Jelita sekarang seperti dulu lagi. Terbuka, ceria, gak dingin kayak kemarin-kemarin.
Ia menarik napas pelan, lalu kembali fokus menyetir. Tapi senyum itu tetap tersimpan di wajah tuanya.
Mobil perlahan memasuki halaman kediaman keluarga Yunanda. Begitu gerbang otomatis terbuka, pandangan Jelita langsung disambut oleh taman yang luas dengan rumput hijau yang tertata rapi. Beberapa air mancur kecil menghiasi sisi kanan dan kiri jalan masuk. Rumah besar berarsitektur modern-klasik itu tampak megah berdiri, seolah menegaskan status “sultan” dari pemiliknya.
Begitu mobil berhenti, Jelita menatap keluar jendela, matanya membesar.
“Ini kediaman ku? Serius?” gumamnya pelan, nyaris tak percaya. “Gede banget.”
Di halaman depan, berjejer mobil-mobil sport dengan berbagai merek mahal. Motor-motor sport berkilau terparkir tak jauh dari situ. Rasanya seperti masuk ke dalam pameran otomotif pribadi.
Jelita membelalak. “Banyak amat kendaraannya, Mang.”
Mang Maman yang membuka pintu mobil untuk Jelita hanya terkekeh sambil menurunkan barang-barang dari bagasi, dibantu salah satu pengawal rumah yang langsung sigap.
“Oh itu, Non. Kendaraan milik Den Reza dan Den Raza. Teman-teman mereka juga banyak yang kesini dari tadi. Kayaknya memang nungguin kedatangan Non Jelita,” jawab Mang Maman ramah, senang melihat nona mudanya begitu ekspresif lagi.
Mama Acha berdiri di sisi pintu, tersenyum sambil menggandeng lengan putrinya.
“Ayo, sayang. Masuk dulu.”
Jelita menoleh ke ibunya, lalu kembali melihat ke sekeliling mansion. Hatinya terasa aneh. Campuran antara kagum, haru, dan bingung.
Jadi ini hidup ku sekarang? Jelita Yunanda sultan bener hidupmu? Gila, hidup siapa sih yang aku rebut di dunia novel ini? Tapi ya ampun, mewah banget, jauh dari mewah kehidupan di dunia nyata ku.
Dia menarik napas panjang, lalu melangkah perlahan mengikuti sang mama.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺