Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menagih Hutang
“Saya Weko, Bu. Sepupu dari Mbak Sintya.” Weko memperkenalkan diri kepada Ibu Ranti saat baru saja sampai mengantarkan Inaya.
“Terima kasih sudah mengantarkan anak saya. Sebaiknya Anda kembali sebelum mengundang penasaran orang lain.” Jawab Ibu Ranti tanpa menyambut uluran tangan Weko.
“Baik, Bu. Saya pamit.” Weko menurunkan tangan dengan tetap tersenyum.
“Aku pulang dulu, Dek!”
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.” Inaya menganggukkan kepalanya dengan sedikit sungkan karena sikap Ibu Ranti.
Setelah Weko tidak terlihat, Inaya masuk ke dalam rumah. Sang ibu yang sudah menunggunya segera mencegahnya masuk ke dalam kamar.
“Siapa laki-laki itu?”
“Mas Weko, Bu. Sepupunya Mbak Sintya.”
“Jangan dekat-dekat dengannya! Lain kali jangan mau diantarkan pulang! Bisa heboh sekampung nanti.”
“Kalau aku bisa nolak, aku akan menolaknya, Bu.”
“Sepupu Sintya, sudah pasti pekerjaan miyang!”
“Memangnya kenapa kalau miyang, Bu?”
“Orang-orang yang berangkat miyang itu rata-rata pemabuk! Mereka suka minum karena hanya itu yang bisa membuat mereka tetap hangat di atas kapal.”
“Ibu tahu dari mana?”
“Banyak pedagang kenalan Ibu di pasar yang cerita.”
“Rata-rata berarti tidak semuanya kan, Bu?”
“Tetap sama saja! Mungkin tidak pemabuk, tetapi kalau di atas kapal minum ya tetap saja Namanya mabuk!” ketus Ibu Ranti yang kemudian meninggalkan Inaya ke dapur.
Inaya tidak tahu mengapa sang ibu bersikap seperti itu. Selama ini memang sikap Ibu Ranti selalu ketus saat ada teman laki-lakinya yang mengantarkan pulang ataupun sekedar berkunjung. tetapi tidak sampai benci seperti saat ini.
Ia mengabaikannya dan masuk ke dalam kamar meletakkan tasnya dan membawa ikan panggang yang dibawakan Ibu Sintya ke dapur.
“Tidak ada kulkas, tidak bisa disimpan lama-lama. Kamu antarkan Sebagian ke rumah Budhemu sana!” kata Ibu Ranti yang melihat banyaknya ikan panggang P yang dibawa Inaya.
“Anif mana, Bu?”
“Tidak tahu. Katanya mau main ke rumah Lala tadi.”
Niat Inaya ingin meminta Anif yang mengantarkan ikan panggang, gagal. Terpaksa ia yang mengantarkannya sendiri.
Sampai di rumah Budhe Inaya, ia melihat beberapa sepupunya berkumpul di teras rumah. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu. Tentu saja Inaya bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan, yaitu dirinya.
“Budhe, ini ikan panggangyang saya bawa dari pesisir tadi.” Kata Inaya yang memberikan bungkusan plastic kepada Budhe Rini.
“Terima kasih, Na. Kalau kamu mau nitip simpan di kulkas, bisa kamu bawa kemari!”
“Iya, Budhe.”
Dalam hati Inaya memilih untuk memakannya sampai habis daripada dititipkan di kulkas yang mana akan hilang saat dirinya hendak mengambilnya. Bukan karena tidak ridho, ia hanya tidak suka cara keluarga dari pihak ayahnya itu memanfaatkan keadaan keluarganya.
Bisa saja mereka izin terlebih dahulu kepadanya dan ia tentu saja akan mengizinkannya. Tetapi mereka justru berkilah dengan mengatakan mereka tidak tahu jika barang yang ada di kulkas adalah titipanInaya.
“Siapa tadi, Na?” tanya sepupu Inaya, anak pertama dari Budhe, Idris.
“Teman, Kang.”
“Teman tapi mesra, ya?” timpal sepupu satunya, Rumi.
“Tidak, Mbak. Itu sepupu Mbak Sintya.”
“Owalah! Lain kali kalau ke sana, bisa bawakan cumi kering yang seperti biasanya, tidak?”
“Saya membawa apa yang mereka berikan, Mbak. Maaf saya pamit dulu, masih harus nyetrika.” Inaya buru-buru pergi karena ia tidak mau pembahasan mereka semakin membuatnya muak.
Ini adalah alasan kedua Inaya tidak begitu dekat dengan keluarga pihak sang ayah. Mereka hanya bisa iri dengan apa yang keluarga Inayah punya, sehingga seringkali memojokkan keluarganya saat mereka sedang dalam kesusahan.
Sampai di rumah, Inaya langsung masuk ke dalam kamar dan menyetrika pakaian yang akan ia gunakan bekerja besok.
Malam harinya, Inaya mendapatkan pesan dari nomor baru yang mengatakan jika dirinya adalah Weko yang meminta nomor dari Sintya. Inaya tidak membalasnya dan pergi untuk tidur.
Keesokan paginya, Inaya kembali mendapatkan pesan dari Weko yang menawarkan diri untuk menjemputnya. Tapi lagi-lagi Inaya mengabaikannya dan segera bersiappergi bekerja.
“Na, hari ini Pak Anto izin. Tolong kamu gantikan dia untuk penagihan!” kata Nuri
“Penagihan? Daerah mana, Mbak?”
“Daerah Gegunung. Apa kamu tahu?”
“Gegunung, aku hanya tahu sedikit. Apakah tidak ada yang lain?” tanya Inaya ragu.
Selama bekerja setengah tahun ini, ia hanya sebagai admin yang merekap penagihan. Ia tidak pernah keluar kantor untuk melakukan penagihan langsung. Ia bahkan tidak tahu seluk beluk kota tempat tinggalnya karena ia jarang sekali pergi ke mana-mana. Tempat-tempat yang ia tahu hanyalah tempat yang pernah ia kunjungi saat ada kegiatan ataupun karena ada saudara yang tinggal di sana.
“Tidak ada lagi. Tolong ya, Na?”
“Baiklah.”
Inaya terpaksa menerimanya karena hanya ada dua admin di cabang yang ia tempati. Tidak mungkin ia meminta Nuri yang saat ini sedang hamil, sehingga dirinya pergi ke daerah Gegunung dengan menggunakan motor kantor.
Ada 5 orang yang perlu ia tagih di daerah ini. Berhubung Sintya juga tinggal di daerah Gegunung, Inaya menanyakan nama-nama tersebut kepadanya sebelum berangkat.
“Mali dan Nandar ada di ujung jalur gang masuk ke rumahku, Dek. Kalau 3 lainnya, sebaiknya kamu diantarkan Dek Weko. Aku takut kamu nyasar.”
“Aku tidak mau merepotkan, Mbak. Kasih tahu arahnya, aku akan menghafalkan jalannya.”
“Tidak perlu sungkan, Dek. Anggap saja Dek Weko itu penunjuk jalan, kamu tidak merepotkannya!”
“Tap..”
“Sudah, tidak usah menolak! Dek Weko akan menunggumu di depan gang.” Mau tak mau, Inaya tidak lagi mendebat.
Ia menjalankan motornya menuju daerah Gegunung yang menuju ke arah barat. Beberapa menit kemudian, Inaya sampai di depan gang dan menemukan Weko sudah menunggunya di dduduk di atas motor.
Tanpa berkata apapun, Weko mendahului Inaya. Inaya mengikutinya dari belakang dan mereka sampai di sebuah rumah yang ada di paling ujung gang. Ia melakukan penagihan, lalu lanjut ke rumah selanjutnya yang berjarak 10 meter. Setelah itu, barulah Inaya mengikuti Weko yang menjalankan motornya keluar dari gang dan berbelok kanan.
Lurus beberapa meter, kemudian belok kiri masuk gang. Belok kanan, belok kiri sampai ujung dan belok kanan lagi, barulah mereka sampai di rumah orang ketiga.
“3 deret ini adalah rumah yang kamu perlu tagih. Aku akan menunggumu di sini.” Kata Weko.
“Terima kasih, Mas.” Inaya menganggukkan kepalanya.
Weko tersenyum melihat Inaya yang terlihat menghargainya. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Inaya yang menagih dan mencatat uang yang dibayarkan. Sampai di rumah ketiga, Inaya mendapat bentakan dari pemilik rumah. Weko segera mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Bug!”