Tania seorang gadis yatim piatu yang tinggal bersama paman dan bibinya yang kebetulan tidak memiliki keturunan. Di usianya yang ke 20 tahun ini Tania harus berjuang sendiri melanjutkan hidupnya karena paman dan bibinya pun sudah meninggal dunia.
Memiliki seorang sahabat yang baik, tentu merupakan anugerah bagi Tania. Shasa adalah sahabat yang selalu ada untuknya. Mereka bersahabat mulai dari SMA. Siapa yang menyangka persahabatan mereka akan berubah menjadi keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dosen baru
Dua hari kemudian, tepatnya hari senin.
Sekitar jam 1 siang, Tania sudah pulang dari counter. Ia segera mandi dan shalat Dhuhur. Ia tidak sempat untuk makan siang karena mengejar waktu. Ia harus buru-buru berangkat kuliah agar tidak telat.
Setelah selesai bersiap, Tania segera berangkat jalan kaki halte yang cukup dekat dengan gang rumahnya. Saat ini ia sedang menunggu bus untuk menuju kampus. Sekitar 5 menit kemudian bus pun datang. Tania segera naik dan mencari tempat duduk. Untungnya masih ada tempat duduk yang tersisa.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk saksi ke kampus. Namun karena hari ini agak macet, jadi perjalanannya molor 10 menit.
Sekitar jam 14.05 Tania baru sampai di kampus, Cepat-cepat ia berjalam pergi ke kelasnya. Kelasnya cukup jauh, sehingga membutuhkan waktu 3-5 menit untuk sampai. Beberapa notif di handphonenya ia abaikan.
Sedangkan di dalam kelas, Shasa sedang ketar ketir menunggu Tania yang belum datang.
"Duh kemana sih Tania. Nggak biasanya telat. Mana dosennya killer lagi." Batin Shasa.
5 menit kemudian Tania sampai di depan kelas. Pintu kelas sudah tertutup. Dengan berat hati Tania mengetuknya.
Tok tok tok
Dosen pun melangkah mendekati pintu dan membukanya.
Dengan tertunduk lesu, Tania langsung meminta maaf.
"Maaf Pak, tadi di jalan macet, jadi saya telat. Saya janji lain kali tidak lagi Pak."
"Telat tetap harus dihukum. Kedisiplinan itu nomer satu. Bagaimana jadinya nanti kalau sudah jadi guru."
Mendengar suara yang familiar di telinganya, Tania pun mengangkat kepala.
"Abang.... jadi dosen gantinya Pak Anam bang Saif." Batinnya.
"Oh jadi ini yang disebut anak baik kata bunda." Batin Saif.
"Siapa namamu?"
"Pake nanya, kan udah tahu." Batin Tania.
"Kamu masih bisa mendengar kan? "
"Eh iya, maaf Pak. Nama saya Tania. Saya siap menerima hukuman."
"Duduk dulu, hukumannya nanti menyusul. Saya tidak mau yang lain terganggu."
"Baik, Pak."
Tania berjalan menuju tempat duduknya.
"Sha, kamu kok nggak ngasih tahu aku kalau dosen barunya abangmu?" Lirihnya.
"Aku juga malah baru tahu, Tania. Aku sudah chat kamu dari tadi tapi nggak dibaca."
"Ehem... baik kita mulai perkuliahan hari ini. Yang ingin ngobrol silahkan di luar."
Tania dan Shasa langsung tutup mulut.Mereka berdua benar-benar dibuat syok hati ini dengan kehadiran Saif sebagai dosen yang menggantikan Pak Anam. Itu artinya mereka akan bertemu dengan Saif di kelas setiap dua kali dalam seminggu
Selama jam perkuliahan Saif menjelaskan dengan detail. Mahasiswa mengamati dengan melihat. Mereka tidak ingin kena hukuman oleh dosen baru yang kelihatannya garang.
Saif baru masuk hari ini. Ia masuk mulai dari pagi. Ia mengajar di beberapa kelas pada tingkat semester 5 sebagai dosen mata kuliah Pembelajaran Sosial emosional.
Di tengah perkuliahan, Saif membuka sesi pertanyaan untuk mahasiswanya. Tania yang biasanya aktif bertanya saat dosen memberi kesempatan, kali ini memilih untuk diam.
"Baik, kalau kalian tidak ada yang bertanya, artinya kalian sudah paham. Kalau begitu saya yang akan bertanya." Tegas Saif.
Suasana kelas pun menjadi tegang.
"Dalam menghadapi peserta didik yang beragam karakternya, apa upaya kita untuk memahami setiap kemampuan mereka? Dari penjelasan saya tadi, tentu kalian sudah dapat menjawabnya."
Mahasiswa sebanyak 25 orang di dalam jelas itu saling menoleh.
"Ada 25 orang di sini. Masa' tidak ada yang bisa menjawab?"
Shasa menyenggol lengan Tania.
"Cepat jawab, Tania!" Bisiknya.
Tania masih belum berkutik. Tiba-tiba Saif angkat suara.
"Tania, kalau kamu bisa menjawab, saya akan melupakan hukuman mulai. Anggap saja ini sebagai gantinya." Tegas Saif.
Mata Tania langsung berbinar mendengarnya. Dengan kemampuan intelektualnya yang tinggi, Rania pun mencoba memberikan jawaban.
"Untuk memahami kemampuan peserta didik yang beragam, kita perlu melakukan observasi perilaku, memahami gaya belajar dan latar belakang mereka, serta menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua. Dengan memahami karakteristik individu, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, menggunakan berbagai metode pembelajaran, dan memberikan dukungan individual agar setiap siswa dapat berkembang sesuai potensinya. Begitu kira-kira, Pak. Maaf kalau salah."
"Jawabannya sangat tepat. Beri apresiasi untuk Tania."
Semua mahasiswa memberi tepuk tangan untuk Tania.
"Sesuai janji saya, hukumanmu sudah lunas."
"Alhamdulillah, terima kasih Pak."
Beberapa menit kemudian, Saif mengakhiri materi. Ia keluar dari kelas.
"Ya ampun, itu si bapak dosen ganteng banget tapi galaknya minta ampun!" Ujar seorang mahasiswi.
"Iya ih! Baru masuk tadi aku sudah terpesona." Sahut yang lainnya.
Tania dan Shasa hanya bisa menahan tawa mendengar komentar mereka. Mereka tidak tahu jika Saif adalah abang Shasa sekaligus putra dari pemilik universitas tersebut.
"Tania, untung kamu bisa jawab. Kalau tidak, aku tidak tahu abang bakal beri kamu hukuman apa."
"Hehe... iya. Lapar banget Sha, tadi belum sempat makan. Ke kantin yuk!"
"Ayuk."
Mereka berjalan menuju kantin.
Sampai di kantin mereka menesan gado-gado dan es teh. Sambil menunggu pesanan datang, mereka ngobrol tentang Saif.
"Aku juga syok tadi pas tahu abang yang gantiin Pak Anam lho. Bunda dan Ayah juga nggak ada bahas itu di rumah."
"Berarti abangmu menetap di sini, Sha?"
"Hem, sepertinya begitu. Duh, alamat kebebasanku semakin terbelenggu."
Tania tertawa mendengar keluhannya Shasa.
Akhirnya pesanan mereka datang. Mereka pun menikmatinya.
Setelah selesai makan, Shasa membayarnya.
"Sha, kali ini aku yang traktir kamu." Ujar Tania.
"Tidak, aku saja."
"Ayolah Sha. Kamu sering mentraktir ku. Sekarang giliranku."
Shasa tidak ingin membuat sahabatnya kecewa. Ia pun mengiyakannya. Dari kantin, mereka langsung ke Musholla untuk shalat Ashar. Setelah itu mereka kembali ke kelas untuk mengikuti mata kuliah berikutnya.
Sekitar jam 17.00, mereka keluar dari kelas. Pulang kuliah, kadang Shasa akan mengantar Tania pulang meski jalannya tidak searah. Namun kali ini karena sudah hampir maghrib, Tania menolaknya. Ia memilih untuk naik bus saja.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya."
"Iya Sha, kamu juga. Dah... "
Tania duduk di halte depan kampus menunggu lewat. Tidak butuh waktu lama bus pun datang. Tania langsung naik.
20 menit kemudian, Tania sampai di gang. Ia berjalan cepat-cepat agar segera sampai di rumah karena adzan Maghrib sudah berlalu 10 menit yang lalu. Ia meletakkan tasnya di atas laci lalu membuka pakaiannya. Ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu'. Setelah itu, ia melaksanakan shalat Maghrib. Setelah selesai shalat, Tania berdo'a. Dalam setiap do'anya tak jarang ia menangis. Kali ini pun ia menangis.
"Ya Allah lindungi hamba dari segala marabahaya, dari segala musibah, dan segala penyakit. Karena hanya Engkau-lah sebaik-baiknya pelindung. Aamiin... "
Bersambung...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Biar lebih gampang merawat Tania dan full pahala
Aku yakin ayah ,bunda sama Sasha setuju
semoga cepat sembuh dan kabar bahagia untuk Tania soon y Thor 🤲🥰