Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Usianya 24 tahun, baru lulus dari universitas ternama sebagai ahli farmasi. Seharusnya ini jadi awal hidup baru. Tapi setelah ayahnya, Tuan Arun, meninggal setahun lalu, hidupnya berubah drastis. Ibu tiri yang dulu tersenyum manis mendadak mengusirnya, melemparkan semua barangnya keluar rumah tanpa rasa kasihan.
Dan kini, panti asuhan tempatnya tinggal sat diusir dari rumah pun tak bisa lagi menampungnya.
“Panti hanya untuk anak-anak, Nak … bukan untuk wanita dewasa,” ucap Ibu Panti sendu. Tidak ada yang salah, tapi tetap terasa menyakitkan.
Sore itu, Kinara menyusuri perumahan elit di pusat kota, mencoba mencari kontrakan murah, sesuatu yang mustahil di daerah semahal itu. Tapi harapan sering kali muncul di tempat yang salah.
Langkahnya terhenti ketika melihat tiga anak laki-laki mengerubungi seorang bocah kecil. Mereka mendorongnya, menertawakan kelemahannya.
Refleks, Kinara maju, “hei, Kalian ngapain?!”
Anak-anak itu terkejut dan mundur. Bocah yang dibully berkulit putih pucat, mata besar yang basah, rambut rapi menatap Kinara seperti baru melihat penyelamat.
Lalu suara itu menggema, “Mommy!”
Kinara membeku. “A-apa?”
Tapi bocah itu langsung menangis histeris.
“Mommy nggak mau Aska lagi, ya? Mommy mau buang Aska!” Suaranya memecah ketenangan sore.
Penduduk sekitar berhenti. Tatapan menghakimi mulai datang bertubi-tubi.
“Astaga … mau buang anak?”
“Kejam banget ibunya…”
“Cantik-cantik tapi begitu…”
Kinara hampir roboh. “Bukan! Aku bukan...”
Namun tangis Aska makin keras sampai telinganya berdenging. Kinara panik luar biasa.
“Hey, hey … jangan nangis, nanti orang-orang salah paham…”
Tiba-tiba bocah itu merapat dan berbisik cepat, “Kalau kakak cantik mau ngaku Mommy Aska … Aska diem.”
Kinara hampir melolong. “A-apa?!”
Tangisnya makin melengking. Akhirnya Kinara mengangkat tangan seperti menyerah pada takdir.
“Baik! Baik! Aku Mommy kamu! Sekarang diem, ya!”
Sekejap, tangis itu hilang. Aska mengedip manis, menyeka pipinya sendiri, lalu menggenggam tangan Kinara.
“Ayo pulang.”
“Pulang?! Pulang kemana?!”
Aska menoleh, pura-pura mau menangis lagi. Kinara menutup mulutnya buru-buru.
“Jangan nangis! Astaga … kamu itu ngerjain aku, ya?!”
Aska cekikikan, lalu dengan lantang menakut-nakuti anak-anak yang membullynya.
“Awas ya! Ini Mommy aku! Ibu tiri paling jahat, monster pemakan anak nakal!”
Tiga bocah itu langsung kabur ketakutan. Kinara memegangi pinggangnya, frustasi.
“Astaga … kamu itu kenapa sih?!”
Aska langsung memeluk pahanya.
“Mommy ikut Aska pulang … please…”
Sebentar saja, sesaat saja dan tapi tatapan polos itu merontokkan seluruh benteng pertahanan Kinara. Ia akhirnya mengangguk pasrah. Rumah yang mereka datangi bukan rumah tetapi itu seperti istana.
Gerbang besar terbuka otomatis, taman hijau terawat, dinding kaca tinggi, mobil-mobil mewah berderet. Pelayan berbaris menyambut kedatangan Aska.
“Tuan muda Aska!” seru seorang pelayan. “Kami sudah menghubungi Tuan Arman. Kami sangat khawatir...” Ucapan pelayan itu menggantung saat melihat sosok Kinara berdiri di sebelah Aksa.
Aska menunjuk Kinara.
“Mommy ikut masuk, ya. Kalau Mommy nggak masuk, Aska juga nggak mau masuk!”
Para pelayan serempak menatap Kinara seolah melihat makhluk dari planet lain.
“Mommy…?”
Kinara ingin lenyap dari muka bumi. Ia dibawa masuk ke ruang tamu megah dengan lampu kristal bergemerlap. Para pelayan berdiri mengelilinginya seperti penjaga keamanan mengawasi tahanan kelas A.
Kemudian di luar beberapa saat kemudian terdengar suara mobil. Semua pelayan langsung meluruskan tubuh, berbaris rapi, menunduk.
Pintu utama terbuka, seorang pria memasuki rumah dengan aura yang membuat udara berubah dingin. Rahang tegas, wajah tampan tanpa senyum, mata sedingin baja, namun ia duduk di atas kursi roda. Didampingi oleh asistennya, Rudi.
Dia Tuan Arman Pramudya. CEO muda, dikenal kejam dalam bisnis, dingin dalam kehidupan pribadi. Dan kini, tatapan membedah jiwanya jatuh tepat pada Kinara.
Aska berlari memeluk kaki kursi roda ayahnya. “Daddy! Ini Mommy baru Aska!”
Rudi membeku, para pelayan menahan napas. Kinara ingin kabur dari jendela. Namun Arman menatapnya tanpa kedip, tanpa suara, tanpa ekspresi namun cukup untuk membuat jantung Kinara hampir berhenti.
Keheningan yang menggantung terasa begitu tebal hingga Kinara bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Arman tetap menatapnya seperti sedang menganalisis ancaman, bukan seorang wanita muda yang bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi.
Tanpa mengalihkan tatapannya dari Kinara, Arman berkata dingin,
“Rudi.”
Asistennya segera menunduk. “Ya, Tuan.”
“Tanyakan padanya … berapa jumlah uang yang dia butuhkan.”
Kinara membelalak, Rudi menelan ludah, menoleh dengan ragu ke arah Kinara.
“E… Nona. Tuan Arman ingin mengetahui … jumlah uang yang Anda harapkan.”
'Uang?' Kinara merasakan darahnya naik ke kepala. Ia berdiri dari sofa dengan kasar, membuat para pelayan serempak menegang.
“Maksudnya apa Anda tanya begitu?!”
Arman masih diam. Tatapannya tetap dingin, tak tergoyahkan sedikit pun. Kinara menunjuk Aska.
“Anak Bapak ini yang nyeret saya sampai ke sini! Bukan saya yang datang minta-minta uang!”
'Bapak? Apa saya setua itu?' kening Arman berkerut.
Pelayan langsung terkejut. Beberapa menutup mulut, beberapa menunduk, bahkan Rudi sempat memegang dadanya sendiri karena kaget. Kinara melanjutkan, suaranya meninggi tanpa bisa ia kendalikan.
“Saya nggak butuh uang Bapak! Saya bahkan nggak tahu ini rumah siapa sampai saya masuk! Aska yang terus paksa saya ikut! Jadi jangan beraninya nuduh saya seakan saya datang buat minta bayaran!”
Ruangan itu mendadak hening yang luar biasa mematikan. Para pelayan terpaku. Tak ada satu pun yang pernah mendengar seseorang berbicara seperti itu pada Arman Pramudya.
Seorang pelayan senior bahkan berbisik pelan,
“Ya Tuhan … ini pertama kalinya ada yang berani memaki Tuan Arman sejak kecelakaan itu…”
Arman tidak bergerak, tidak berkedip. Tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun. Tatapannya berubah bukan marah, bukan kesal tapi seperti seseorang yang menemukan puzzle baru yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Aska justru tersenyum lebar, bangga luar biasa.
“Daddy, Mommy berani ya? Keren sekali kan?”
Kinara hampir meraih anak itu dan menutup mulutnya.
Rudi menelan ludah. “Tuan … apakah saya harus...”
Arman mengangkat tangan sedikit, menghentikan kalimat itu. Ia akhirnya membuka suara, rendah dan datar.
“Wanita biasanya datang ke rumah ini untuk dua alasan,” ucapnya pelan, namun dinginnya menusuk tulang. “Uang … atau perhatian.”
Kinara mendengus kesal. “Kalau begitu saya bukan wanita biasanya.”
Arman menaikkan sedikit alisnya seolah itu sudah termasuk ekspresi keterkejutan terbesar yang bisa ia tunjukkan.
Ia menatap Rudi lagi.
“Bawa dia ke ruang kerja.”
Rudi membelalak. “Ke … ruang kerja, Tuan?”
Semua pelayan menoleh dengan ekspresi tidak percaya. Tidak ada wanita asing bahkan partner bisnis yang diizinkan masuk ruang kerja Arman sejak kecelakaan itu.
Arman kembali menatap Kinara.
“Kalau kau mengatakan kebenaran,” katanya dingin, “kau akan menjelaskannya langsung padaku. Tanpa drama anak kecil.”
Kinara menggertakkan gigi. Aska langsung memeluk kaki Kinara erat-erat.
“Mommy harus ikut! Daddy jangan marahin Mommy, ya!”
Arman menatap anaknya, untuk sesaat ada kilatan lembut namun hilang secepat embusan napas. Kinara menelan ludah, menatap kursi roda Arman, menatap tatapan dinginnya, pria itu bahkan tak pernah senyum sejak memasuki ruangan itu.
"Rudi,"
"Iya, Tuan."
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat