NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:441
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Kontrak Kerja

"Kamu dari generasi keberapa?" tanya pria berpedang itu.

Sulay mengepalkan tangan kanannya dan berlari menghantam pria itu sambil menjawab:

"122!"

Pedang dan tinju saling berbenturan. Gue tiarap di samping kuburan. Yang gue heran adalah, kenapa tangan Sulay bisa aman-aman aja walau berbenturan dengan pedang yang bahkan bisa membelah dua batu nisan? Apa tangannya kecampur semen, ya? Pria berpedang itu terlihat santai bahkan menikmati pertarungan. Malah Sulay yang mulai kewalahan.

"Kalau generasi sekarang cuma sebatas ini, bagaimana mungkin kalian kembali ke masa kejayaan!?"

Sulay menangkis pedangnya, tapi sayang dia tetap terlempar.

"Dari dulu saya sudah bilang, penaklukkan dengan jalan pedang jauh lebih baik!"

Sulay mengubah bentuk tinjunya menjadi semacam bentuk cengkraman.

"Tapi si pendek itu malah mengubahnya menjadi bisnis! Wajar kalau sekarang kalian jadi lemah!"

Pria itu mengayunkan pedangnya ke arah Sulay. Dengan berani Sulay menahan pedang itu dan mencengkramnya. Bukan darah yang keluar, melainkan percikan api seperti dua besi yang sedang bergesekan.

"Lumayan juga kamu!" kata pria itu.

Dia mencoba menarik pedangnya, tapi Sulay berusaha keras tetap menahannya.

"Paling tidak, beliau masih punya rasa peduli sama bawahannya!" sahut Sulay.

"Itu yang membuat kalian lemah! Lihat saya! Bertarung seorang diri lalu berdiri di puncak kemenangan. Karena yang namanya juara hanya ada satu orang!"

Sulay berpaling ke arah gue yang dari tadi memegangi kaki gue yang luka. Enggak tahu kenapa, saat dia menatap seperti itu, gue seakan ngerti bahwa dia punya sebuah rencana. Rencana besar yang melibatkan gue untuk bisa kabur dari pria berpedang itu.

"Apa serunya jadi pemenang kalau gak punya teman untuk merayakan!?"

Sulay menarik pedangnya yang langsung terlepas dari genggaman pria itu. Dia menatap gue, dan melempar pedang itu ke samping gue yang masih tiarap. Pria itu kesal sekali dan memukuli kepala Sulay sampai keluar darah dari hidungnya! Gue emang baru kenal dia hari ini. Namun, kalau bukan karena dia, luka gue pasti bukan di kaki doang.

Gue meraih pedang yang tergeletak di samping gue. Gue gak pernah memegang pedang apa pun selain pedang mainan waktu kecil. Gue segera meraihnya, dan berlari ke arah pria itu. Tentu aja gue gak tahu cara mengayunkannya. Namun, gue sangat terlatih melempar joran pancing. Gue lakukan cara yang sama terhadap pedang ini.

"Strike!" kata gue, seperti biasanya kalau lagi mancing.

Pedang sepanjang 1 meter itu mengenainya! Dia memegangi perut kirinya yang mengeluarkan darah. Gue menangkap Sulay yang hampir pingsan. Pria itu meringis kesakitan dan seakan gak peduli lagi sama kami. Gue jadi heran, sejak tadi dia bilang soal orang nomor satu di dunia, lah, seorang penakluk, lah, puncak kejayaan, lah. Masa kena tebas dari tukang pancing kayak gue aja sudah sedramatis itu?

"Ambil ... pedangnya!" kata Sulay dengan pelan.

Gue kembali mengangkat pedang itu, dan pria itu menatap gue.

"Saya selau mencari kematian dengan pedang. Bukan dengan menua."

Sambil memegangi perutnya, dia berdiri di depan gue dan Sulay.

"Ambil nyawa saya, dan pedang itu jadi milik kamu."

"Oke, Pak."

Gue mengayunkan pedang itu sekali lagi.

"Strike mania!" kata gue.

Gue menebasnya dari bawah ke atas, seperti setiap kali gue melempar joran pancing di aliran sungai yang deras. Pria itu terjatuh bersimbah darah, dia tersenyum menatap gue sambil bilang:

"Mantap!"

Cahaya bulan tiba-tiba menjadi semakin terang seiring tubuh pria itu yang mengeluarkan asap. Karena melihat gue yang diliputi rasa heran, Sulay menepuk pundak gue lalu bilang:

"Salah satu kerjaan kita selesai malam ini."

"Hah!? Kerjaan kita berantem sama om-om kumisan gini!? Bukannya kita ini mata-mata, ya!?"

Sulay mengusap darah yang keluar dari hidungnya tanpa menjawab. Kami menyaksikan tubuh pria itu menguap menjadi asap putih lalu hilang terbawa angin malam. Kemudian gue berasumsi, bahwa orang yang mati di kuburan akan jadi asap, karena kuburan memang tempat orang mati. Bisa jadi.

"Kita kembali ke pendopo, ambil barang-barang lo lalu kita pulang," kata Sulay sambil berjalan meninggalkan gue.

Di pendopo, terakhir kali gue meninggalkan tempat itu gue yakin bahwa semuanya dalam keadaan rapi. Namun, ketika kembali, lantainya berserakan bunga mawar merah yang seperti habis dicincang! Sulay langsung panik dan menelepon seseorang.

Gue gak mendengar obrolannya karena sibuk mengemasi barang-barang. Gue duduk sebentar dan memeriksa luka di kaki kanan gue. Untungnya hanya luka gores yang panjang dan gak terbuka. Gue mencari sesuatu untuk mengikatnya, mencoba menutupi luka itu. Karena yang gue temukan hanya kertas lusuh bertulisan aneh, jadinya gue pakai aja.

Begitu kertas itu menyentuh luka gue, gue langsung teriak kesakitan! Rasanya pedih dan panas banget! Gue segera berusaha melepaskannya, dan ketika terlepas kertas itu mengeluarkan asap hitam. Dan sialnya, tulisan di kertas itu malah berpindah ke kaki gue!

"Pak! Tolong, Pak!" kata gue kepada Sulay yang beru selesai menelepon.

Dia mengecek kaki gue dan kertas berasap hitam di lantai.

"Lo baru aja bikin kontrak!"

"Hah!? Kontrak apaan!?"

Sulay mengambil kertas itu dan segera mengantonginya. Setelah melihat kaki gue gak mengeluarkan darah lagi, dia menarik gue berdiri. Benar juga, kaki gue sudah gak sakit lagi! Bekas lukanya masih ada, dan sekarang di antara goresan itu muncul tulisan-tulisan yang gak bisa gue baca.

"Kita kembali ke kantor, mumpung belum subuh. Lo belum ngantuk, kan?"

"Belum, Pak. Tapi ... gue lapar."

"Gak ada makanan di sini. Terakhir kali lo dengar suara tukang sate, kaki lo malah berdarah."

"Di kantor ada kantin nggak, Pak?"

Di kantor, masih banyak orang-orang beraktivitas padahal sekarang udah jam 3 pagi. Dari lorong utama, tertulis bahwa kantin ada di sebelah kiri. Gue langsung aja belok karena udah kelaparan. Sialnya Sulay malah menarik gue dan berjalan ke arah berlawanan yang tertulis: Ruang Direktur.

"Pak, gue lapar, Pak."

"Gue juga! Lagian ini semua gara-gara lo makanya jadi kacau begini!"

Pintu terbuka sendiri, dan kami melihat seseorang sedang duduk sambil ngopi. Orang yang sama ketika gue melamar kerja.

"Mohon maaf, Bos, misi utama gagal total, tapi kami menyelesaikan misi tingkat A yang sudah bertahun-tahun jadi PR kita."

Si Bos yang sedang duduk dengan jas kebesarannya itu menatap gue. Gue merasa terintimidasi padahal dia nggak ngapa-ngapain.

"Maksudnya selesai itu bagaimana?" tanyanya.

"Dia kembali ke alamnya. Dan kami dapat pedangnya."

Si Bos langsung berdiri, berjalan mendekati gue sambil memperhatikan pedang yang udah Sulay bungkus sebelumnya dengan daun pisang. Gue menyerahkan pedang itu, tapi Si Bos menolak dan enggan menyentuhnya.

"Jadi, siapa yang melawan orang tinggi itu?"

"Sulay, Pak ... Bos," sahut gue.

"Lalu, kenapa kamu yang pegang pedangnya?"

"Dia yang mengalahkannya, Bos. Dan Pak Tsat yang minta ditebas sama dia dan ngasih pedang itu setelahnya."

Si Bos menepuk pundak gue, lalu tersenyum.

"Dia ada di sini," ucap si Bos.

"Hah!? Di-di sini!?"

Si Bos menunjuk salah satu lukisan yang ada di ruangan itu. Dan benar aja, ternyata gue emang pernah melihat mukanya di sini sebelumnya.

"Tadinya dia itu sahabat baik saya. Kami mendirikan perusahaan ini bersama-sama, tapi namanya juga bisnis, selalu ada perselisihan internal."

"Oh, iya, Bos. Tadi Mardo kena serangan pedangnya."

"Separah apa?"

Gue menunjukkan luka di kaki gue. Si Bos sampai menyemburkan kopinya karena kaget.

"Luka dari Orang Nomor Satu di Kuburan kenapa diberi mantra kontrak dari Ratu Merah!? Kamu sebodoh apa, sih!?"

Si Bos berusaha menenangkan dirinya sendiri dan kembali duduk. Sulay mengambilkan air putih untuknya. Gue diam aja karena gak ngerti apa-apa. Sulay menarik gue keluar dan memberi tahu keadaan si Bos sama orang lain di sana.

"Do, mending sekarang lo pulang, bersih-bersih habis itu langsung tidur. Jangan bukain pintu sama siapa pun bahkan kalau itu orang yang sangat lo kenal. Kalau ada apa-apa, kasih tahu gue. Oke?"

1
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!