Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIUSIR
Nyatanya Pak Sul membuktikan memiliki kuasa, tawa yang sejak tadi tercipta di rumah Tiwi langsung berubah dengan sebuah tamparan dari ayah Mina. Begitu Mina menginjakkan kaki di rumah, tangan keras sang ayah mendarat cantik di pipi Mina. Tak butuh waktu lama, Mina merasakan kepalanya gliyengan dan tunggu, tetesan darah mengalir begitu saja dari lubang hidung Mina.
"Anak kurang aja!" sentak sang ayah penuh amarah. Untung saja sang ibu masih waras untuk membela Mina, dengan memegang erat tangan sang suami. Kalau tidak, bisa bonyok anak gadisnya itu.
"Anak tak tau diri, beraninya kamu menemui Pak Sul. Sadar diri kamu! Kamu anak orang miskin yang butuh uang! Terus saja bodoh!" ayah mengumpat Mina seolah Mina bukan anak kandungnya.
Argh!
Mina meringis kesakitan, rambut hitamnya dijambak dengan kuat oleh sang ayah. Sungguh ayah siang itu terlihat bengis sekali. Ibu bahkan memohon agar sang suami melepas genggaman rambut Mina.
"Ya Allah, sudah!" rapal beliau dengan derai air mata. Mina sudah tak kuasa, kepalanya semakin pusing, pandangan mata sudah kabur. Rasanya ingin tidur saja, belum selesai tamparan keras sudah disambung jambakan maut. Mantab!
"Kamu sok sok an mau membayar tiga kali lipat uang kemarin, dapat uang dari mana? Jual diri?"
"Ya Allah, istighfar!" ibu terus mencegah sang suami agar tak menyumpahi Mina. Mau bagaimana pun Mina adalah anak kandung mereka. Tak patut orang tua sampai menyumpahi anak dengan kata-kata buruk.
"Ayah sudah!" ucap Risma terbata, ia baru saja pulang sekolah. Tubuhnya mendadak kaku melihat pemandangan miris sang kakak. Ia yakin Mina sudah sangat kesakitan. Risma langsung memeluk sang kakak begitu ayah melepas genggaman rambut, sontak saja Mina terjerembab, tubuhnya sudah lemas. Kepalanya terlalu pusing.
"Gak usah belain Mbak kamu, dia egois setengah mati. Tidak pernah berpikir panjang atas tindakannya, kalau sudah begini apa yang bisa ia lakukan. Segala macam bantuan untuk keluarga ini diputus oleh Pak Sul, kamu mikir tidak orang yang kamu lawan itu orang yang punya kuasa di daerah sini!"
"Sudah, Yah! Sudah, kalau Mbak Mina gak mau, biar risma saja!" ucap Risma sembari memeluk sang kakak.
"Nah, kamu mau berkorban demi kakakmu, demi keluarga ini, bagus itu. Gak usah tinggi sekolah, baik kalau kamu mau!" ucap Ayah yang langsung keluar.
Risma memeluk Mina, Ibu memeluk Risma erat. Belum rela kalau Risma menggantikan posisi Mina, Risma belum cukup umur. Tapi bagaimana lagi, kelangsungan hidup keluarga ini ada di tangan Pak Sul. Tentu ayah tak peduli umur Risma dewasa atau belum.
Sepertinya beliau langsung menuju Pak Sul, mencoba negosiasi mengganti pengantin. Ibu tak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti apa kata suami. Ketiganya hanya bisa menangis. Meratapi nasib yang tak kunjung baik.
Benar saja, selepas maghrib Pak Sul datang ke rumah dengan membawa seserahan. Malam ini, Pak Sul minta dinikahkan langsung dengan Risma, ia tak mau menawarkan pernikahan dua minggu lagi, khawatir ada pemberontakan seperti yang dilakukan Mina.
Merasa sangat dibutuhkan oleh keluarga ini, Pak Sul tampak pongah, petantang petenteng, bahkan tak menghargai Ayah Risma sebagai mertuanya. Ia seenaknya mengatur jalannya pernikahan siri ini.
Mina hanya bisa diam di kamar, memandang sang adik yang sedang dipoles make up. Ia menangis, sedangkan Risma tampak tegar.
"Mbak sudah dong, dari kemarin kan aku yang pengen gantiin, Mbak. Sekarang keturutan kan!" ucap Risma sembari melirik sang kakak.
"Mbak jahat!"
Risma menggeleng. "Mbak otaknya encer, wajar ingin sekolah lagi. Otakku enggak, lebih baik menikah saja, benar gak Mbak Wen!" ucap Risma pada perias sambil tersenyum. Entah senyum kebahagian asli, atau senyum pura-pura bahagia.
"Mbak Wen sih, berharap perempuan di desa ini lebih maju lagi, Ris! Ya benar apa yang diharapkan Mina, sekolah lagi. Biar perempuan di sini, gak gampang diinjak oleh suaminya. Anak baru meletek remaja udah nikah, kasihan banget harus gendong anak. Rantai kemiskinan semakin panjang kalau punya pola pikir seperti ini!" saran Mbak Wen, seorang janda yang ditinggal selingkuh oleh mantan suaminya.
Dari ceritanya saja, tampak ada penyesalan menikah muda. Ia harus berjuang untuk kedua anaknya, karena sang mantan sudah lupa. Beginilah kalau tidak punya modal ilmu, ia harus bekerja keras dengan fisik. Begitu ada uang, ia les make up, jadi MUA dan hidupnya mulai tertata. Percayalah, pendidikan itu penting, mencari ilmu itu penting, karena otak kalian akan dipaksa untuk belajar berkembang secara sistematis dan kritis dalam menentukan sebuah keputusan.
"Ah Mbak Wen, terus aku harus bagaimana?" Risma mulai cemberut.
Mbak Wen menepuk pundak Risma, gadis remaja itu seakan mendapat sebuah nasehat. "Meski kamu nanti dikurung oleh Pak Sul, tetaplah memiliki kesibukkan, gunakan ponsel untuk belajar kalau memang tidak diizinkan les. Belajar masak, belajar merajut, biar kamu punya keahlian setidaknya kalau suatu saat nanti kalau ada hal buruk kamu punya bekal untuk melanjutkan hidup."
"Mbak!" panggil Risma dengan manja, terharu dengan nasehat Mbak Wen, sungguh dalam dan bermakna.
"Andai ibu punya pemikiran luas seperti Mbak Wen, tentu pernikahan ini tidak akan terjadi!" ucap Mina dengan wajah sedikit linglung.
"Mbak Wen begini karena sudah merasakan pahitnya hidup, Min. Bagaimana membesarkan anak, bagaimana melanjutkan hidup, kalau Mbak Wen gak bangkit di kaki mbak wen sendiri, siapa yang mau bantu."
"Benar, Mbak!"
"Orang mau merubah kehidupan itu karena niat dan usahanya sendiri. Kalau sudah bergantung sama orang, tentu akan disetir oleh orang yang punya kuasa, alhasil hidup kita tak ada tujuannya, mengalir saja, dan daya juangnya rendah sekali. Ya kali kalau tempat kita bergantung kaya terus, hidup panjang umur, bagaimana kalau kena serangan jantung, bisa apa!"
"Benar banget, Mbak Wen!"
"Percayalah dua anak gadis, yang bisa menentukan kamu bahagia hanya diri kamu sendiri. Kalian boleh kok berkata tidak bila kamu yakin itu bukan pilihan terbaik, bukan pilihan yang bikin kamu bahagia. Hidup tenang hanya bisa bergantung sama diri sendiri dan Allah, jangan pernah menggantungkan hidup kepada sesama makhluk, jatuhnya akan kecewa."
"Ya Allah, Mbak Wen. Pasti Yeni dan Heri (kedua anak Mbak Wen) bangga memiliki ibu seperti Mbak Wen!"
"Kamu bisa aja. Semua ibu hebat dengan menjalani takdirnya masing-masing, Mina! Udah akh, serius banget omongan kita. Noh, kalimat sah udah terdengar, habis ini ayo keluar!"
Risma yang sejak tadi memikirkan nasehat Mbak Wen, mendadak kaku. Bahkan Mbak Wen berusaha mengangkat tubuh Risma.
"Dek?" panggil Mina yang menatap Risma dengan kekhawatiran, bahkan sampai mengguncang pundak Risma, begitu juga Mbak Wen.
"Doakan aku bahagia ya, Mbak!" ucap Risma sebelum keluar kamar.
Dengan anggun, Mina dan Mbak Wen mengantar Risma ke ruang tamu, tempat ijab qabul dilaksanakan. Mina sempat melirik Pak Sul, tapi pria itu menatap Mina dengan wajah menantang.
"Dar!" panggil Pak Sul pada ayah Mina, layaknya pesuruh ayah Mina menghampiri Pak Sul dengan sendiko dawuh.
"Usir sulungmu! Aku gak mau lihat dia hidup di desa ini!" titah Pak Sul yang membuat hadirin shock, termasuk Risma.