Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Brownies untuk Hati yang Terluka
Aletta memakai sandalnya yang bewarna pink itu. Tangan kecilnya menenteng kotak makan berukuran sedang yang di dalamnya berisi kue brownies. Dengan berjalan kaki, Aletta ingin berkunjung ke rumah Alfariel lagi. Kali ini sangat spesial bagi Aletta, karena kue brownies yang akan diberikan kepada Alfariel adalah kue yang dia buat dengan tangannya sendiri.
'Mudah-mudahan Alfariel suka sama kue buatanku,' batin Aletta berharap.
Saat Aletta mengetuk pintu rumah Alfariel, dia mendapati ayahnya yang sedang berbincang bersama Gio. Jelas Aletta merasa terkejut. Apa maksud dari ayahnya datang ke rumah Alfariel dengan setelan jas dokternya yang masih lengkap?
“Selamat pagi, Om Gio,” sapa Aletta dengan ramah, meskipun perasaan herannya tidak bisa disembunyikan.
Daniel yang juga kaget melihat putrinya, segera menoleh.
“Pagi, Aletta. Tumben kamu datang ke sini?” tanya Gio sambil tersenyum.
Aletta tertawa kecil. “Kok tumben sih, Om? Kemarin Aletta juga ke sini,” jawabnya ringan.
“Oh iya, Om lupa. Ayo masuk, duduk dulu,” ajak Gio mempersilakan Aletta duduk.
Aletta menuruti undangan itu dan mengambil tempat duduk berhadapan langsung dengan Daniel.
“Kakak, ngapain ke sini?” Daniel bertanya dengan nada bercampur rasa penasaran.
“Ayah sendiri ngapain di sini?” Aletta balik bertanya membuat Daniel terkekeh pelan.
Gio tiba-tiba menyela. “Jadi ini anak perempuan yang sering kamu ceritakan? Wah, sudah besar sekarang.”
Daniel tersenyum bangga. “Betul, Gio. Ini putri sulungku, Aletta. Kak, salim dulu sama Om Gio!” perintah Daniel sambil menepuk lengan putrinya.
Aletta kemudian berdiri dan melaksanakan perintah dari Daniel.
Gio mengelus kepala Aletta dengan penuh kasih sayang. "Sehat selalu, Nak," ujar Gio.
Aletta tersenyum malu lalu berkata, “Om, Agisha mana? Kok nggak kelihatan dari tadi?” tanyanya sambil melirik ke sekitar rumah yang tampak sepi.
“Agisha ada les balet jam segini. Memangnya kenapa, Al?” jawab Gio.
“Cuma mau ketemu aja, Om. Kalau Alfariel di mana?” lanjut Aletta.
“Dia ada di kamar, Kak. Samperin aja sana.” Daniel menyahut sebelum Gio sempat menjawab.
Aletta berdiri dan mulai melangkah menuju kamar Alfariel. Namun, Gio tampak cemas. Ketika dia hendak berdiri untuk menyusul, Daniel segera menahan lengannya.
“Biarkan Aletta mencoba menenangkan Alfariel,” saran Daniel dengan nadanya penuh keyakinan.
“Tapi Ren sedang marah. Dia tidak suka diganggu, apalagi dalam keadaan seperti ini. Bisa-bisa dia melukai Aletta.” Gio membantah, ingatannya kembali pada insiden sebelumnya ketika sebuah vas bunga melayang ke arahnya karena Alfariel merasa terusik.
Daniel menganggukkan kepala yakin.
Gio pun menghela napas. Semoga tidak terjadi hal buruk yang menimpa perempuan cantik itu.
***
Aletta membuka pintu kamar Alfariel yang sudah terbuka setengah. Dilihatnya kamar Alfariel yang berantakan. Begitu pun Alfariel yang berdiam diri di dekat jendela dengan tatapan kosong. Alfariel yang melamun tidak sadar ketika ada seseorang yang memasuki kamarnya.
Aletta memungut bantal lalu menaruhnya ke tempat semula. Begitu pun dengan kertas yang berserakan di lantai, Aletta mengumpulkannya dan membuang ke tempat sampah yang berada di sudut ruangan kamar Alfariel. Setelah semua terlihat rapi, Aletta menghampiri Alfariel.
Aletta menyentuh pundak Alfariel. "Oi," panggilnya.
Alfariel menoleh dan matanya bertemu dengan senyuman Aletta yang memperlihatkan lesung pipitnya. Sejenak, dia terpaku. ‘Cantik sekali. Bidadari dari mana ini? Apa mungkin dia jatuh dari surga?’ pikirnya tanpa sadar.
Aletta yang menyadari Alfariel melamun, melambaikan tangannya di depan wajahnya. "Oi, cowok! Sadar, dong!"
Alfariel mengerjap, seolah kembali dari dunia lain. Dia mengusap wajahnya, menyeka bekas air mata yang masih tersisa di pipinya. Dengan bingung, dia memandangi kamar yang sekarang rapi, berbeda jauh dari kondisi terakhir yang dia ingat.
Melihat ekspresi bingung itu, Aletta tersenyum. "Lo ngapain melongo gitu? Heran, ya, kok kamar lo tiba-tiba rapi?"
"Lo dateng dari mana sih? Tiba-tiba udah ada di sini?" tanya Alfariel dengan mata menyipit penuh curiga.
"Jatuh dari langit." jawab Aletta kesal, meskipun nada bicaranya tetap terdengar santai.
"Mimi peri?" ujar Alfariel meledek, dia tersenyum singkat.
Aletta mendengus dan melipat tangan di dadanya. "Gue yang beresin kamar lo tau. By the way, lo ngapain sih sampe kamar lo bisa berantakan gini?"
Alfariel mengangkat bahu, memasang ekspresi tak peduli. "Suka-suka gue lah. Ini kamar gue." Dia mendorong sebuah kursi ke arah Aletta dan menunjuknya dengan dagu. "Duduk. Jadi, tujuan lo ke sini apa? Lo kangen sama gue?"
Aletta menatapnya dengan mulut setengah terbuka, tidak percaya mendengar ucapan itu. "Rasa percaya diri lo tinggi banget, ya. Siapa juga yang kangen sama lo?" balasnya sambil memutar mata.
Alfariel tertawa kecil. "Yaudah, kalau nggak kangen, kenapa lo bawa brownies segala ke sini?" tanyanya, menatap kotak makan di tangan Aletta.
Aletta mengembuskan napas panjang, lalu meletakkan kotak makan itu di meja. "Gue cuma mau kasih ini, brownies yang gue bikin sendiri. Lo suka, syukur. Nggak suka, ya terserah!" katanya pura-pura kesal.
Senyum tipis kembali muncul di wajah Alfariel. "Brownies, ya? Kita lihat aja enak apa nggak."
Alfariel membuka kotak makan dengan gerakan perlahan, seolah sedang membuka sesuatu yang sangat berharga. Aroma cokelat yang manis segera memenuhi udara, membuat perutnya yang tadinya tak terasa lapar mulai memberi isyarat. Dia memotong sepotong kecil brownies dengan jari-jarinya lalu mencicipinya.
"Not bad but not good," komentarnya singkat dengan nada datar, meskipun di wajahnya terlihat sedikit senyum yang berusaha dia sembunyikan.
Aletta mendengus kecil. "Itu gue bikin dengan sepenuh hati tau! Lo nggak tau aja gimana ribetnya gue ngukur tepung sama gula biar pas."
Alfariel mengangkat alis lalu memakan potongan kedua. Dia mengunyahnya perlahan, membiarkan rasa manis cokelat yang lembut menyebar di mulutnya. "Oke, gue akui. Enak. Puas?" ucapnya dengan ekspresi setengah serius, setengah bercanda.
Aletta tersenyum bangga, tetapi tak mau terlihat terlalu puas. "Tuh, kan! Gue tahu pasti lo bakal suka."
Hening sejenak di antara mereka. Alfariel menatap ke luar jendela, wajahnya kembali serius. Aletta memutuskan untuk memecahkan suasana.
"Al," panggilnya pelan. "Lo kenapa akhir-akhir ini? Gue dengar dari Om Gio kalau lo sering marah-marah."
Alfariel tidak segera menjawab. Dia hanya memainkan jari-jarinya di atas meja, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat. Akhirnya, dia menghela napas panjang. "Gue cuma ... capek aja. Semua orang ngomongin gue, nyuruh gue sadar, tapi mereka nggak ngerti apa yang gue rasain."
"Kalau gitu, cerita dong. Gue di sini, gue dengerin," ujar Aletta, suaranya penuh kehangatan.
Alfariel menatap Aletta, matanya menyiratkan keraguan. "Lo nggak bakal ngerti."
"Ya coba aja dulu. Gue nggak janji bakal ngerti, tapi gue janji gue bakal dengerin tanpa nge-judge."
Kata-kata Aletta membuat Alfariel tersentuh, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Dia mengalihkan pandangan lagi ke luar jendela. "Kadang, gue ngerasa hidup gue ini kosong. Kayak semua yang gue lakuin nggak ada artinya. Gue cuma ... hilang arah."
Aletta terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Alfariel. "Mungkin lo ngerasa gitu karena lo terlalu banyak mikirin apa yang orang lain harapkan dari lo. Kadang, lo cuma perlu fokus ke apa yang bikin lo bahagia, bukan apa yang bikin mereka puas."
Kata-kata Aletta membuat Alfariel kembali terdiam. Dia tidak menyangka gadis itu bisa berkata sedewasa itu. "Lo serius ngomong gitu? Gue kira lo cuma anak cewek bawel yang suka ngatur-ngatur."
Aletta memukul bahunya ringan. "Hei! Jangan remehkan gue ya. Gue ini lebih bijak daripada yang lo kira."
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alfariel tertawa kecil. Suasana hatinya terasa lebih ringan. "Thanks, Al. Mungkin lo bener. Gue cuma butuh waktu buat ngerti diri gue sendiri."
Aletta tersenyum lembut. "Kapan pun lo butuh teman buat cerita, gue ada. Jangan lupa itu."
Alfariel mengangguk pelan. Dalam hatinya, dia merasa sedikit lega. Mungkin ada secercah harapan untuk melewati semua ini dengan bantuan orang-orang seperti Aletta di sisinya.
***
Bersambung ….