Hanya karena dipuji ketampanannya oleh seorang wanita, Miko justru menjadi target perundungan sang penguasa kampus dan teman-temannya.
Awalnya Miko memilih diam dan mengalah. Namun lama-kelamaan Miko semakin muak dan memilih menyerang balik sang penguasa kampus.
Namun, siapa sangka, akibat dari keberanian melawan penguasa kampus, Miko justru menemukan sebuah fakta tentang dirinya. Setelah fakta itu terungkap, kehidupan Miko pun berubah dan dia harus menghadapi berbagai masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Ruang Kerja
"Masuk," suara berat seorang pria dewasa, terdengar menggema, memenuhi ruang kerja, kala pria yang berada di dalamnya mendengar suara ketukan pintu.
Tak butuh waktu lama setelah pintu terbuka, munculah sosok wanita dari balik pintu. Seketika debaran serta rasa canggung, langsung menyelimuti keduanya.
Sepasang pria dan wanita yang dulu pernah menjalin kisah asmara, kini keduanya harus kembali berhadapan, untuk saling bicara, membahas masa depan mereka.
"Duduklah," titah William. Pria itu berusaha bersikap biasa saja meski dalam hatinya, berbagai rasa kini berbaur menjadi satu, membuat pria itu sedikit kewalahan mengatasi debaran dalam dadanya.
Seruni pun sama. Dalam dada wanita itu juga merasakan apa yang sedang terjadi pada William. Meski begitu, wanita itu berusaha menunjukkan sikap tenang sembari memperhatikan setiap sisi ruangan tersebut.
"Tunggu sebentar, aku menyelesaikan ini dulu," ucap William sembari menatap Seruni sejenak. Begitu Seruni mengangguk, William kembali menatap layar laptop.
Seandainya Seruni tahu, mungkin William akan merasa malu luar biasa. Laptop di hadapan William sebenarnya sama sekali tidak menyala. William sengaja menggunakan laptop untuk menutupi suasana hatinya yang mendadak gugup sejak Seruni masuk.
Bahkan, hingga beberapa menit berlalu, William belum saja memulai percakapan. Dia hanya bisa diam-diam memperhatikan Seruni di saat wanita itu lengah.
"Apa pekerjaan anda masih lama?" tiba-tiba Seruni melempar pertanyaan, membuat William terkejut dan langsung mendongak. "Kalau anda masih sibuk dengan pekerjaan anda, lebih baik, bicaranya lain kali saja."
"Eh tidak! Ini sudah selesai," kilah William gugup. Dia segera berpura-pura mematikan serta menutup laptopnya. "Maaf, kelamaan," ucap pria itu sambil cengengesan.
Seruni mengangguk dengan tatapan datar. Sedangkan William langsung bangkit dari duduknya dan melangkah menuju sofa.
"Sebenarnya, apa yang ingin anda bicarakan?" tanya Seruni lagi, begitu William duduk di seberang meja, menghadapnya.
William sedikit mendengus. "Sebelumnya aku ngomong, apa kamu tidak bisa bersikap biasa saja?" Kening Seruni sontak berkerut dan tatapannya tersirat sebuah tanda tanya.
"Maksud aku, sampai kapan kamu akan memanggil aku dengan panggilan anda?" terang William. "Bukankah kita sebentar lagi akan menikah? Kenapa kamu tidak menggil aku dengan panggilan biasa saja."
"Panggilan biasa? Panggilan seperti apa?" Seruni pun nampak bingung.
"Ya terserah kamu, yang penting jangan menggunakan kata anda," jawab William. "Bila perlu, panggil kaya dulu juga boleh. Kamu masih ingat kan? Panggilan kesayangan kamu sama aku?"
Seruni langsung mendelik, sedangkan William malah cengengesan.
"Nggak, udah lupa," balas Seruni dusta.
"Masa lupa?" protes William. "Padahal dulu kamu..."
"Nggak usah ngungkit yang dulu-dulu!" Seruni langsung memotong ucapa William. "Bikin sakit doang."
William tersenyum hambar sambil menggaruk ramburnya yang gatal. "Maaf," ucapnya sembari agak menuduk.
"Udah deh, jangan berbelit," ujar Seruni. "Sekarang katakan, apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Baiklah," William. "Berhubung kita akan menikah, kita perlu menemui orang tua kamu atau tidak?"
Seruni kembali dibuat terkejut. Namun kali ini bukan rasa kesal yang dia tunjukan, melainkan dia terdiam dengan melempar pandangan ke arah lain.
"Apa selama ini, kamu sama sekali tidak pernah menemui mereka meski hanya diam-diam?" tanya William nampak hati-hati karena takut Seruni tersinggung.
"Bagaimana caranya aku mengunjungi mereka, sedangkan kamu sudah tahu, tempat tinggalku selama ini di daerah mana. Butuh ongkos yang tidak sedikit," balas Seruni agak ketus.
"Tapi kan sekarang jaman sudah canggih, Run?"
"Aku tahu," balas Seruni. "Dini dan suaminya yang sering memberitahukan kabar mereka sama aku."
Kening William agak berkerut, tapi tak lama kemudian pria itu mengangguk. "Aku juga beberapa, menyempatkan diri mengunjungi orang tuamu."
Seketika Seruni langsung menoleh, menatap tajam pada pria yang menatapnya.
"Aku beberapa kali menjenguk orang tuamu. Meski hanya dari jarak jauh, tapi, untuk saat itu, aku hanya bisa melakukannya dengan cara seperti itu?"
"Apa kamu sama sekali tidak pernah menemuinya?" Seruni bertanya dengan tatapan mata penuh selidik.
"Pernah, dua kali."
"Apa kamu menemui mereka bareng Renata?"
William menggeleng. "Aku tidak pernah mengajaknya karena aku tahu, itu akan berdampak lebih buruk."
"Tapi Renata juga pasti diam-diam menemui orang tuaku," ucap Seruni sinis. "Perempuan bermuka dua yang hatinya penuh rasa iri."
"Soal itu, aku tidak tahu," jawab William.
"Bukankah selama ini kamu sangat mencintainya?" tanya Seruni ketus. "Bahkan, kalian dinobatkan sebagai keluarga paling harmonis."
"Itu cuma kedok," bantah William. "Apa kamu pikir, selama ini, aku sangat menikmati peranku sebagai suami? Tidak, Seruni. Kamu salah."
Seruni melempar tatapan tak percaya.
"Selama ini, aku seperti sedang menjalani karma karena kesalahanku pada kamu dan anak kita. Aku seperti orang tua tunggal bagi Kelvin. Dari Kelvin lahiran, aku lah yang lebih banyak waktu merawat anak itu. Waktu Renata sering habis untuk shoping, vacation, arisan, dan kegiatan yang menguras keuanganku."
"Karena dia terlahir dari orang tua yang banyak harta, jadi ya wajar jika kegemarannya foya-foya," Seruni memotong cerita William.
Pria itu tersenyum sinis. "Harta orang tua Renata tidak sebanding dengan kekayaan orang tuaku. Bahkan tidak ada seperempatnya."
"Cih!"
"Hahaha..." William malah terbahak. "Kenyataannya memang begitu, makanya dia iri sama kamu waktu aku ngasih ponsel mahal saat kamu ulang tahun."
Bibir Seruni mencebik. "Terus, rumah tangga kamu bagaimana?"
"Yah, seperti yang baru saja kamu dengar. Rumah tanggaku hanya nampak sempurna di luar. Kamu tahu, Mommy dan Daddy bahkan hampir tidak pernah menyentuh Kelvin. Aku tidak menyangka, ternyata firasat mereka sekuat itu."
"Pasti kamu kecewa banget, saat kamu tahu, anak yang kamu rawat dengan sepenuh hati, ternyata bukan anak kandung kamu, benar kan?" terka Seruni.
"Maka itu, aku menganggapnya karma. Aku bisa merasakan sekecewa apa saat kamu..."
"Dah, nggak usah diingat lagi. Itu sudah jadi cerita pahitku," Seruni memotong ucapan William begitu saja.
William mengangguk mengerti. "Jadi bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" Seruni malah mendadak bingung.
"Tentang usulanku tadi? Apa aku harus menemui orang tuamu dulu, untuk melamarmu?"
Seruni menghela nafas dalam-dalam. Dia pun melempar pandangan ke arah lain. "Apa tidak ada cara lain?"
"Cara lain?" kening William berkerut.
"Apa kita harus menikah?" tanya Seruni sembari menatap William.
William nampak terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan Seruni. "Kenapa kamu malah menanyakan itu? Kamu tidak ingin menikah?" tanya pria itu dengan tatapan menyelidik.
"Bukan begitu," Seruni agak salah tingkah.
"Ya sudah. Jadi tidak perlu ada penolakan. Apa lagi aku sudah mengumumkannya secara nasional. Aku tahu, mungkin rasa cinta kamu sudah berubah jadi benci. Tapi aku tak peduli. Untuk kali ini aku harus egois, jadi kamu jangan coba-coba mencari alasan lain untuk membatalkannya, paham!"
William langsung beranjak pergi meninggalkan Seruni yang ternganga menatap kepergiannya.
dikhianati org yg disayang memang amat sangat sulit sembuh, cinta 100% akan berubah menjadi benci 1000%