"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 | Pembalasan
Ryan menarik lenganku, membuatku berhenti mendadak dan tidak membiarkanku pergi dari tempat kami berdiri.
“Aura, tunggu!”
Suaranya terdengar mendesakku untuk menghentikan langkah kakiku. Dia mendekat padaku, sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, dia membisikkan sesuatu tepat di daun telingaku.
Wajahnya yang terlalu dekat membuatku tersipu malu, hingga wajahku memerah dibuatnya. Hembusan nafasnya yang hangat di kupingku rasanya geli dan membuat detak jantungku berdenyut kencang.
“Apa aku boleh melakukannya?” tanyaku, suaraku hampir tak terdengar, aku berusaha tetap tenang dan mengendalikan perasaan campur aduk yang menyerangku.
“Bukan boleh, tapi kamu harus melakukannya,” jawab Ryan dengan mantap.
Senyum manisnya seolah bisa membuat jantung siapa pun berdebar, termasuk aku salah satunya.
Dia menyerahkan sekotak susu coklat itu padaku. “Aku tunggu di kantin.”
Setelah itu, dia pergi meninggalkanku, membiarkanku yang masih mematung dengan kata-katanya yang baru saja mendarat di telingaku. Momen itu seperti mantra yang merasuk, memberi dorongan untukku melakukan sesuatu yang tidak biasa. Ah, ya sudah lah … sekali-kali aku harus melawan si cewek bar-bar itu.
Dengan tekad yang tumbuh seketika, aku berjalan menuju kantin kembali. Mataku menyoroti seisi kantin yang ramai. Suara tawa dan obrolan mengisi udara, tapi aku fokus mencari sosok cewek bar-bar yang tadi mengusikku.
Di tengah kantin, aku melihatnya. Isabella, si cewek bar-bar, sedang duduk bersama teman-teman se-gerombolannya, mengobrol dengan riang gembira.
Tanpa pikir panjang, aku mendekatinya dari belakang, membuka susu kotak yang kupegang dengan tangan gemetar. Detak jantungku seolah ingin melompat keluar dari dadaku, aku merasa benar-benar gugup, tapi juga merasa lega.
Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk bertindak seperti ini, tapi saat itu aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa aku tidak akan membiarkan dirinya terus menggangguku.
Dengan keputusan bulat, aku menumpahkan seluruh susu coklat itu di atas kepala Isabella.
“AH!!! Apa-apaan ini?!” teriaknya keras, suaranya menciptakan keheningan sejenak di kantin.
Semua orang berhenti sejenak, menoleh ke arah kami. Seketika itu, Isabella berdiri dan berbalik menghadapku.
“Apa yang kau lakukan?!” dia mencengkeram kerah seragamku, matanya melotot lebar, penuh amarah. “Lihat! Rambut dan seragamku kotor semua!”
Aku tersenyum sinis, merasakan kepuasan yang tak bisa aku lukiskan.
“Balasan yang tadi,” kataku dengan suara penuh percaya diri meskipun jantungku berdegup kencang.
Saat aku melepaskan tangannya yang mencengkeram kerah seragamku, rasa lega meluap dari dalam diriku. Aku cepat-cepat pergi menjauh, menghindari kemungkinan dia akan membalas dengan menjambak rambutku lagi. Namun, anehnya, dia hanya berdiri terpaku, tanpa membalas perbuatanku.
Di meja dekat kejadian, aku melihat Ryan sedang duduk menonton semua yang baru saja terjadi. Senyumannya terlihat bangga dan puas. Aku tak tahu kenapa, tapi sepertinya dia menikmati apa yang baru saja aku lakukan. Ryan kemudian berdiri, menghampiriku, tiba-tiba memelukku dari belakang.
“Bagus! Yang kamu lakukan tadi sungguh berani, Aura,” ucapnya dengan nada penuh rasa bangga, seolah aku telah melakukan hal luar biasa.
Aku merasa hangat di dalam pelukannya, bahkan meskipun tubuhku masih bergetar hebat. Dia menggandeng tanganku, menarikku pergi dari keramaian kantin.
“Ternyata benar? Ryan pacaran sama Aura?” tanya Kaila, salah satu teman Isabella, dengan tatapan penuh rasa terkejut.
Isabella, yang masih dalam keadaan kaget, menendang kursi di dekatnya dengan kesal. “Huh! Aura … lihat saja kau nanti!”
Aku berbalik, menatapnya yang tampak sangat kesal, tetapi Ryan menepuk bahuku.
“Biarkan saja dia. Aku tidak ingin dia kembali menarik rambutmu, sayang …” katanya sambil mengelus rambutku, membuatku merasa tersipu malu untuk kedua kalinya.
Aku bisa merasakan Isabella yang memanas saat kata ‘sayang’ itu keluar dari mulut Ryan. Apa jadinya kalau saja tadi Ryan tidak ada di kantin? Bisa-bisa aku dimangsa olehnya. Sekarang, rasanya segala sesuatunya sedikit lebih aman, setidaknya untuk sementara waktu.
...»»——⍟——««...
Kami berjalan bersama menuju taman sekolah, di mana suasana lebih cerah dan bebas dari tatapan tajam Isabella dan teman-temannya. Sinar matahari yang hangat menyinari kami, sementara dedaunan pohon rindang di atasnya menciptakan bayangan yang sejuk.
Kami memilih duduk di salah satu bangku kayu yang sudah sedikit pudar, tapi tetap nyaman. Suasana di sini benar-benar berbeda, jauh dari keributan kantin yang barusan. Ryan Kembali menyodorkan sebungkus roti dan sekotak susu padaku, kali ini rasa strawberry.
“Ini untukku?” tanyaku lagi, merasa sedikit bingung dengan segala perhatian yang diberikan Ryan padaku.
“Bukan,” jawabnya cepat, seolah ingin mencegah aku merasa canggung atau tertekan.
Karena aku merasa tidak enak, kedua tanganku mengembalikan roti dan susu itu kepada Ryan. Aku tidak tahu bagaimana harus memperlakukannya. Aku tidak terbiasa diberi perhatian seperti ini. Terlebih lagi dari Ryan, cowok yang selama ini selalu menjadi pusat perhatian di sekolah.
Setelah beberapa detik, Ryan menghela napas dan mengangguk, lalu mengulurkan kembali roti dan susu itu.
“Hah … iya, itu untukmu. Tidak perlu merasa canggung untuk menerima sesuatu dariku,” katanya dengan suara sedikit lebih lembut.
Dengan ragu, aku menerima kembali roti dan susu itu, lalu mulai memakannya dengan lahap. Namun, aku lebih memilih menundukkan wajahku, menatap alas tanah di bawah kakiku.
Rasanya aneh bagiku bisa berbagi tempat duduk seperti ini dan aku tidak berani menatap mata Ryan, sebab aku takut untuk menatap mata semua orang. Sedangkan Ryan, dia mendongakkan wajahnya, menatap dedaunan di atas kepalanya, menikmati angin yang berhembus sejuk.
Kami duduk dalam keheningan, seakan menikmati dunia masing-masing. Dedaunan berjatuhan perlahan, aku merasa dunia di sekitar kami menjadi lebih indah. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak, hanya ada kami berdua dan suasana yang tenang di sekitar kami.
“Aura …” ucapnya lirih, aku hampir tidak bisa mendengar suaranya. “Aku benar-benar mencintaimu.”
Aku tersentak kaget, hampir tersedak oleh roti yang masih setengah aku kunyah. Bagaimana bisa dia mengatakannya? Rasa malu dan bingung berbaur dalam hatiku dan aku berusaha berpura-pura tidak mendengarnya. Ini adalah salah satu situasi paling canggung dalam hidupku dan aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Aura?” Ryan bertanya, suaranya terdengar cemas.
Aku menatapnya, berusaha menenangkan diri. Rasanya aku ingin sekali mengatakan bahwa aku juga merasakan hal yang sama, tapi entah kenapa kata-kata itu terasa sangat sulit untuk keluar dari mulutku.
Aku tersenyum kecil, mungkin itu yang bisa aku lakukan saat itu, mengangguk pelan, memberinya sinyal bahwa aku merasakan hal yang sama, meski aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
Ryan balas tersenyum, dia sudah mengerti. Hari itu, di bawah pohon rindang yang sejuk, aku merasa seperti aku dan Ryan akhirnya berbicara dengan cara kami sendiri.
Namun, aku tidak boleh gegabah. Apa yang dirasakan Ryan mungkin saja hanya perasaan kasihan padaku yang tidak punya teman sama sekali dan selalu saja dirundung.
...»»——⍟——««...