Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Ke-2
Bab 4
Elara terdiam, merasa kata-katanya berbalik melawannya. Dia tahu ibunya tidak salah. Tapi di sisi lain, dia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh. Meskipun ibunya tidak setuju, Elara yakin bahwa pernikahan ini akan membawa perubahan yang mereka butuhkan.
“Ibu, aku hanya ingin kita hidup lebih baik,” ucap Elara pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu ini sulit, tapi... aku rasa ini satu-satunya cara.”
"Kamu sudah mengenal pria itu berapa lama? Jangan sampai cita-cita kalian untuk menikah, berdasarkan napsu belaka. Dan hanya menciptakan mimpi buruk." Suara Bu Nira lirih, tapi penuh penekanan.
"Pokoknya, ibu percaya aja sama aku."
"Tidak bisa begitu saja percaya, Ra. Ini menyangkut masa depan dan seumur hidup. Pernikahan bukan permainan."
"Ibu." Elara menggenggam tangan ibunya, "Selama ini, apa aku pernah mengecewakan ibu? Bahkan semua tuduhan tetangga tidak terbukti bukan?"
Suasana di ruangan itu menjadi tegang, seolah waktu berhenti untuk sejenak. Bu Nira hanya bisa menatap putrinya dengan campuran kemarahan dan kepedihan. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Sementara Elara menunggu, dengan hati yang terbebani oleh keputusan yang baru saja dia buat.
###
Pagi itu, Elara melangkah keluar dari rumah dengan perasaan campur aduk. Pertengkarannya dengan Bu Nira barusan masih terasa membekas. Namun, dia memilih untuk menyudahi perdebatan, karena tak ingin lebih jauh menyakiti hati ibunya. Sembari mengenakan sepatu di teras rumah, ia menarik napas panjang. Dalam hati ia berdoa agar segalanya bisa berjalan dengan lebih baik hari ini.
Setelah itu, ia pamit dengan suara pelan, “Ibu, aku pergi dulu. Maafkan aku Ibu.”
Bu Nira hanya menjawab dengan anggukan kecil, meski masih terlihat kemarahan yang tersisa di wajahnya.
Elara bisa melihat jelas guratan-guratan lelah di wajah ibunya, namun ia tak bisa berbuat banyak. Kehidupan yang mereka jalani memang berat, dan niat Elara untuk menikah—sekalipun untuk alasan yang terkesan pragmatis—hanya merupakan satu-satunya cara yang ia pikirkan untuk keluar dari tekanan hidup yang terus-menerus menghantam keluarga mereka.
Elara melangkah cepat menuju tepi jalan, di mana mobil mewah yang semalam mengantarnya pulang sudah terparkir rapi. Pandangannya sempat terpaku sejenak pada kilauan cat mobil yang memantulkan sinar matahari pagi. Rasa senang dan bangga menyelusup di hatinya. Namun, bersamaan dengan itu, rasa was-was menghampiri, mengingat tatapan warga sekitar yang sudah mulai memperhatikan kehadirannya.
Sekali lagi, Elara dihadapkan pada masalah baru. Mungkin inilah yang harus ia hadapi setiap hari mulai sekarang— bertambahnya menjadi bahan gosip dan sorotan warga sekitar. Dahulu saja, para tetangga sudah terang-terangan menunjukkan sikap jijik pada keluarga Elara, apalgi sekarang. Namun, Elara memiliki keyakinan, mulut-mulut mereka bisa dibuat diam hanya dengan uang.
Pak Sobri, sang sopir, turun dari mobil begitu melihatnya mendekat. Dengan ramah, pria paruh baya itu menyapanya, “Selamat pagi, Mbak Elara. Maaf kalau terlalu pagi, saya memang disuruh jemput Mbak sekarang.”
Elara mengangguk sambil tersenyum kecil. "Pagi, Pak. Tidak apa-apa, saya juga memang sudah siap."
Percakapan mereka tidak berlangsung lama, namun cukup untuk mengurangi rasa canggung yang Elara rasakan. Ia kini tahu nama sopir tersebut, Pak Sobri. Semalam dia dan Zayden sempat berkirim pesan, dan membahas sedikit permasalahan tentang Mereka.
Pak Sobri terlihat seperti sosok yang dewasa dan bijak. Seseorang yang tampaknya tak ingin ikut campur dalam urusan pribadi majikannya atau penumpangnya. Setelah beberapa menit, mereka berdua naik ke dalam mobil dan meluncur menuju sekolah Elara.
Di perjalanan, Elara tak bisa menghindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu. Ia tahu betul bahwa pilihan hidup yang ia jalani tidaklah biasa untuk anak seusianya. Gosip yang selama ini beredar semakin mempertegas statusnya di mata orang-orang. Ia sadar bahwa penilaian buruk sudah melekat pada dirinya, namun apa yang bisa ia lakukan? Pilihan yang ada di hadapannya terlalu terbatas. Sejak lama, ia berusaha keras menutup telinga dan tetap fokus pada apa yang ia anggap penting—kesejahteraan keluarganya, terutama ibunya.
Setibanya di sekolah, seperti yang sudah ia duga, teman-temannya langsung heboh melihat mobil mewah yang membawanya turun. Mereka berbisik-bisik dan bergunjing, tetapi Elara pura-pura tidak mendengar. Langkahnya tetap mantap saat ia memasuki gerbang sekolah.
"Eh, lihat tuh, Elara diantar mobil mahal. Kemarin dia pakai apa? Angkot butut kan?" seorang teman berbisik kepada yang lain.
"Heh, pasti dapat lagi dari sugar daddy-nya," timpal yang lain sambil tertawa mengejek.
Bisikan-bisikan itu tak berhenti sampai di sana. Bahkan di dalam kelas, beberapa teman yang dikenal tak menyukainya semakin leluasa melontarkan ejekan. Mereka bergunjing di balik buku atau di sudut-sudut ruangan, seolah-olah Elara tak bisa mendengar mereka.
"Dia itu ayam sekolah, kamu belum tahu? Udah biasa jadi bahan omongan," seorang teman membisikan dengan nada puas, seolah menganggap bahwa gosip itu adalah kebenaran mutlak.
Elara menahan diri untuk tidak merespons. Ia tahu, selama ini uang adalah senjata paling ampuh untuk meredam cercaan mereka.
Malam sebelumnya, Zayden memang memberinya sejumlah uang—tidak terlalu banyak, namun cukup untuk mentraktir sekelas. Dan kali ini, ia ingin mencoba satu hal yang selalu ia ketahui efektif: apakah mereka masih berani banyak bicara setelah menikmati uangnya?
Sesaat kemudian, Elara memutuskan untuk mengirim pesan ke beberapa teman yang dikenal lebih dekat dengannya. Ia menawarkan untuk mentraktir makan siang nanti di kafe dekat sekolah. Tentu saja, tawaran itu langsung disambut dengan antusiasme yang melebihi ekspektasinya.
"Sumpah, Ra, traktiran kamu selalu paling ditunggu! Besok-besok kalau kamu dapat rejeki lagi, jangan lupa ya ajak-ajak kita," kata salah satu teman sambil tersenyum manis, nada ejekannya seketika menghilang, tergantikan dengan sikap ramah yang tiba-tiba muncul.
Elara menahan senyum kecil di balik kesan tenangnya. Dalam hati, ia tahu bahwa uang bisa membuat mulut-mulut yang tadinya tajam itu berubah menjadi lunak. Namun, meski begitu, hatinya masih terselip perasaan tak nyaman. Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri, sampai kapan harus menggunakan cara seperti ini untuk menenangkan mereka? Sampai kapan ia harus memuaskan orang lain dengan hal-hal yang semu, hanya demi mendapatkan sedikit ketenangan?
Namun, untuk hari ini, Elara memilih untuk tetap bertahan dengan caranya sendiri. Dunia sudah terlalu keras, dan terkadang yang ia butuhkan hanyalah waktu untuk bernapas, meski itu berarti menggunakan cara yang tak selalu dianggap benar oleh orang lain.
"Eh, Ra. Kali ini kamu nraktir banyak temen. Curiga aku," tanya teman sebangkunya, yang sudah sangat akrab dengannya.
"Mau ikut-ikutan jadi tukang gosip, iya? Kaya gak tahu aku aja. Udah, diem, Nel," sahut Elara merespons kehebohan Neli.
"Bukan gitu. Kalau uang sebanyak itu, kamu dapat banyak tamu? Atau ...." Neli ingin bertanya lebih lanjut, tapi dia juga menghargai perasaan teman akrabnya itu.
"Hah... dasar tukang kepo," sahut Elara dengan menghela napas.
Neli memang tahu kegiatan Elara saat malam. Bahkan satu-satunya teman yang Elara beri tahu, tempat cerita segala hal, ya dia, Neli. Temannya itu tahu, cara Elara melayani tamu, dengan tips atau upah yang gak seberapa. Tidak seperti yang orang bayangkan dan tuduhkan. Namun, kali ini bisa menghamburkan uang begitu banyak, jelas saja Neli curiga. Jangan-jangan, temannya sudah melayani tamu lebih dari batas yang dijaga sebelumnya.
Kemudian Elara menceritakan tentang pertemuannya dengan Tuan Arzayden Levano. Tak ada satu kisah pun yang terlewat..
"Apa? CEO Levano Corp? Kamu terima lamarannya?" Leni seakan terkejut yang aneh.
"Memang kenapa? Kok kaya ketakutan gitu, kagetnya."
"Bukan gitu Ra. Kamu tahu nggak? Dia tuh udah punya istri. Kamu baca-baca profil dia aja di web, banyak kok. Kalau gitu, kamu dijadikan yang ke ...." Leni menggantungkan kalimatnya. Dia tidak tega melanjutkan itu.
"Gak papa," ucap Elara dengan santai.
"Hah? Maksudnya gak papa?" Leni lebih terkejut kali ini. Dia berharap, temannya tidak segila itu mengambil keputusan.
Bersambung..