novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Bayangan di Hutan
Langkah-langkah Aric, Lyria, dan Kael terdengar tenang, namun penuh kewaspadaan. Hutan Aether tidak seperti hutan biasa. Udara di sekitar mereka terasa berat, hampir seolah-olah kabut magis yang menyelimuti pepohonan memiliki kesadaran sendiri. Daun-daun yang besar dan tebal bergoyang meskipun angin tidak bertiup, dan suara-suara aneh sesekali terdengar, membuat mereka semakin waspada.
"Kita harus tetap bergerak," kata Aric, memecahkan keheningan yang hampir membuat mereka semua kehilangan akal. Pedangnya terhunus, dan setiap otot di tubuhnya siap menghadapi apa pun yang muncul. "Semakin dalam kita masuk, semakin cepat kita bisa menemukan Batu Aether."
Kael mengangguk, meskipun matanya tidak pernah berhenti mengawasi setiap sudut. "Jangan terlalu tergesa-gesa," balasnya. "Hutan ini penuh dengan ilusi dan jebakan. Kita tidak tahu apa yang benar dan apa yang hanya bayangan."
Lyria memegang tongkat sihirnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Cahaya lembut yang berasal dari kristal di ujung tongkatnya membantu menerangi jalan mereka, tetapi juga membuat bayangan pohon-pohon besar di sekitar mereka tampak semakin mengancam. "Aku merasa kita sedang diawasi," bisiknya, mencoba mengendalikan rasa takutnya. "Kalian tidak merasa begitu?"
Aric menoleh ke arahnya, wajahnya yang biasanya ceria kini tampak serius. "Aku juga merasakannya," katanya pelan. "Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus menyelesaikan ujian ini."
Kael berhenti tiba-tiba, membuat Aric dan Lyria ikut terdiam. Ia memandang ke arah semak-semak yang bergetar di depan mereka. "Ada sesuatu di sana," katanya, suaranya berubah menjadi bisikan yang tegang. Ia meraih busur di punggungnya, dengan cekatan memasang anak panah. "Bersiaplah."
Mereka bertiga menahan napas, menunggu dengan jantung yang berdebar. Suara gemerisik semakin mendekat, dan bayangan besar muncul di depan mereka. Aric mengangkat pedangnya lebih tinggi, bersiap menyerang. Tetapi yang keluar dari balik semak itu bukanlah monster seperti yang mereka bayangkan.
"Seekor... rusa?" Lyria menghela napas lega saat melihat makhluk itu. Rusa itu memiliki tanduk emas dan mata berwarna biru cerah. Binatang itu menatap mereka, seolah menilai apakah mereka layak berada di hutan itu. Kemudian, dengan lompatan anggun, rusa itu menghilang ke dalam kegelapan.
Aric menurunkan pedangnya dan menghela napas panjang. "Hanya seekor rusa," katanya, mencoba tertawa untuk mengurangi ketegangan. "Kita terlalu tegang."
Namun, Kael tidak ikut tertawa. Matanya masih memandang ke arah rusa yang baru saja menghilang. "Itu bukan rusa biasa," gumamnya. "Tanduknya... dan matanya... Itu pasti makhluk magis."
Lyria mengangguk, wajahnya yang pucat sedikit memerah karena rasa lega. "Makhluk magis di Hutan Aether dikenal suka menguji keberanian kita," katanya. "Mungkin itu pertanda bahwa kita harus berhati-hati."
Aric menepuk bahu Kael, mencoba menghiburnya. "Hei, setidaknya itu tidak menyerang kita. Ayo, kita harus tetap fokus."
Kael ingin menjawab, tetapi suara lain tiba-tiba terdengar dari atas. Mereka bertiga menoleh ke arah langit, hanya untuk melihat sesuatu yang tidak mereka duga. Awan-awan gelap berkumpul dengan cepat, dan dari atas pepohonan, makhluk bersayap besar muncul. Mata merah menyala menatap mereka, dan cakar tajamnya mencengkeram cabang pohon.
"Itu... burung bayangan!" Lyria berteriak, wajahnya berubah ketakutan. "Kita harus lari!"
Burung bayangan itu mengepakkan sayapnya dengan suara seperti guntur, dan angin kencang mulai berputar di sekitar mereka. Daun-daun beterbangan, dan ketiganya terlempar ke tanah. Aric mencoba berdiri, tetapi angin yang dihasilkan makhluk itu membuatnya sulit bergerak. "Kita tidak bisa melawan ini dengan mudah!" teriaknya.
Kael mengangkat busurnya dan menembakkan panah ke arah burung itu. Tetapi panahnya hanya menembus bayangan yang melingkupi tubuh makhluk itu, dan panah tersebut jatuh ke tanah tanpa melukai apa pun. "Panahku tidak berguna!" Kael berteriak, wajahnya penuh rasa frustrasi.
Lyria memejamkan mata dan mulai merapal mantra. Cahaya hijau dari tongkat sihirnya semakin terang, dan akar-akar pohon di sekitar mereka mulai bergerak. "Aku akan mencoba menahannya!" serunya. Akar-akar itu melesat ke atas, mencoba menangkap burung bayangan, tetapi makhluk itu dengan mudah merobek mereka dengan cakarnya.
Aric menggertakkan giginya, matanya menyala dengan semangat bertarung. "Kita tidak bisa terus bertahan. Kita harus menemukan cara untuk melawannya!" Ia mencoba melompat ke arah burung itu, tetapi sebuah sayap besar menghantamnya, membuatnya terhempas ke tanah.
Kael melihat Aric yang kesakitan dan rasa panik mulai menyebar di dadanya. "Aric!" teriaknya, berlari untuk membantu sahabatnya. Tetapi sebelum ia bisa mencapai Aric, bayangan besar burung itu melayang di atas mereka, siap menyerang lagi.
Lyria merasakan tenaganya hampir habis, dan ia tahu mereka tidak akan bertahan lebih lama lagi. "Kita harus kabur!" serunya, matanya dipenuhi air mata. "Ini terlalu kuat untuk kita!"
Aric, dengan susah payah, berdiri dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Kita... tidak boleh menyerah," katanya, meskipun tubuhnya penuh luka. "Aku tidak akan lari."
Namun, sebelum mereka bisa memutuskan langkah selanjutnya, sesuatu yang aneh terjadi. Cahaya keemasan tiba-tiba menyinari hutan, membuat burung bayangan itu terkejut dan mundur. Makhluk itu berteriak dengan suara melengking, lalu terbang menjauh, meninggalkan mereka bertiga yang terengah-engah.
Kael memandang sekeliling, mencoba menemukan sumber cahaya itu. Di sana, di tengah hutan, seorang pria misterius berdiri. Jubahnya putih bersih, dan mata birunya memancarkan ketenangan yang aneh. "Kalian tidak seharusnya berada di sini," kata pria itu, suaranya lembut namun penuh otoritas.
Aric mencoba berdiri tegak, meskipun kakinya gemetar. "Siapa... kau?" tanyanya, matanya memicing menatap pria itu.
Pria itu hanya tersenyum tipis. "Aku adalah pelindung Hutan Aether," katanya, matanya memandang mereka dengan rasa ingin tahu. "Dan aku ingin tahu apakah kalian benar-benar layak melanjutkan perjalanan ini."
Lyria, yang masih memegang tongkatnya dengan erat, merasakan rasa takutnya sedikit mereda. "Kami... kami hanya ingin menemukan Batu Aether," katanya pelan. "Kami harus membuktikan diri."
Pria itu menatap mereka satu per satu, seolah menilai keberanian mereka. "Mungkin kalian punya potensi," katanya, suaranya rendah namun jelas. "Tapi ujian ini belum selesai. Bersiaplah, karena cobaan yang lebih besar masih menanti."
Dengan itu, pria itu menghilang dalam kilatan cahaya, meninggalkan mereka bertiga dalam keheningan. Aric, Lyria, dan Kael saling berpandangan, rasa lega dan kebingungan bercampur di wajah mereka. Petualangan mereka baru saja dimulai, dan tampaknya Hutan Aether memiliki lebih banyak rahasia yang siap terungkap.