Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Penjelasan
Aku tiba di rumah yang kutinggalkan selama tiga hari. Rumah ini tampak sunyi. Kedua asisten rumah tangga pasti sedang sibuk di dapur sehingga tidak menyadari kedatanganku dan Carla.
Dave pasti sedang berada di perusahaan. Aku pulang di waktu yang tepat. Waktu yang cukup untukku berbenah diri menyambut suamiku pulang malam nanti. Cukup lama aku berdiri di depan rumah hingga panggilan Carla membuyarkan lamunanku.
"Mama!" panggil Carla.
"Iya sayang," jawabku sambil berjongkok. Berusaha mensejajarkan tubuhku dengan tinggi badannya.
"Cala mau main sama nenek Ijah," ucapnya lembut.
Putriku belum bisa menyebut huruf r dan s. Kadang saat dia berbicara terdengar sangat lucu.
"Memangnya Carla ngga rindu sama papa?" tanyaku sambil mengusap puncak kepalanya.
"Lindu cih," jawabnya sambil menggoyangkan tubuhnya. "Tapi Cala macih pengen main lama-lama cama nenek Ijah."
"Nanti kita ajak nenek Ijah ke sini, ya," jawabku sambil membelai wajah putihnya yang bulat seperti bakpau.
"Acik! Ayo ma, kita macuk bial nenek Ijahnya cepat datang!" seru Carla kegirangan.
Jemari mungilnya serta-merata menggenggam erat jemariku. Kini, malah dia yang membimbingku masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum ... Accalamualaikum ..." aku dan Carla mengucap salam serempak.
Meski tidak ada yang menjawab, aku dan Carla tetap mengucapkan salam sebelum masuk rumah. Dari Carla mulai belajar mengoceh, aku sudah mengajarinya dasar-dasar etika yang sederhana. Alhasil, putri kecilku sangat membanggakan di usianya yang masih balita.
Aku sengaja tidak memberitahu Dave atas kepulanganku. Aku penasaran saja bagaimana kelakuan Dave selama aku tidak ada. Ehm, ironis sekali. Padahal aku yang kabur dari rumah, aku pula yang menganggap diriku paling benar. Namanya juga cemburu buta. Wajar bila aku merasa seperti itu.
Aku juga yakin para istri di luar sana yang mendapati suaminya selingkuh pasti melakukan hal yang sama denganku. Paling-paling caranya saja yang berbeda. Ada yang sedikit ekstrim bahkan sangat ekstrim.
"Carla sudah tidur?" tanyaku pada Mira.
Selain bertugas sebagai asisten rumah tangga, aku memintanya untuk menemani Carla sesekali. Aku memang tidak menggunakan jasa pengasuh karena ingin mengurus Carla sendiri.
"Sudah nyonya," jawab Mira pelan.
"Makasih ya."
"Sama-sama nyonya. Saya permisi dulu ke belakang, nyah."
"Silahkan mba," jawabku.
Siang-siang begini biasanya aku mengantarkan makan siang untuk Dave. Hatiku sudah gatal karena bimbang. Ingin segera menuntaskan permasalahan yang ada. Daripada aku bosan menunggu kepulangan Dave, lebih baik aku menyalakan ponsel dan berselancar di dunia maya.
Aku memilih kembali ke kamar dan menghabiskan waktu siang di balkon. Aku suka menikmati pemandangan taman dari balik balkon lantai dua. Benda pipih persegi panjang ini terasa dingin karena sudah tiga hari tidak ku aktifkan.
Ting
Ting
Ting
Mataku membulat saat menatap layar ponsel yang menampilkan banyaknya notif chat dan panggilan tak terjawab. Aku membiarkan notif itu berhenti baru membukanya satu-persatu. Hampir semua chat dan panggilan tak terjawab berasal dari Dave dan satu nomor yang tidak dikenal.
Aku bisa menebak nomor tak dikenal itu adalah nomor baru Dave. Terlihat dari jumlah panggilan yang tidak terjawab sama banyak dengannya. Aku tersenyum kecut. Pasti suami tercinta itu berpikir aku memblokir nomornya. Tentu saja aku selangkah lebih maju.
Selebihnya panggilan masuk dari mama Melani. Kalau mama sudah tentu menanyakan kabar Carla. Maklum saja, Carla adalah cucu pertama mereka. Beda dengan mamaku yang sudah memiliki cucu dari kakak pertama dan keduaku. Benar saja, usai bergulir di panggilan tak terjawab, aku masuk ke bagian chat.
Untung saja, mama Melani mengirim pesan tadi pagi. Setidaknya aku memiliki alasan kalau ponselku habis baterai. Alasan klasik tapi memang sering aku melakukannya. Aku segera membalas pesan singkat mama Melani agar wanita kedua yang ku sayang itu tidak khawatir.
Usai membalas pesannya, aku mulai membuka pesan dari Dave. Baru saja aku membaca pesan pertama, pintu kamar terbuka.
"Ella, sayang!" seru suara lelaki yang sudah sangat ku kenal.
Hatiku berdebar mendengar suaranya. Berdebar antara rindu dan marah. Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Aku harus kuat dan tegar apa pun cerita yang kudengar nanti.
"Aku di balkon," jawabku.
Langkah Dave terdengar sedikit tergesa mendekatiku. Dave terlihat kurang terurus. Di sekitar rahang dan dagunya tumbuh rambut-rambut halus yang membuat wajahnya terlihat tegas. Lengan kemeja biru muda dia gulung hingga ke siku. Dua kancing di atas terbuka menonjolkan dada bidangnya yang polos.
Glek
Aku susah payah menelan saliva. Melihat dari celah saja, aku sudah tahu bentuknya. Ingin rasanya aku menghambur ke pelukannya. Memeluknya erat sambil menangis manja.
"Stop! Apaan sih ini otak. Tenang-tenang! Tarik napas! Hembuskan! Tarik napas! Hembuskan!" aku bermonolog dalam hati.
Berusaha mengingatkan diri sendiri agar tidak larut dalam pikiran yang syur. Aku harus meminta penjelasan pada suamiku yang sudah berselingkuh. Seketika, darahku mendidih teringat kembali wajah wanita yang tertawa bersama Dave. Dalam foto itu, si wanita merangkul Dave dengan mesranya. Dave juga tertawa melihat wanita itu. Mereka seperti layaknya pasangan yang baru mengenal cinta.
Dave melangkah mendekatiku. Dari gerak-geriknya tampak bahwa dia akan memelukku.
"Berhenti di situ!" perintahku tegas.
Aku melayangkan tanganku ke udara agar memberi jarak padanya.
"Ella, dengarkan dulu penjelasanku, please!" pinta Dave, memelas.
"Makanya aku menyuruhmu berhenti di sana. Waktumu lima menit untuk menjelaskannya."
"Terlalu cepat, sayang."
"Empat menit," aku mengingatkan Dave sambil melipat tangan dan meletakkannya di atas perut.
"What?"
Ekspresi Dave tampak terkejut dan tidak percaya. "Ok, ok!" timpal Dave sebelum aku membuka suara lagi dan mengurangi waktunya.
"Dia Laura," ucap Dave.
"Oh, jadi nama wanita binal itu Laura!" ucapku dalam hati.
"Kami bertemu di Paris," lanjut Dave.
Kedua netraku membulat. Bagaimana tidak? Begitu mendengar Paris langsung membuat darahku mendidih. Aku saja belum pernah diajak ke kota penuh cinta itu. Bisa-bisanya dia sudah mengajak selingkuhannya ke Paris. Ingin rasanya aku melempar Dave dengan sesuatu. Kedua netraku memandang nanar ke kursi dan meja yang letaknya di sampingku.
Aku meraih bantal kursi yang letaknya cukup dekat dariku. Langsung saja aku menghujani Dave beberapa pukulan dengan bantal kursi.
"Dengar dulu sayang! Stop! Stop!" Dave berteriak sambil melindungi tubuh dan kepalanya.
Darahku berdesir hingga membuatku kalap. Baru mendengar dua kalimat saja sudah membuatku seperti ini. Apalagi jika diteruskan. Bisa-bisa aku melempar Dave dari balkon ke bawah.
"Dia sepupuku!" teriak Dave.
"Hah! Apa?" tanganku berhenti memukuli Dave.
Dave berdiri dan mengatur napas. Kedua tangannya dia layangkan ke depan agar aku tetap tenang.
"Laura sepupuku. Kami tidak sengaja bertemu di Paris saat aku ada urusan. Kau ingat kan seminggu sebelum kau kabur dari rumah?" tanya Dave.
Ya, Dave memang ke luar negeri karena ada urusan perusahaan. Aku tidak bisa ikut karena Carla demam. Tentu saja aku lebih mengkhawatirkan keadaan Carla ketimbang tetap harus membawanya ke luar negeri.
"Eits! Tunggu dulu! Kalau wanita itu sepupunya mengapa aku tidak pernah tahu tentangnya," ucapku dalam hati. Bisa jadi Dave hanya mencari alasan dan membohongiku.
"Kalau dia sepupumu kenapa aku tidak mengenalnya?" tanyaku sambil bersiap mengayunkan bantal.
Kedua netra Dave membulat. Terkejut mendengar pertanyaan yang ku lontarkan. Sudah pasti Dave berbohong padaku.